Selasa, 28 Oktober 2008

Transformasi Petani Menjadi Buruh Industri Perkebunan: Studi Karesidenan Pekalongan

Transformasi Petani Menjadi Buruh Industri Perkebunan: Studi Karesidenan Pekalongan 1830-1870
Edi Cahyono
(Prisma, No. 11/1991, LP3ES)
Sejarah perkebunan di Hindia Belanda berkaitan erat dengan sejarah terbentuknya lapisan sosial buruh di dalam masyarakat. Masyarakat petani, yang seringkali dikaitkan dengan ikatan sosial "tradisional" yang non-ekonomis ("gotong-royong"), dengan berkembangnya industri perkebunan, mereka ditransformasi ke hubungan yang murni ekonomi. Secara kongkret, gejala ini terlihat dari terkikisnya ikatan pertuanan (patron-clientage) yang digantikan oleh hubungan buruh-majikan.
Faktor penentu bagi keberhasilan industri perkebunan di Hindia Belanda adalah tersedianya tanah dan tenaga kerja yang memadai. Pengabaian pada salah satu faktor tersebut bisa menjadi malapetaka yang meruntuhkan kelangsungan industri perkebunan ini. Kasus seperti ini pernah terjadi di pabrik-pabrik gula moderen--di Pamanukan-Ciasem, Jawa Barat--yang mengandalkan mesin uap dengan sistem pengairan kebun menggunakan kincir-kincir air, terpaksa bangkrut di akhir 1820-an, disebabkan kekurangan tenaga kerja.1)
Ketika onderneming gula mulai dioperasikan di bawah pengayoman cultuurstelsel di awal 1830, terjadi pergeseran area perkebunan dari wilayah "tanpa" penduduk ke wilayah padat penduduk. Pilihan jatuh ke karesidenan-karesidenan di pesisir Utara Jawa meliputi Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Jepara, Surabaya dan Pasuruan (Oosthoek).2) Alasannya, karesidenan-karesidenan ini telah berpenduduk lebih padat. Juga, disebabkan telah tersedianya jalan Raya Daendels (Anyer-Panarukan) yang sangat bermanfaat bagi kelancaran transportasi. Dan di wilayah-wilayah tersebut telah tersebua sawah-sawah siap pakai, yang besar artinya bagi pembudidayaan tanaman tebu.
Industri gula menjadi gejala penting untuk melihat transformasi mendasar petani berubah menjadi buruh. Prosesnya didorong melalui berbagai hubungan kerja pabrik yang "rasional". Industri gula mengintensifkan berbagai hubungan kerja pabrik, hal yang sebelumnya--dalam perkebunan kopi Priangan yang besar selama kejayaan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)--tidak terjadi.
Dalam tulisan ini akan dilihat dinamika pergeseran karakter petani menjadi buruh di salah satu karesidenan pesisir Utara Jawa--Karesidenan Pekalongan yang dalam abad XIX mencakup Kabupaten Pekalongan dan Batang, meliputi tiga pabrik gula Sragie, Kalimatie dan Wonopringo. Ketiga pabrik ini memakai lahan sawah untuk tebu seluas sekitar 1500 bau.3)
Rancangan Penyerapan Tenaga Kerja
Dalam pertengahan tahun 1830, pemerintah kolonial (gubermen) mulai melakukan aktivitas merekrut tenaga kerja. Secara resmi petani diserap melalui kontrak kerja (suiker-contract). Untuk membantu perekrutan ini, Lurah (kepala desa) sangat besar perannya sebagai mediasi antara gubermen dengan kaum tani yang akan dijadikan buruh. Seperti, Lurah yang melakukan pembagian tanah gogol (komunal); Lurah pula yang mengadakan pengaturan kerja di onderneming gula. Rumusan kontrak-kontrak gula tersebut seringkali dibuat tidak jelas kapan batas berakhirnya:
Kontract iki bakal kanggo setaun, atawa saingga kongsi rolas taun, apa kersane kandjeng gupernemen.4)
Meliputi kerja:
Sakabehe pegaweyan ing dalem panggilingan sarta ing dalem kebon atawa nebang tebu, amek kaju bakar, iku uwong-uwong amesthi anglakoni pegaweyan iku.5)
Kerja-kerja inilah yang disebut cultuurdienst (kerja penanaman tanaman ekspor).
Rancangan untuk menyerap tenaga kerja tampaknya tidak benar-benar berhasil memaksa petani untuk mematuhinya. Beratus-ratus buruh yang telah menandatangani kontrak, hampir selalu mengingkarinya. Barak-barak kuli6) di lingkungan onderneming, banyak yang ditinggalkan. Akibatnya terjadi kegagalan panen-panen tebu selama 1830-1840 akibat kekurangan tenaga perawat tanaman.7)
Tekanan atas berkurangnya buruh sangat dirasakan memuncak tahun 1836, ketika Residen Pekalongan, Praetorius, mengatakan dalam suratnya bertanggal 12 September,
 Kita dapat rapport derri toean Wiggers [kontrolir di Batang], hal derri pekredjaan for sedia tannah atau for tanem teboe terlabe achir -- lagie kaloe Toean Controleur ada pegie lantas ada koerang orang njang bekredja dan koerang karbouw.
Sehingga residen meminta bupati Kabupaten Batang, Ario Djaijeng Ronno, agar bersedia turun tangan mempergunakan pengaruhnya menarik petani untuk bekerja kembali dalam onderneming gula:
Kita menjataken pada Tommongong [tumenggung] njang derri hal orang njang bekredja tannem taboe atauw sedia tannah darri perkarra ietoe tieda boleh korang darie limaratoes satoe harie, die dalem sepoeloe harie inie -- mangka kita kasie prenta pada Tommongong mestie djaga kendirie njang ada limaratoes orang saben harie en soepaija pagie pagie ietoe orang ada die sawa njang di kerdja for tanem teboe -- kita soeka Tommongong poekoel anem pagie datang dan kliling die tampat sietoe kaloe orang ketjiel tahoe Regent ada, temptoe die takoet tienggal die roemah.8)
Untuk pertama kali residen menginstruksi bupati agar turun langsung menangani masalah buruh bagi onderneming gula. Meskipun pada akhirnya, di penutup bulan Oktober 1836, Ronno -dengan berat hati - bersedia melakukan kerja mandor,9) mengawasi buruh di kebun-kebun tebu. Hasil menggunakan pengaruh bupati, tampaknya, tidak mengecewakan. Demang Batang melaporkan, dengan munculnya bupati di onderneming, 303 buruh penandatangan kontrak menepati janjinya, dan juga, berhasil menyerap buruh-buruh bukan kontrak sebanyak 574 orang (sebagian besar adalah buruh usia muda, sekitar 12 tahun, buruh anak-anak, bekerja membantu orang-tuanya.10) Mereka mengerjakan kebun-kebun tebu pada pagi hari sejak pukul 6.00 hingga pukul 10.00, dan sore hari dari pukul 16.00 hingga 18.00.

Gejala tenaga kerja membanjiri pabrik-pabrik gula di Pekalongan terjadi menjelang paruh kedua abad XIX. Jumlah seluruh buruh (di tiga pabrik) yang pada tahun 1845 hanya 5.444 orang, melonjak menjadi lebih dari 10.000 buruh, dengan perhitungan sebagai berikut: Wonopringo: 4.257 buruh, Sragie: 3.854 buruh, dan Kalimatie: 2.798 buruh.11) Padahal, batas "ideal" yang ditetapkan gubermen, jumlah buruh untuk masing-masing pabrik adalah 2.440 orang yang terbagi untuk penanam tebu 1.600 orang, penebang 320 orang, transportasi 280 orang, pencari kayu 40 orang dan kuli dalam pabrik 200 orang.12) Penyebab melimpahnya tenaga kerja, tampaknya terkait erat dengan dihapuskannya industri nila. Industri nila baik milik pemerintah maupun milik keluarga bupati mulai dibubarkan dalam tahun 1848.
Sementara kalau ditengok pada sisi lain, tampaknya, perekonomian desa sudah tidak dapat menampung warga atau bekas warganya yang dihentikan atau "PHK" pabrik-pabrik nila, untuk kembali ke pekerjaan semula menjadi petani. Sehingga menjadi wajar jika petani kini memburu pekerjaan ke pabrik-pabrik gula.
Pelapisan Sosial Di Desa
Suatu gejala yang janggal jika melihat bekas buruh tidak mau kembali menjadi petani ketika di-PHK, melainkan lebih memilih mencari pekerjaan di pabrik-pabrik gula. Hal ini perlu disadari mengingat jumlah tanah kala itu masih berlimpah. Mengapa mereka tidak berminat menjadi petani kembali?
Perbedaan tajam antara petani bertanah dengan yang tidak bertanah telah ada sebelum hadirnya kolonialisme di Jawa. Perbedaan ini, tampaknya, tidak terhapus dengan reformasi tanah yang dilakukan selama cultuurstelsel. Pembahasan berikut ini, akan dipusatkan pada pelapisan sosial yang terdapat di pedesaan Karesidenan Pekalongan, dengan mengutamakan desa-desa yang berada dalam lingkungan perkebunan tebu. Desa-desa ini mendapat prioritas untuk diperhatikan, sebab selain jumlahnya meliputi lebih dari seratus desa, (sebagaimana tercakup dalam penelitian Commissie yang dipimpin G. Umbgrove),13) desa-desa ini juga langsung terlibat dengan perkebunan gula. Dari laporan penelitian Commissie ini dapat dilihat bagaimana desa menyiapkan tenaga kerja bagi industri gula.
Suatu pranata Jawa lama tentang bagaimana mendapatkan dan mendistribusikan produksi agrikultur pertanian telah ada di dalam masyarakat pedesaan jauh sebelum kolonialisme menancapkan kukunya di bumi Hindia-Belanda. Kesatuan masyarakat terbagi-bagi dalam keluarga-keluarga yang disebut cacah (kesatuan masyarakat terkecil dikepalai seorang sikep). Setiap kesatuan cacah biasanya mendapat hak untuk mengolah sebidang tanah. Besar atau kecilnya lahan sawah dalam kesatuan keluarga tersebut, tergantung dari banyak atau sedikitnya jumlah cacah. Keluarga menjadi suatu unit produksi. Sedang distribusi produksi, selain dikonsumsi dalam keluarga, sebagian dari surplus agrikultur diserahkan dalam natura sebagai upeti untuk lapisan elitnya (untuk lapisan atas desa).14)
Menurut Van den Bosch, kesatuan-kesatuan masyarakat yang dikenal sebagai cacah, menjadi unit pengolahan suatu produk agrikultur petani. Dalam cacah terdapat seorang kepala yang disebut sikep (petani-kaya). Beban kerja, dikenakan kepada sikep, sebab sikep menguasai tanah. Sedang kerja pengolahan pertanian biasanya dibebankan oleh otoritas (negara) lama, dengan cara mengalokasikan sebidang tanah untuk diolah. Seorang sikep, sebagai kepala cacah, maksimal bisa menguasai 22 cacah.15) Sehingga para cacah tidak bertanah, lebih merupakan tenaga kerja yang bekerja untuk dan kepada sikep.16)
Gejala di atas, merupakan gejala umum di seluruh Jawa, termasuk di Karesidenan Pekalongan. Hanya, berdasarkan perkembangan masyarakat sudah tentu terjadi penjelimetan setempat. Seperti ditemui oleh Commissie Umbgrove selama penelitiannya dalam pertengahan abad XIX, yang secara garis besar dalam tulisan ini disederhanakan, menjadi empat lapisan masyarakat.
Pertama, apa yang dikenal sebagai dessa bestuur (pemerintah desa) terdiri dari: lurah, bahoe, lebe, kabayan dan kamitua. Mereka adalah golongan pendiri desa, yang dikepalai oleh lurah. Lapisan ini mendapat keistimewaan dalam penguasaan tanah:
"welk aandeel … altijd minstens twee maal zoo veel moet bedragen als dat van sikep."17)
(bagian mana … paling sedikit harus selalu dua kali lebih banyak dari jumlah untuk seorang sikep).
Tanah-tanah ini biasanya disebut bebau atau bengkok (tanah jabatan), yang didapat selama mereka menduduki jabatan-jabatan tersebut. Pada beberapa desa dalam distrik-distrik Batang dan Masin, peranan lurah dipegang oleh wedana, dengan menggunakan pengaruhnya sebagai penatoes.18) Karena lapisan pemerintah desa ini menjadi andalan bagi perekrutan tenaga kerja dan tanah yang dipakai oleh perkebunan-perkebunan gubernemen; maka hak-hak istimewa banyak dinikmati oleh lapisan ini. Seperti, tanah yang dikuasainya terbebas dari cultuurdienst:
Tot diensten bezorgd al degene, die sawa’s bezitten, … met uitzondering van het dessa bestuur waaronder begrepen zijn de loerah, bahoe, kabaijan en kamitoewa’s. Tot de tweeden behooren zodanige personen, die eenig ambacht uitoefenen, af voor andere Industrie aan den kortkomen … en hebben geen aandeel in de bebouwing der sawa’s, waarom hij ook niet in de kultuurdiensten deelen.19)
(Mereka yang menyebabkan seluruh kerja, pemilikan sawah tersebut, … dengan mengecualikan yang dikuasai pemerintah desa lurah, bahoe, kabayan, dan kamitua. Orang-orang semacam itu termasuk dinomor duakan, semata-mata menggunakan pengaruhnya, antara lain industri kehilangan hak-nya … dan tidak berperan dalam penggarapan sawah, sebab dia juga tidak kebagian cultuurdienst).
Sudah barang tentu tanah yang dikuasai lapisan sosial ini merupakan kualitas terbaik. Para pamong tersebut berhak mempekerjakan penduduk desanya untuk mengolah tanah-tanah bengkok "milik"-nya. Kewajiban kerja untuk mengolah tanah bengkok ini disebut kriegandienst. Seluruh hasil natura yang didapat dari tanah bengkok ini menjadi hak si penguasa tanah.
Namun perkembangan industri gula yang banyak menyerap tenaga kerja, mendorong gubermen untuk mengurangi kerja-kerja bagi kaum elit desa ini.20) Meskipun ada pembatasan atau pengurangan kerja bagi kaum elit desa, hal ini tidak berarti mematikan tanah-tanah bengkok tersebut dari sumbangan riil kepada para pemiliknya. Dengan terserapnya populasi setempat ke dalam onderneming-onderneming gula, masih ada cara lain untuk mendapatkan sejumlah uang dari tanah tersebut, yaitu dengan menyewakannya. Seperti, dinyatakan Residen Pekalongan dalam tahun 1863:

"zoo diende kunnen zij zich verrijken door den verhuur dier velden aan andere dessa’s, die meer bevolking bezitten."21)
(Dengan begitu dia [lurah] dapat memperkaya diri melalui penyewaan lahan mahalnya kepada desa lain, memperluas pemilikan oleh rakyat).
Dengan demikian lapisan ini masih bisa memperoleh pendapatan tunai dari tanah bengkoknya, biarpun kehilangan sebagian hak-haknya atas jasa kerja (dienstpligtigen).
Bagaimanapun juga, dalam terminologi petani, lapisan elit desa ini, yang berhak dan bisa menggarap tanahnya sendiri, dapat disebut sebagai sikep (petani-kaya). Mereka bisa mempekerjakan orang lain untuk menggarap tanahnya.
Sedangkan yang disebut sebagai sikep, menduduki peringkat kedua setelah dessa bestuur dalam pelapisan sosial di desa. Sikep biasanya mengacu kepada kepala rumah tangga (suami)22) yang menguasai sebidang sawah. Beberapa sikep dianggap sangat mampu sehingga sanggup menghidupi dan menampung pengangguran (angoeran). Angoeran umumnya masih mempunyai hubungan keluarga dengan sikep, namun bukan anak dari sikep.
Dalam rumah tangga sikep, akan ditemui lapisan sosial laiinya, yakni bujang dan menumpang. Menumpang atau disebut juga mondok, tinggak bersama dan bekerja pada sikep namun tidak punya hak tanah. Lapisan sosial inilah yang biasanya disodorkan ke onderneming sebagai tenaga kerja yang disumbangkan desa untuk melakukan kerja wajib. Untuk sekedar "mematuhi" peraturan bahwa kerja wajib dirancang untuk mereka yang menguasai tanah, maka biasanya desa-desa melakukan pembagian periodik tanah untuk diolah-gilirkan. Sifat penguasaan tanah olah-gilir ini temporer. Prioritas mengolah tanah olah-gilir ini diberikan kepada menumpang. Para menumpang yang mempunyai hak sementara atas tanah ini disebut gogol (menguasai tanah komunal). Lapisan yang kurang lebih sederajat dengan menumpang adalah bujang, juga tinggal dalam rumah tangga sikep, namun lebih mendekati pengertian buruh. Sebab, bujang bekerja semata-mata untuk mendapat upah (dalam bentuk upah tunai atau hasil bumi).
Lapisan sosial yang terakhir adalah wong boeroeh atau koeli, yang bekerja semata-mata untuk upah tunai (dag-looner). Mereka biasanya datang dari desa-desa di luar desa-desa di lingkungan onderneming. Mereka menawarkan diri untuk bekerja pada sikep; atau bekerja di onderneming-onderneming gula. Pabrik gula sangat banyak menyerap lapisan sosial ini pada musim giling melalui suiker-campagne (kampanye merekrut tenaga kerja oleh pabrik gula). Jumlah wong boeroeh dalam musim panen dan giling gula dapat lebih dari limaratus orang, memenuhi desa-desa di lingkungan onderneming.
Sebetulnya masih ada segelintir orang, tetapi kurang signifikant untuk dimasukkan dalam bagan di atas, yaitu lapisan masyarakat yang berusaha melestarikan lembaga bagi-hasil,23) mereka disebut wong meratjang. Biasanya mereka datang dari luar desa, persentasenya amat kecil. Wong meratjang merupakan lapisan tani-menengah yang mulai langka untuk ditemukan. Kelangkaan pelestarian hubungan kerja bagi-hasil disebabkan, para petani kaya (lapisan dessa bestuur maupun grootste-sikep) lebih suka mengolah tanahnya dalam lalu lintas uang. Sehingga para wong meratjang yang akan bekerja harus membayar uang sromo bila ingin mengolah tanah milik tani-kaya.
Wajib Kerja
Gubernur Jenderal Van den Bosch, di awal 1830-an, mengatakan:
"… dar de Javaan geen denkbeeld bezit van het regt van eigendom op den grond."24)
(bahwa orang Jawa dianggap tidak mempunyai hak atas pemilikan tanah).
Suatu sikap yang berusaha menegaskan pemilikan tanah negara (souverein bezit), sebagai pranata bumiputera, yang untuk mengolahnya dipakai ikatan-ikatan adat. Pengalokasian sebidang tanah kepada satu keluarga, berarti pembebanan dari negara (tradisional) kepada petani untuk menuntut sebagian dari hasil tanah tersebut bagi kepentingan para penguasa bumiputera (raja, bupati).
Memang, di desa-desa terdapat distribusi periodik atas tanah, dan juga surplus agrikultur sebagian dialirkan ke bupati atau raja dalam bentuk-bentuk upeti. Gejala inilah yang tampaknya diberi warna baru sebagai cara untuk menerapkan suatu sistem yang mengandalkan jalur-jalur lama, ikatan-ikatan menghamba yang ada dalam masyarakat bumiputera.25) Van den Bosch sendiri tidak pernah menjelaskan bagaimana mendistribusikan tanah di dalam desa. Khususnya tentang bagaimana menerapkan perlakuan yang cukup adil dalam mendistribusikan tanah dan tenaga kerja terhadap pelapisan sosial yang telah ada. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah sejauh mana cultuurstelsel telah memberikan fasilitas yang sama terhadap para petani yang menjadi buruh onderneming melalui reformasi tanah yang dilakukan?
Berdasarkan laporan Commissie Umbgrove tampak bahwa wajib kerja onderneming tidak harus dilandaskan pada penguasaan tanah. Sehingga sikep hampir selalu terhindar dari menyumbangkan tenaganya.26) Dengan demikian tampak bahwa lapisan tani gurem menjadi potensial ditransformasikan menjadi lapisan sosial baru, lapisan sosial buruh.
Jika disimak isi kontrak-kontrak kerja antara tahun 1830 sampai 1833 memang ada kesan petani akan "sejahtera" jika bersedia bekerja di onderneming:
Marang uwong-uwong ingkang nandur sebau, ukure lamangatus tjengkal pesagi, iku bakal diwenehi sawah rong bau, ora lawan ambayar padjege. Ana dene regane sawah rong bau kuwe, rongpulung rupiah, 20 uwang tembaga. Iki panggonan kang bakal ditanduri tebu, iku ora bajar padjege, sarta maniing dheweke kaperdikakake, saking bajaran uwang kuli gladhag, sarta lija-lijane pagawejan sedjabane dhistrike.27)
Untuk kepraktisan menciptakan buruh bagi onderneming, setiap desa yang terkena beban kerja-wajib cultuurstelsel membagikan tanah dalam bentuk penguasaan tanah temporer (tijdelij grondbezit). Desa dianggap dapat mengusahakan kebutuhan tanahnya sendiri, untuk menciptakan tenaga kerja bagi gubermen:
(a) That land-tenure in the village was essentially determined by the so-called Dorpsbeschikingsrecht (or vilage right of disposal).
this finds expression … in the village community having a certain amount of say in the disposal (vervreemding) of the cultivated land in the village. In pressing cases, this can be utilised to empower the fresh division of the sawah belonging to the dessa among those villager who have a share in the holding of land (the so-called nuclear villagers), wether supplemented or not by those until then were excluded from a share in the fields.
(b) According to custom (adat), only those villagers who held a share in the cultivated village land had to perform [labour services] … Under the pressure of the Cultivation System, the cultivated land was often divided afresh into smaller parcels, in order to increase the number of land-holders an consequently the number of those subject to labour service. Afresh division of the land was also necessary when … the village had to hand over sawah to be used for government would have taken place primarily at the expence of the more substantial cultivators within the village.28)
Pembentukan para penguasa tanah baru untuk menciptakan buruh-buruh bagi onderneming antara lain dilakukan dengan pembukaan tanah-tanah baru untuk dijadikan tanah olah-gilir atau gogol (komunal). Dalam membuka tanah baru, seringkali beberapa desa bergabung untuk mengusahakannya, seperti ilustrasi berikut ini:
Djaksa besar poenja paprieksahan ietoe sawa babadan Siebakoeng njang boekak ietoe sawa orang darie 4 dessa, dessa Siebakoeng orang 13, Bandengan orang 12, Kranding orang 7, Gedjlieg orang 12 … Ienie 4 loera atoeranja moela-moela orang ketjielnja soeda boekak ietoe otan Siebakoeng die biekin sawa sampe djadie sawa, … ietoe tana soeda djadie sawa ada njeng soeda 3 taoen of 2 taoen.29)
Tetapi, usaha pembentukan kaum tani penguasa tanah temporer ini, seringkali mendapat gangguan dari orang-orang yang ber-"hak istimewa" (geprivilegeerden). Acapkali lapisan sosial yang ber-hak istimewa merampas tanah "baru" tersebut. Seperti dilakukan oleh "teman-teman" bupati, untuk kasus tanah bukaan baru:
Djadienja ietoe sawa die ambiel Sajied Abdool Rachman bin Sehaf Tamar bermoelanja kiera-kiera sampee sekarang soeda 5 taoen ietoe waktoe Raden Adipatie [Wirio dhi Negoro] soeda tanja pada loera njang 3 - Siebakoeng, Bandengan en Gedjlieg apa dia orang kassie Sajied Abdool Rachman maoe ambiel otanja 40 bouw die biekin sawa - die orang 3 menjahoet tiedak kassie - lantas Raden Adipatie bekata kapan dia orang tiedak kassie dan ietoe njang miessie djadie otan soeroot djadieken sawa dalem satoe taoen - dia orang tiedak tjakap die kassehken tapie otanja sadja.
Leen arienja Sajied Abdool Rachman dateng die sawa Siebakoeng - kassie taoe katanja soeda dapet iedin pegang ietoe otan Siebakoeng boewat biekin sawa - dengen njang soeda djadie sawa orang soeda biekin toeroot die pegang djoegak.

Orang ketjiel tiedak kassie sebab sawa boleenja biekin kendirie dan ietoe Demang Raden Ardjodiewierijo njang soeda lepas dateng die sawa baroe soerooh kassieken die pegang pada Sajied Abdool Rachman - ietoe loera en orang ketjiel tiedak kassie sampee ada njang die oekom pada Demang Raden Ardjodiewierijo njang soeda lepas - mangka ietoe djadie orang ketjiel kassie.30)
Hal tersebut menunjukkan, bagaimana pun juga desa tidak bisa diperlakukan secara eksklusif, terisolasi dari campur tangan orang-orang di luarnya. Dan juga, menginformasikan bahwa terdapat segelintir orang pemegang "hak istimewa", karena dekat dengan bupati, sedang dalam proses formasinya menjadi "tuan-tuan tanah baru." Orang-orang semacam ini jelas bisa melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban kerja yang dituntut oleh gubermen karena sanggup membayar pajak-pajak tunai yang dibebankan negara kolonial.31)
Perkembangan di desa-desa dalam mendistribusikan tanah adalah, setiap tahun dilakukan pembagian tanah dengan mempertimbangkan pelapisan sosial yang ada. Misalnya, seperti dilaporkan Commissie Umbgrove:
Het [desa] bestuur trachten en … regell te doen aannemen eeine gelijke verdeeling onder the bevolking zodanig, dan iedere sikep een, (als ook de kamitoeas), de lebe, bahoe en kabaijan, ieder een en een kwart aandeel, en de loerah twee aandeelen krijgt, of wel, daarvoor overvloed van sawa’s bestaat, een verdeeling, gemenredigd aan de krachten van iedere sikep, en welk geval, genoemde leden van het dessa bestuur aandeelen genuten en dezelfde verhouding als heerboven, doch berekend naar het grootste sikeps aandeel: de velden, die dan nog overschieten laat men zoo mogelijk door de dessa’s …32)
(pemerintah [desa] mencoba dan … biasanya melakukan pembagian merata di antara penduduk seperti itu, bahwa setiap sikep, (seperti juga kamitua), lebe, bahoe dan kabayan, masing-masing bagiannya seperempat, dan bagian yang didapat lurah duakalinya, yaitu, untuk itu terdapat sawah yang berlimpah, suatu pembagian, setiap sikep bersama menyusun sesuai dengan aturan, dan setidak-tidaknya, bagian anggota pemerintahan desa tersebut menguntungkan dan berimbang sama seperti atasannya (heerboven), tetapi ditentukan menurut bagian sikep-sikep besar; tanah-tanah, yang masih tersisa dengan begitu dapat dismpan/dibiarkan oleh desa).
Sikep-sikep tersebut menguasai tanah antara empat sampai duabelas bau.
Sulit untuk memastikan sejauh mana tanah-tanah sikep bisa dinilai bersifat sementara atau menjadi milik pribadi (individueel-bezit). Eindresume (2) misalnya, menyatakan terdapat sekelompok kecil orang dalam desa yang memiliki tanah pribadi.33) Atau, seperti dicatat oleh Knight dari Kultuur Verslag tahun 1856, yang mengatakan:
There exists here an abuse which has crept in over the years, namely of fencing (ompaggeren) the sawah and making so-called gardens of it, which are, however, mostly still planted with padi, … since the abuse has crept in here of considering house-plots (erven) and such like farmland as individual property, in deviation from all Javanese institutions.34)
Para sikep tersebut, dalam pembagian tanah yang dilakukan setiap tahun, sudah pasti terjamin mendapatkan hak-haknya. Sementara lapisan sosial di bawah sikep, sebagian mendapat tanah olah-gilirnya seluas setengah bau, dan sebagian yang lain tidak mendapatkan tanah, meskipun mereka juga termasuk yang melakukan kerja bagi gubermen. Atau dalam hitungan Commissie Umbgrove, di karesidenan ini terdapat 9.169 penguasa tanah berhadapan dengan 2.238 yang tidak bertanah, yang bekerja dalam onderneming gula. Atau, seperti penghitungan gubermen pada awal 1860-an, untuk seluruh buruh yang direkrut, di berbagai proyek perkebunan, dapat dilihat dalam tabel 1 berikut:
Tabel:
Distrik
 Keluarga Petani yang mendapat bagian tanah atau gogol
 Keluarga petani yang tidak mendapat bagian tanah.
Pekalongan 3.318 1.723
Pekajangan 3.010 1.292
Sawangan 5.244 2.094
Wiradesa 6.098 704
Sragi 4.619 1.326
Bandar 3.875 678
Batang 4.521 1.929
Masin 3.343 933
Sedayu 4.397 764
Subah 3.237 2.051
Kalisalak 3.341 1.300
Kebumen 3.522 1.153
Jumlah: 48.525 15.946

Sumber: Statistiek der Residentie Pekalongan 1862. (AKP 83 B/3)
Residen Pekalongan pun, tampaknya, menyadari bahwa pendistribusian tanah tidak efektif sebagai ulah dari orang-orang ber-hak istimewa, sebab merekalah yang mengatur pembagian tanah ini:
Dat in het regentschap Batang de gewoonte bestaat, om allen als deelgeregtigde in de sawas aantemerken die landbouwers, welke aandeel in de suiker kultuur hebben, de hoofden hebben daar als regel aangenomen bij elke bouw suikerriet slechts 4 man intedeelen, hoe sterk de bevolking ook moge wezen, onder deze menschen worden al de aanwezigd sawas veerdeeld, en moeten de met kultuur dienstpligtigen, wanneer zij ook sawas willen hebben, die van hun huren, het behoeft dus geen betoog, dat de gepriviligeerden alleen bij de kultuur worden ingedeld, die een dubbel voordeel, en van de suiker kultuur en van de sawas genoten.
Deze kultuur dienstpligtigen worden alleen opgegeven landbouwers te zijn, en wordt de rest der bevolking als parias beschouwd die door hunnen arbeid, hunne mede burgers verijken moeten.35)

(bahwa di dalam Kabupaten Batang ada kebiasaan, yang merupakan pemegang bagian sawah hanyalah para kultivator (landbouwer), yang mengambil bagian dalam penanaman gula, untuk itu para kepala [desa] membuat peraturan yang menetapkan tiap bau tebu gula hanya untuk empat orang laki-laki, tanpa menghiraukan orang yang ada, semua sawah yang ada dibagi di antara orang-orang ini, dan mereka yang tidak terlibat dalam jasa kerja pada penanaman, juga bila ingin mendapatkan sawah, bisa menyewanya, kebutuhan menjadi jelas, bahwa hanya orang-orang ber-hak istimewa yang punya bagian dalam penanaman, suatu keuntungan ganda, menikmati tanaman gula dan sawah.
Orang-orang yang terlibat dalam jasa kerja pada penanaman inilah satu-satunya yang dianggap sebagai para kultivator, dan penduduk lainnya dianggap orang parian yang melalui tenaganya (arbeid), harus ikut penduduk desa kaya).
Sedang kaum "istimewa" ini dalam menjawab pertanyaan atas ketidak-beresan tersebut, biasanya telah siap dengan jawaban:
"… omdat er sawa’s gebrek bestaat."36)
(sebab tidak ada sawah.)
Padahal hampir setiap tahun dapat ditemui pembukaan tanah-tanah baru.
Meskipun tanah gogol tetap dibagikan, namun seringkali tanah yang dibagikan adalah tanah-tanah tandus dan kering, atau luas tanahnya tidak memadai.37) Sehingga tidak jarang petani menolak mendapatkan tanah gogol:
Seorang petani menyatakan mereka lebih suka menjadi tukang/buruh daripada menjalankan kerja wajib dengan bagian sawah yang begitu kecil.38)
Penolakan ini, tentunya berkaitan dengan tidak mampunya petani gurem mengelola jatah tanahnya yang menjadi sumber pemasukan yang menguntungkan. Mengingat sejak pertengahan abad ke XIX dalam sehari buruh onderneming gula harus bekerja selama 10 jam. Sebagian besar waktu mereka habis untuk bekerja baik di lahan-lahan tebu maupun dalam pabrik. Sehingga waktu yang tersisa untuk menggarap tanah gogolnya menjadi sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Lagi pula jatah tanah gogol yang hanya seluas seperempat hingga setengah bau (bukan dua bau seperti tertera dalam kontrak), sebetulnya, tidak mampu menghidupi satu keluarga petani. Jadi, perekonomian mereka, kini betul-betul tergantung pada kelangsungan industri gula.
Dari penjelasan di atas kini semakin jelas siapa yang akan melakukan wajib kerja di pabrik dan kebun gula. Seorang sikep bisa menghindari kerja di onderneming dengan membayar sejumlah uang kepada lurah. Hal ini diungkapkan dalam catatan seorang administratur pabrik gula di Pekalongan tahun 1859:
There was … a constant traffic in coolies carried on by loerah. Soemtimes men who did not wish to work as sent as much as half a rupee to the loerah, who found a replacement to whom he have perhaps 10 doits reserving 40 doits to his commission.39)
Di samping itu seorang sikep tetap bisa memaksa lapisan sosial di bawahnya untuk menggantikan kerja bagi gubermen melalui pengaruh perhambaan yang dimiliki sebagai petani-kaya. Untuk itu tidak perlu mengeluarkan uang, seperti ditunjukkan Kultuur Verslag 1862:
Geschiedt veelal bij de sikeps of landbouwers door bij hen inwonende en tot hun huisgezin behoerende lezen of door hunne raijats of menoempangs terwijl ook wel dikwijls afkoop van heerendienten in de dessas plaatsvindt, hoewel dit laatste zooveel mogelijk wordt tegengegaan.40)
(Biasanya sikep-sikep atau kultivator melalui orang-orang yang menumpang padanya dan untuk anggota keluarganya atau melalui rakyatnya atau menoempang pada waktu itu seringkali juga menebus heerendienst dalam desa-desa, meskipun pada akhirnya banyak ditentang).
Dari penyudutan lapisan sosial bawah yang mengakar dalam desa inilah, mendorong lahirnya "kerja bebas" (vrije arbeid), yaitu sekelompok orang memasuki orbit pabrik-pabrik gula menawarkan diri tanpa diperintah oleh para pamong atau pun atasannya.
Meskipun selama paruh pertama abad ke XIX sebagian besar kerja yang diserap oleh onderneming-onderneming pemerintah adalah tidak bebas ("unfree" workers),41) namun sejak awal 1850-an di Pekalongan diketahui terjadi pergeseran yaitu bahwa bentuk pengerahan kerja dari desa-desa untuk memasuki orbit onderneming melalui baik heerendienst maupun cultuurdienst tidak berlaku mutlak terhadap kaum penguasa tanah (sikep atau gogol) saja, melainkan ditawarkan kepada siapa saja yang bersedia untuk bekerja di onderneming. Mereka yang bersedia bekerja bagi gubermen tersebut, disebut vrijwelliger (pekerja sukarela). Para vrijwelliger ini dapat langsung direkrut pabrik tanpa campur tangan pemerintah.
Ada beberapa alasan yang bisa diajukan bagi terbentuk dan terserapnya "kerja-bebas" yaitu: pertama, akarnya telah ada dalam pelapisan sosial dalam desa yang menunjukkan jurang sosial yang dapat diidentifikasi berdasarkan aksesnya terhadap tanah. Karena persoalan distribusi tanah tidak terlaksana dengan baik, maka sekelompok orang berusaha melepaskan pengaruh ikatan-ikatan "adat" yang mengungkunginya dan menemukan wadah barunya sebagai buruh "bebas" dalam onderneming.42)
Kedua, upah-upah yang ditawarkan onderneming, untuk sementara waktu, agaknya bisa menutup biaya kebutuhan pokok sehari-hari43) buruh:
De levens middelen zijn over het algemeen goedkoop en een man kan zich gemakkelijk roeden met 10 a 12 duiten daags.44)
(Bahan pangan pada umumnya murah dan seorang tiap-tiap hari dapat mencukupi diri dengan 10 atau 12 duit).
Ketiga, suiker-campagne yang dilakukan pabrik selama musim giling, lebih memberi motivasi kuat bagi para penjual tenaga (para buruh), bahwa kerjanya memang dibutuhkan.
Dan melimpahnya jumlah tenaga kerja:
"… genoegzame opkomst van vrijwelligers overbodig."45)
(timbulnya vrijwelliger lebih dari yang diperlukan).
Empat hal inilah yang tampaknya memotivasi kaum tani untuk - tanpa tekanan dari para kepalanya - secara sadar memasuki lingkungan pabrik. Muncullah kelompok-kelompok buruh yang bergerak bebas menawarkan tenaga. Mereka hampir selalu berpindah-pindah tempat, sebagai orang bebas. Sebutan untuk mereka ini adalah wong boeroeh atau koeli, orang Belanda menyebutnya vrije arbeider yang tidak terikat oleh ikatan-ikatan desa. Kaum buruh ini tidak memiliki apa-apa buat hidupnya, selain dari tenaga dan pikirannya. Inilah satu-satunya kemampuan yang dipunyai untuk mempertahankan hidup mereka. Kaum tani bagaimanapun juga melaratnya, pada prinsipnya ada yang masih memiliki tanah sebagai alat pencahariannya. Di akhir 1850-an, pabrik Sragie telah seratus persen menggunakan buruh-buruh bebas ini.46)
Bagaimanapun juga, para fabriekant lebih menyukai perkembangan baru ini, karena mereka terkurangi kerepotannya untuk mendapatkan buruh seperti terjadi dalam tahun-tahun yang lampau:
At one step … had introduced "free labor", since the local administration no longer played a part in providing forced labourers for the factories; instead, they were obtain quite legally by means of agreements between manufacturers and village chiefs …, and the manufacturers to enjoy what they sought: a ready and dependable supply of cheap labour.47)
Perkembangan selanjutnya dari "kerja-bebas" ini semakin tidak terbentung, sehingga dalam tahun 1860 gubermen menetapkan bahwa untuk kerja dalam pabrik harus dilakukan oleh kaum pekerja bebas. Meskipun demikian pemerintah masih membuka diri untuk memberi bantuan bagi pabrik-pabrik yang mengalami kesulitan dalam merekrut tenaga kerja secara bebas ini.48) Dalam tahun 1864 gubermen menarik diri dari membantu pabrik dalam mendapatkan kebutuhan-kebutuhan sekunder, seperti untuk memperoleh kayu bakar, kapur, hewan penarik gerobak dan lain sebagainya.49)
Jadi, sejak pertengahan abad XIX berlangsung dua jenis penyerapan tenaga kerja, pertama yang disediakan oleh lurah, dan kedua yang langsung menawarkan jasanya ke pabrik-pabrik. Pihak pabrik pun tidak melakukan pembedaan antara bentuk kerja yang dilakukan atas dasar kerja wajib yang disediakan para lurah, dengan kerja yang dilakukan secara sadar untuk menutup kebutuhan hidup.50) Kegagalan papen-panen padi, yang merupakan bencana di desa-desa menjadi motivasi kuat larinya petani untuk menjadi buruh onderneming:
In … Pekalongan a decade earlier [1857], it was remarked by another of the factory owners that "the people go about the work early … to which fact the failure of the rice-harvest has maybe contribute." By 1870, at the same Pecalongan Factory, worker were being turned away daily from the factory gates, so abundantly were they pouring out of the villages during the dry season. It was, as the management so aptly remarked, "a gratifying spectacle" to see them all crouding outside the factory at the change of shift, each man trying to make sure that he would be taken on. In short, a class of free labourers, dependent for a substantial part of their livelihood on wages earned in the sugar industry, was in the process of formation in the countryside of the pesisir by 1870.51)
Di awal pembukaan onderneming, tahun 1830, pemerintah mempunyai kekhawatiran bahwa buruhnya akan meninggalkan pekerjaan wajibnya. Sehingga dibuatlah barak-barak buruh. Namun dalam perkembangan selanjutnya, tampaknya, hal ini sudah tidak diperlukan lagi sebab berlangsung cara yang tidak merepotkan kaum fabriekant yaitu dengan mengkondisikan kebiasaan hidup boros para buruh. Gejala perjudian, prostitusi, candu dan minuman keras yang selalu didatangkan pada musim-musim panen menjadi sarana yang penting untuk mengkondisikan buruh akan terjerat sebagai buruh. Bagi buruh, berbagai kesenangan sesaat tersebut menjadi kebutuhan hiburan satu-satunya, setelah mereka tertekan secara fisik dan psikologis dalam alur kegiatan pabrik yang melelahkan dan menjemukan. Mereka tidak tahu bagaimana menggunakan uang dengan "benar", karena tidak ada kesempatan memikirkannya. Hal-hal yang menggiurkan tersebut akan selalu muncul dan disodorkan kepada mereka bersamaan dengan saat mereka menerima upahnya. Sebagaimana digambarkan Lulofs untuk kuli kontrak dari Jawa yang diserap ke Sumatera:
Bagi mereka uang hanyalah alat untuk berjudi. Dan perbedaan antara banyak dan sedikit uang bagi mereka hanya berarti waktu berjudi lebih lama atau lebih singkat52).
Dengan terserapnya buruh pada ritme kerja dan penghamburan uang tersebut, maka pada akhirnya barak-barak buruh hilang dengan sendirinya. Sebab kini para buruh itu sendiri yang mencari atau membuat tempat tinggalnya di sekitar pabrik, sebagai upaya tinggal dekat tempat bekerja. Muncullah kampung-kampung industri yang melingkungi pabrik dengan komunitas buruh. Buruh-buruh tersebut telah tercabut dari akar desanya. Kehidupan desa tampaknya sudah tidak lagi "Gemah ripah loh jinawi".
Adalah wajar jika dalam zaman modal swasta (1870-1930) timbul berbagai pemogokan buruh, sekelompok buruh tampaknya mulai sadar bahwa kelangsungan pabrik-pabrik tergantung pada tenaga mereka. Secara riil mereka menyaksikan para tuan pabrik yang mempekerjakan mereka hidup mewah dengan rumah megah, memiliki mobil, bermain bilyar (kamar bola), sering berpesta, dan memelihara gundik. Sementara para buruhnya tampak lusuh, miskin, kelaparan setelah habis diperas namun tidak menerima imbalan yang sesuai. Jurang sosial ini yang, tampaknya, mendorong buruh bergerak menuntut hak-haknya.
Catatan:
Knight, 1980, "From Plantation to Padi-field: The Origin of the Nineteenth Century Transformation of Java's Sugar Industry," Modern Asian Studies, 14, 2, hal. 177-204.
Sedang ekspansi penanaman tanaman ekspor yang padat karya ini ke karesidenan-karesidenan pedalaman -- Madiun, Kediri, Banyumas dan Bagelen--dilakukan pada tahun berikutnya. (DH. Burger, 1962, Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Djilid I, tjetakan ke-3, disadur oleh Prajudi, Pradnjaparamita, Djakarta, hal. 185).
Tiga persen dari luas lahan sawah yang ada di Pekalongan. Luas lahan tebu ini hampir selalu tidak tepat ukurannya. Kesulitannya adalah karena digunakan sistem rotasi lahan tebu. Pihak pabrik akan selalu mengambil tanah-tanah lebih luas dari yang diperkirakan. Seperti pada tahun-tahun antara 1838 hingga 1840-an, verbaal-verbaal Direktur Perkebunan menyebutkan luas-luas yang berbeda-beda. Luas 1500 bau adalah untuk tanaman yang telah dewasa. Sedang untuk penanaman bibit-bibit baru diperlukan tanah dengan luas yang sama. Hal ini dilakukan agar pabrik-pabrik bisa terjamin pasokan tebunya terus-menerus setiap tahun. (Archiven Cultures 1816-1900 (selanjutnya AC) no. 408 dan AC no. 1584).
Lihat Arsip Karesidenan Pekalongan (selanjutnya AKP) no. 73/1. Dari tahun ke tahun redaksional kontrak-kontrak tersebut mengalami perbaikan. Setelah didirikannya pabrik-pabrik modern di tahun 1837-1838, kontrak kerja dibatasi antara mulai waktu tanam hingga panen saja, sekitar 18 bulan.
Namun sejak 1834, Bosch membuat peraturan bahwa gubermen hanya bertanggungjawab pada penyiapan buruh-buruh untuk kerja di luar pabrik. Untuk buruh dalam pabrik, fabriekant harus mencarinya sendiri. Tetapi ada keluhan-keluhan dari beberapa fabriekant seperti dialami oleh Bosch sendiri, yang terjadi saat dia mengunjungi salah satu kontraktor pabrik gula. Di pabrik yang dikunjunginya, kontraktor tersebut hanya mendapatkan tebu saja yang dibantu oleh gubermen, sedang untuk mendapatkan kebutuhan lain seperti kapur, batu bata, kayu bakar, atau tenaga kerja, kontraktor tersebut harus memesannya sendiri pada penduduk setempat tanpa bantuan gubermen. Kebutuhan sekunder ini sangat sulit didapatkan tanpa bantuan gubermen. Keluhan ini menggugah Bosch, sehingga akhirnya dia menginstruksikan untuk memberi dukungan terhadap kebutuhan-kebutuhan para kontraktor gula tersebut. (Lihat kutipan Hoevell, dalam Penders, Indonesia Selected Documents on Colonialism and Nationalism, 1830-1942, University of Queensland, 1977, hal. 38).
Vitalis, dalam laporannya tahun 1834, mengatakan bahwa di dalam kebun-kebun tebu dibangun "desa" (dorp). Dalam "desa" tersebut terdapat pondok yang dihuni oleh para kuli; pesanggrahan yang merupakan tempat tinggal staf pabrik (orang-orang Eropa); dan kandang-kandang kuda (AC. No. 1624). Bentuk "desa" dalam kebun yang khas Pekalongan ini, menjadi prototipe yang kemudian dikembangkan dalam karesidenan-karesidenan lain, seperti misalnya dibuat pula di Karesidenan Cirebon, (Jan Breman, 1986, Penguasa Tanah dan Tenaga Kerja Jawa Masa Kolonial, LP3ES, Jakarta, hal. 30)
AC. No. 46.
Surat bertanggal 5 Oktober 1836, Besluit, 3 Januari 1837 No. 4.
Bupati Pekalongan terkenal sangat tidak mendukung jalannya perkebunan kolonial. Hal ini disebabkan mereka sendiri cukup mampu menghidupi keluarga besarnya dengan mengelola beberapa perkebunan indigo (nila). Seperti dilaporkan Vitalis, Inspecteur der Kultures tahun 1837, yang mengatakan tentang bupati Karesidenan ini, "… who prefered very much to be left alone and only carried out inspections when they had to accompany the Resident on tour, … (dalam Penders, 1977, loc.cit., hal. 22). Hal serupa, misalnya, juga dilaporkan oleh kontrolir Batang pada tahun 1844 (lihat Gordon R. Knight, 1982, "Capitalism and Commodity Production in Java," Capitalism and Colonial Production, Hamzah Alavi dkk. (eds.), Croom Helm, London & Canberra, hal. 143). Setelah 1848, terdapat gejala yang menjadi kebalikan dari tahun-tahun sebelumnya. Yaitu, membaliknya sikap bupati dari membelakangi gubermen kini justru mendukung berbagai kegiatan sistem. Bupati tidak hanya meluluskan setiap instruksi gubermen untuk menyediakan fasilitas-fasilitas tanah dan buruh saja, tetapi juga terlibat pekerjaan pengaturan teknis, seperti menunjukkan bagaimana pem-bajak-an tanah harus dilakukan, (lihat kutipan dalam Knight, ibid., hal. 145). Dengan berbaliknya sikap bupati setelah pertengahan abad, cukup berpengaruh bagi para pamong yang berada di bawahnya. Seperti terlihat dalam Dagboeken Controleur tahun 1851, kontrolir Pekalongan melaporkan inspeksi-inspeksinya sangat dibantu oleh para patih, lurah maupun wedono, dan orang-orang ini telah siap mengatur pengerahan heerendienst. (Catatan tanggal 9 dan 10 Januari, AKP no. 127/7).
Gejala buruh anak-anak ini berlangsung sepanjang periode cultuurstelsel. Laporan Commissie Umbgrove, misalnya, juga menemukan buruh anak-anak berusia sekitar 14 tahun (loc.cit.)
Residentie Archieven "Pasar Ikan" 1800-1920 (selanjutnya RA) no. 120.
Bosch, 1834. (Eenige Zakelijke Extracten uit een Algemeen overzigt, door Z.E. den Komissaris General Van den Bosch, te zamen gesteld, gedagtekend 24 Januarij 1834).
Dalam pertengahan abad XIX, Umbgrove, pejabat Hoofd-Inspecteur van Financien, membentuk Commissie untuk melihat kondisi 95 pabrik gula pemerintah yang masih aktif. Pekerjaan Commissie ini menyelidiki kelaikan pabrik dan bagaimana kondisi petani yang berada di sekitar onderneming. Obyek penelitian dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan cukup mendetil, dan sasarannya mencakup seluruh desa yang terlibat kerja-kerja dengan industri gula. Hasil penelitiannya diterbitkan dalam bentuk monograph per pabrik. Dalam hal pendataan mungkin yang dilakukan commissie ini lebih baik dari yang dikumpulkan Eindresume (Eindresume van het bij Gouvernements besluit dd. 10 Juli 1867 no. 2 bevolen Onderzoek naar de Rechten van den Inlander op den Grond op Java een Madoera. Diedit oleh Bergsma. Batavia-Ernst & Co. Bab "Pekalongan", hal. 81-92) yang dilakukan satu dekade kemudian. Eindresume hanya mencantumkan dua desa di lingkungan onderneming tebu, dari 26 desa yang diteliti. Duapuluh empat desa selebihnya merupakan desa-desa terpencil yang penduduknya tidak mengalami interaksi langsung dengan industri gula.
Onghokham, "Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad XIX: Pajak dan Pengaruhnya terhadap Penguasaan Tanah," dalam Dua Abad Penguasaan Tanah, Sediono MP. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (peny.), PT. Gramedia, Jakarta, 1984, hal. 7-8.
Terutama untuk distrik-distrik yang mempunyai kepadatan penduduk cukup tinggi; lihat jugaa Breman, 1986, op.cit., hal 15. Namun pada daerah-daerah yang langka penduduk, biasanya kesatuan cacah hanya terdiri dari 4 orang saja.
Bosch, 1834, loc.cit.
Laporan Commissie Umbgrove, loc.cit.

Jabatan jaman kerajaan sebelum hadirnya kolonialisme, yaitu orang yang menguasai warga berjumlah sekitar seratus orang.
Laporan Commissie Umbgrove, loc.cit.
Kultuur Verslag 1862 bab heerendiensten, (AC 1624).
Politiek Verslag, AKP 70/21: 3.
Kalau suami telah meninggal posisi itu diwariskan kepada istrinya dan disebut rondo kiesie.
Bagi-hasil adalah bentuk pengerahan tenaga manusia untuk penggarapan tanah yang tidak mengakibatkan terbentuknya kelas petani tersendiri. Di Karesidenan Pakalongan agak banyak dijumlai dalam distrik Subah, terutama untuk menggarap tanah pekarangan yang membudidayakan buah-buahan. Biasanya pemilik tanah menyerahkan separuh dari hasilnya kepada yang menanam (disebut memaro). Lihat AMPA Scheltema, Bagi Hasil di Hindia Belanda, Yayasan Obor Indonesia, 1985, hal. 142-4.
Bosch, 1834, loc.cit.
Konsep pemilikan tanah, tampaknya, berasal dari Rafles. Semasa pemerintahannya yang singkat Rafles telah meletakkan dasar-dasar penting bagi perubahan mendasar di Jawa. Antara lain, dia menerapkan pengambilalihan seluruh tanah di Jawa menjadi milik negara (domein), karena menurutnya tidak ada pemilikan tanah pribadi pada masyarakat bumiputera. Tampaknya, Rafles menduga gejala penyerahan upeti pada para penguasa bumiputera sebagai bukti dari pemilikan tanah negara. Yang jelas kebijaksanaan Rafles sangat dipengaruhi oleh sistem sosial Zamindar ("tuan-tanah") yang ada di India, jajahan Inggris. (Untuk ini dapat disimak karya Rafles, The History of Java, 1817, hal. 135-7). Oleh Van den Bosch, kebijakan Rafles tentang pertanahan (milik negara) ini diadaptasi dan digunakan untuk berlangsungnya cultuurstelsel dengan melakukan sedikit modifikasi. Seperti, jika pada konsep Rafles, tanah yang diambil negara itu dalam rangka menarik uang dari petani karena petani menjadi penyewa sehingga wajib membayar sewa tanah (landrente), maka oleh Van den Bosch dibalik, yaitu tanah-tanah dikembalikan kepada rakyat bumiputera. Namun pengembalian tanah-tanah tersebut disertai beban yakni setiap petani yang mendapat atau menguasai tanah wajiib menanami tanah tersebut dengan tanaman dagang konsumsi dunia, atau menyediakan diri untuk bekerja selama 66 hari pada onderneming-onderneming pemerintah. Pewajiban-kerja yang diajukan Bosch ini dianggap lebih ringan jika dibandingkan dengan kewajiban membayar pajak (lanrente). (Untuk membandingkan kedua sistem yang diterapkan oleh Rafles dan Van den Bosch, dapat diikuti dalam Sutjipto (ed.) Sejarah Nasional Indonesia jilid IV, Seri Sartono Kartodirdjo, dkk., Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 57-89).
Sikep sebagai kelas sosial, nampaknya masih tetap bertahan sampai perempat pertama abad ke-XX. Lihat, misalnya, Memorie Van Overgave residen-residen Cirebon dari J Van Marel, tanggal 22 April 1922, atau R.Ph.M van der Meer, 9 April 1925 maupun dari C.J.A.E.T. Hiiljee, 3 Juni 1930. (Memori Serah Jabatan 1921-1930), (Jawa Barat), 1976, ANRI, hal. 185-238). Meskipun di beberapa distrik terjadi perubahan istilah dari sikep menjadi kuli kenceng atau kuli kendo hal ini tidaklah berarti mereka dapat dipaksa melepas hak-hak istimewa yang dimilikinya, atau turun statusnya menjadi buruh tani. Mereka tetap bertahan sebagai kelas petani-kaya yang tidap perlu menjual tenaga-kerjanya pada orang lain, atau pada pabrik, lihat Gunawan Wiradi, Kompas 23 Maret 1983, "Kuli Kenceng di Pedesaan Jawa - Apa Masih Ada?"
AKP 73/1.
Fasseur, 1975, dikutip dalam Knight (1982), loc.cit. hal. 133-4.
Lampiran La G. dalam besluit 8 Januari 1847, no. 1.
Ibid. Lagi pula tindakan Abdool Rachman ini didukung oleh demang setempat. Demang tersebut bahkan menghukum para petani yang tidak bersedia menyerahkan tanah tersebut kepada Abdool Rachman. Hal ini membuktikan bahwa kaum elit bumiputera masih sempat bertindak semena-mena. Dan sejauh tidak merugikan gubermen, tampaknya, tindakan ini tetap ditolelir.
Jumlah pembayar pajak di Pekalongan tidak banyak, hanya sekitar 450 orang. Setiap tahunnya dari orang-orang ini bisa dikumpulkan lebih-kurang 400.000 gulden bagi gubermen. Inilah orang-orang pemegang hak istimewa yang terutama memiliki tanah-tanah luas, beberapa di anataranya menguasai lebih dari 100 bau. (Register van de taxatie der eigendommen in de Residentie Pekalongan 1847-1849/AKP 85/4).
Laporan Commisie Umbgrove, loc.cit.
Eindresume … 1880, hal. 84, 86.
Knight, 1982, loc.cit., hal. 139.
Politiek Verslag tahun 1859, AKP no. 69.
Laporan Commissie Umbgrove, loc.cit.
Ibid.
Uemura Yasuo, "Perkebunan Tebu dan Masyarakat Pedesaan di Jawa," dalam Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang: Perubahan Sosial-Ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia. Diedit oleh Akira Nagazumi dan Taufik Abdullah. Yayasan Obor Indonesia, 1986, hal. 60.
Knight, 1982, loc.cit., hal. 139.
AC no. 1624.
George C. Allen dan Audrey G. Donnithorne, Western Enterprise in Indonesia and Malaya: a study in Economic Development, George Allen & Unwin Ltd. London, 1957, hal. 70.
Commissie Umbgrove dalam laporannya cukup jelas ketika mengatakan bahwa koeli dan wong boeroeh umumnya berasal dari luar desa. Hal ini tentunya untuk menunjukkan bahwa ada buruh yang disediakan oleh desa-desa secara ‘adat’ yang disebut menumpang dan bujang.
Selama tahun 1840-an upah diperkebunan gula bertahan antara 12 hingga 15 duit, dan sejak 1850 antara 15 sampai 20 duit. Sedang untuk kuli yang bersedia kerja nonstop siang-malam sekaligus mendapat 40 duit. Tetapi untuk para pengawas atau mandor upah per hari jauh lebih besar sekitar 40 duit untuk kerja satu shift. Sejak awal 1850, kondisi upah dalam industri gula mulai membaik. (Lijst van Ingekochte Materialen en Verwerkte Arbeidsloonen 1842-1859, AKP 20/1; Kultuur Verslag 1862 sub "Dagloonen", AC no. 1624.) Upah ‘realistik’ ini, tampaknya berhasil meredam keresahan buruh. Selama berlangsungnya cultuurstelsel di Karesidenan Pekalongan hanya terjadi satu kali ‘pemogokan’ di onderneming gula yaitu pada tahun 1842.
Pernyataan Residen Pekalongan tahun 1852 (AC no. 1624).
Laporan Commissie Umbgrove, loc.cit. Misalnya untuk kerja menanam dan merawat kebun tebu, persetujuan yang dilakukan antara 1830 hingga akhir 1840-an, untuk mengolah satu bau lahan tebu hanya dilakukan oleh empat orang. Tetapi sejak awal 1850 masing-masing pabrik bisa merekrut tenaga perawat tebu antara enam hingga delapan orang untuk setiap bau. (AC no. 1624)
Khususnya untuk kerja dalam pabrik. Tetapi untuk kerja-kerja dalam kebun-kebun masih dilakukan oleh para vrijwelliger. (Politiek Verslag tahun 1859, AKP 69/5; dan AC no. 1624).
Elson, Javanese Peasants and the Colonial Sugar Industry: Impact and Change in an East Java Residency, 1830-1940, Oxford University Press, Singapore, 1984 hal. 116-7.
Burger, 1962, op.cit., hal. 219.
Register Gouvernements Secretaris, Van Deinde, 31 Oktober 1864, untuk Karesidenan Pekalongan dan Cirebon, AC no. 499.
Elson, 1984, op.cit., hal. 120. Lebih lanjut dalam penelitiannya di pabrik-pabrik di Karesidenan Pasuruan, Elson menemukan ‘kerja-bebas’ pada para penarik gerobak, di pabrik-pabrik swasta yang kecil kapasitas produksinya. Biasanya untuk ini fabriekant menawarkan uang muka tunai, yang akan terlunasi dengan serangkaian kerja sepanjang musim panen. Uang muka ini tidak hanya dipakai untuk merangsang petani pada pekerjaan pengangkutan tapi juga melengkapi mereka dengan uang yang diperlukannya untuk membeli hewan dan gerobak-gerobak. Persiapan-persiapan ini membuka akses pada jumlah modal yang besarnya tidak lazim bagi tukang-tukang gerobak. Di sisi lain meringankan fabriekant dari penyediaan dan pemeliharaan fasilitas-fasilitas pengangkutan sendiri. Meskipun demikian, tukang-tukang gerobak sering menginvestasikan uangnya secara ‘irasional’, dengan menghabiskannya dalam perlombaan-perlombaan yang ‘gagah-gagahan’. Maka para penarik gerobak harus bekerja tanpa bayaran selama bagian akhir musim panen itu. Banyak di antara tukang gerobak yang memilih mengingkari kontrak-kontraknya dan melarikan diri begitu saja. Untuk menanggulangi masalah ini, akhirnya gubermen mencoba mempromosikan rasa tanggung jawab pada buruh-buruh pengangkutan, dengan memberi persekot tunai yang kecil, sedang pada penutup musim panen, masih tersedia uang tunai dalam jumlah yang berarti. (Ibid., hal. 110-3). Selain itu gejaka ‘kerja-bebas’ dapat pula ditemui dalam karesidenan-karesidenan Probolinggo, Surabaya, Kediri, Cirebon dan Kendal (lihat DH. Burger, 1939, De ontsluiting van Java’s Binnenland voor het Wereldverkeer, hal. 142-4).
Knight, 1982, loc.cit., hal. 140-1.
Dikutip dari M.H. Szekely-Lulofs, 1985, Berpacu Nasib Di Kebun Karet, Grafitipers, hal 11.