Selasa, 11 November 2008

Perubahan Pola-Pola Mobilisasi Petani untuk Tanah dan Demokrasi di Filipina*)

Perubahan Pola-Pola Mobilisasi Petani untuk Tanah dan Demokrasi di Filipina*)

Jennifer C. Franco**) dan Satunirno Boras Jr.***)


Pendahuluan

Pada kebangkitan pergolakan yang menggulingkan mantan presiden Joseph ‘Erap’ Estrada di awal 2001, UNORKA (Pambansang Ugnayan ng mga Nagsasariling Lokal na Samahang Mamamayan sa Kanayunan, Koordinator Nasional Organisasi Lokal Rakyat Pedesaan Otonom) mengawali pertemuan dengan pejabat Departemen Reforma Agraria (DAR). Pertemuan ini sedianya membahas lebih dari lima ratus kasus reforma agraria mencakup lebih dari 200.000 hektar tanah di seluruh penjuru negeri dan melibatkan 90.000 keluarga petani miskin pedesaan (UNORKA, 2001a). Setelah dialog yang memakan waktu berbulan-bulan, UNORKA belum juga berhasil bertatap muka dengan Menteri DAR, seorang politisi muda dan keponakan mantan presiden Fidel Ramos. Menteri DAR, Hernani Braganza menanggapi ajakan tatap muka ini dengan mengalihkan tanggung jawab kepada sekretaris-sekretaris bawahannya dan asistennya. Bagi UNORKA, ketidakhadiran Braganza pada perayaan ulang thun Program Reforma Agraria Komprehensif (CARP) yang jatuh pada tanggal 10 Juni menandakan ketiadaan komitmen pada land reform, seperti juga fakta bahwa redistribusi tanah nyata-nyata berjalan di tempat setelah administrasi baru berlangsung selama lima bulan.
Perilaku tak mengenakan ini dimulai dengan cara-cara yang digunakan oleh menteri-menteri DAR dalam menangani konstituen petani sejak tokoh reformis Ernesto Garilao (1992-98) menjabat. Perilaku ini tentunya tidak sejalan dengan kepentingan UNORKA. Para anggota UNORKA sendiri mulai melancarkan aksi-aksi sporadis di kantor nasional DAR dan juga beberapa kantor wilayah untuk menyatakan kekesalan mereka. Akhirnya UNORKA berhasil mendapatkan janji pertemuan dengan menteri DAR. Tapi pada siang hari menjelang pertemuan ketika anggota UNORKA dari Luzon Tengah dan Selatan tiba di Manila, menteri DAR seenaknya mengganti jadwal pertemuan. Pertemuan akan diadakan minggu berikutnya. Sementara banyak delegasi UNORKA yang telah menghabiskan waktu berjam-jam dalam perjalanan dari desa terpencil dengan biaya sendiri untuk menghadiri pertemuan. Tidak ada pilihan lain kecuali menerima perubahan jadwal. Setelah satu minggu, pagi hari pada tanggal 13 Agustus, delegasi UNORKA kembali mendatangi Manila. Menjelang siang, sekitar empat ratus delegasi UNORKA yang terlibat dalam kasus-kasus land reform telah tiba. Mereka mulai berduyun-duyun mendatangi kantor pusat DAR tapi dilarang masuk oleh pasukan penjaga yang telah bersiap di pintu gerbang. Pasukan penjaga mengatakan bahwa hanya 100 petani yang boleh masuk ke dalam. Para delegasi menampik omongan pasukan penjaga. Mereka berhasil melawan pasukan penjaga dan langsung menuju tempat pertemuan untuk menunggu jam dua siang, waktu pertemuan dengan menteri DAR.
Mereka menunggu. Dua jam kemudian, setelah para pimpinan kelompok yang akan menanyakan jadwal yang ngaret dilarang memasuki gedung utama, seluruh kelompok memutuskan untuk berjalan ke kantor menteri di gedung utama. Jalan mereka diblokir oleh satuan pengaman yang dengan paksa mencoba menutup pintu gedung dan melukai beberapa petani. Tapi segera 400 delegasi petani yang kuat kembali berhasil melumpuhkan satuan pengaman dan langsung naik ke lantai atas ke tempat mereka menuntut untuk bertemu dengan menteri. Para delegasi juga menetapkan pukul enam sore sebagai tenggat waktu. Pukul enam telah tiba dan berlalu. UNORKA mulai melampiaskan kemarahannya dengan mencoba menerobos masuk. Mereka dipimpin sekelompok ibu-ibu petani yang tanpa tendeng aling-aling menarik paksa kelamin satuan pengaman laki-laki. Akibatnya mereka lari tunggang langgang. Ibu-ibu inilah yang berhasil membuka jalan bagi kawan-kawan mereka untuk melewati penjagaan. Di dalam seorang delegasi dilaporkan sekilas melihat Braganza minum whiskey di kantornya sebelum kabur lewat pintu belakang. Pejabat DAR yang lain tidak berhasil membujuk UNORKA untuk kembali ke tempat pertemuan di sebelah. Pejabat DAR mengatakan bahwa Braganza akan menemui mereka di sana. Tapi UNORKA sekarang tidak mau pindah dari lantai empat karena sepasukan polisi anti huru hara bersenjata lengkap dan siap tempur sudah menanti di bawah.
Aksi spontan ini masih juga berlangsung dua hari kemudian. Meskipun menteri DAR sudah memerintahkan blokade makanan dan polisi anti huru-hara sudah menyegel dan mengepung kantor DAR, kawan-kawan yang berada di luar masih berhasil menyelundupkan makanan dan obat-obatan ke dalam. Selundupan makanan dan obat-obatan inilah yang mampu membuat mereka bertahan. Tapi banyak yang sudah jatuh sakit akibat duduk berjam-jam dan tidur di lantai beton yang dingin dan keras, kurang air dan makan dan juga akibat ketegangan yang mendera. Polisi berkali-kali membubarkan mereka. Upaya pembubaran ini ditahan oleh para pemimpin UNORKA yang menjelaskan bahwa mereka tidak berniat melakukan kekerasan tapi hanya ingin bertemu dengan menteri DAR. Pemimpin UNORKA juga menegaskan bahwa perlakuan kasar yang diberikan polisi adalah tidak patut dan tidak adil. Sementara para anggota UNORKA yang di luar membuat rencana untuk melakukan aksi baru untuk mendukung kawn-kawan mereka yang berada di dalam.
Namun di hari ketiga, akibat deraan kelaparan dan kelelahan fisik yang luar biasa, mereka yang terkurung di dalam sepakat untuk mengusulkan pertemuan dengan menteri DAR di bawah. Ironisnya, ‘ketika UNORKA turun ke bawah menuju ruang “Pusat Petani Uma”, delegasi Bank Dunia sedang bergegas menaiki tangga. Mereka (delegasi Bank Dunia) hendak melangsungkan pertemuan awal dengan Braganza di Ruang Dewan Menteri yang telah diduduki oleh UNORKA sepanjang tiga hari dua malam’ (UNORKA, 2001b). Selama pertemuan dengan UNORKA di bawah, Braganza berjanji untuk mempercepat upaya resolusi semua kasus mereka. Delegasi UNORKA meminta Braganza menandatangani kesepakatan tertulis tentang pelaksanaan janjinya. Braganza memenuhinya dan berakhirlah sebuah krisis. Namun ujung-ujungnya, tampilan kerja Braganza tidak kunjung membaik dan UNORKA pada tahun 2002 meluncurkan sebuah kampanye besar yang menuntut pemberhentian Braganza dari jabatannya.
Menyaksikan aksi protes yang semakin menjadi dari kelompok-kelompok petani, Presiden Gloria Macapagal-Arroyo terpaksa berdialog langsung dengan para pimpinan UNORKA dan ornop-ornop serta organisasi-organisasi petani lain pada bulan November 2002 di Istana Malacanang. Dalam pertemuan ini, UNORKA dan kelompok-kelompok lain berfokus pada isu-isu substantif yang menghalangi kerja front reforma agraria, termasuk kekurangan-kekurangan implementasi land reform, ‘kecurangan’ dalam laporan-laporan resmi pencapaian redistribusi tanah, masalah-masalah seputar fokus pemerintah dalam menjalankan land reform berdasarkan kesukarelan, implementasi sistem sewa-menyewa tanah untuk perkebunan kelapa yang carut marut, penghapusan anggaran untuk land reform, juga masalah kepemimpinan utama di DAR. Presiden berjanji untuk memberi respon positif kepada tuntutan-tuntutan yang dikedepankan dan isu-isu yang dimunculkan oleh UNORKA dan kelompok-kelompok pedesaan lainnya. Menjelang awal 2003, Braganza diberhentikan dari jabatannya. Ia berhasil didiskreditkan oleh tekanan terus menerus oleh UNORKA dan kelompok-kelompok lain yang turut bergabung dalam aksi.
Dengan melihat ke belakang, bisa dimengerti bahwa aksi spontan di kantor pusat DAR yang diupayakan oleh para petani tak bertanah dan yang hampir tak bertanah serta pekerja perkebunan sebagai aktor-aktor politik otonom. Secara historis, di Filipina, kaum miskin pedesaan jarang dipandang sebagai aktor politik dalam mengupayakan hak-hak mereka sendiri terlepas dari kekuatan jumlah dan sejarah pemberontakan. Malah, mereka cenderung terkurung dalam representasi statis yang menggambarkan mereka sebagai ‘penerima pasif perubahan’ (Ileto, 1979:9). Ini barangkali khususnya begitu berkaitan dengan karakteristik petani dan perubahan politik demokratik atau demokratisasi. Ini juga boleh jadi karena ‘bias kota’ dalam kajian-kajian demokratisasi atau tetap dipakainya kerangka analisa yang menempatkan sumber-sumber perubahan politik dan sosial yang progresif berada dalam sektor masyarakat yang diklaim ‘modern’. Terlepas tersirat atau tersurat, asumsi yang jelas adalah karena tersisihkanmnya rakyat miskin pedesaan yng memang tidak mampu melakukan aktivitas politik penting yang dibutuhkan untuk memajukan demokratisasi.
Namun kejadian yang baru saja berlangsung di dunia nyata (aksi spontan di kantor DAR dan aksi-aksi berikutnya) menegaskan sebuah kebutuhan untuk mengevaluasi kembali asumsi yang terus dipegang ini. Perkembangan-perkembangan pada front politik land reform khususnya, benar-benar menantang citra petani Filipina sebagai ‘penerima pasif perubahan’— terlepas apakah perubahan tersebut berasal dari ‘petunjuk penting’ (elit-elit) politik nasional atau dari markas di rimba belantara milik gerakan revolusioner bawah tanah pimpinan Partai Komunis Filipina (CPP) bawah tanah — dan sayap bersenjatanya, Tentara Rakyat Baru (NPA). Bahkan kejadian-kejadian itu menyiratkan yang diobservasi Orin Starn (1992:90-91) — bahwa “dunia perkotaan... tidak memiliki monopoli atas inovasi. Di pinggiran daerah pinggiran (terpencil) rakyat juga mengartikulasikan orde baru perbedaan dan kemungkinan yang rapuh:”. Tujuan dari makalah ini adalah menggambarkan dan menganalisis perkembangan-perkembangan kontemporer di medan gerakan sosial pedesaan di Filipina dan mengungkapkan setiap artikulasi baru ‘perbedaan dan kemungkinan’ yang bisa jadi tersingkap di sana dan dari sana.
Dalam dasawarsa belakangan ini kaum miskin pedesaan Filipina telah semakin getol memobilisasi diri untuk klaim-klaim hak tanah yang spesifik dan dapat dibenarkan secara hukum. Dalam prosesnya, ini telah memberikan sumbangan yang berarti bagi pembangunan institusi sosial politik pedesaan yang lebih representatif dan meningkatnya tanggungjawab negara kepada mayoritas kaum miskin pedesaan. Jika proses demokratisasi melibatkan perjuangan terus menerus dan efektif untuk memperluas dan memperdalam serangkaian hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya bagi semua warga negara, maka perjuangan-perjuangan rakyat miskin pedesaan untuk memperoleh hak tanah mereka adalah sebuah bagian integral dari proses ini. Dalam kata lain, isu-isu kepemilikan tanah dan kewarganegaraan muncul bersamaan dalam mobilisasi petani kontemporer di Filipina, tetapi bagaimana dan mengapa hal ini terjadi memerlukan penjelasan lebih lanjut. Untuk memahami lebih baik ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ dalam perkembangan-perkembangan gerakan petani Filipina yang luas di saat ini, kami menggunakan pendekatan yang secara spesifik mengkerangkakan masalah demokratisasi pedesaan dan menegaskan kembali bahwa rakyat miskin pedesaan berpotensi sebagai aktor politik otonom yang potensial dalam proses demokratisasi (lihat Fox, 1994, 1990; Franco, 2005, 2004, 2001a).
Pendekatan tersebut diambil dari karya ilmuwan sosial Amerika yang berpengaruh, Jonathan Fox. Ia pertama kali memperkenalkan gagasan demokratisasi pedesaan di akhir tahun 1980an dan juga menerbitkan volume tentang gagasan tersebut (yang juga ia edit) pada tahun 1990 berdasar serangkaian penelitian dari Amerika Latin dan Filipina yang tampil sebagai isu spesial Journal of Development Studies . Dalam pendahuluannya di buku tersebut, Fox mendefinisikan demokratisasi pedesaan sebagai berikut:
“Demokratisasi pedesaan adalah sebuah proses terus menerus, yang berkembang, seringkali secara janggal, dalam lingkup masyarakat dan negara. Dalam masyarakat sipil, ia melibatkan kemunculan dan konsolidasi institusi-institusi sosial dan politik yang mampu mewakili kepentingan-kepentingan pedesaan vis-a-vis negara. Beberapa memang secara spesifik (bersifat) pedesaan, seperti organisasi-organisasi tani, sementara lainnya boleh jadi merupakan asosiasi nasional seperti partai-partai politik yang membangun sebuah keberadaan pedesaan. Bagi negara, demokratisasi pedesaan mensyaratkan kekuasaan mayoritas efektif juga akuntabilitas formal dan informal kepada warga pedesaan” (1990:1).
Mengapa berfokus kepada demokratisasi pedesaan? Menurut Fox, meskipun ‘demokratisasi pedesaan tidak bisa dipisahkan dari tantangan demokratisasi negara secara lebih umum’, konsep tersebut memungkinkan orang untuk memusatkan perhatian pada arena politis pedesaan dan tantangan-tantangan khususnya. Fokus seperti itu, kata Fox, ‘memunculkan sebuah perangkat pertanyaan analitis yang berbeda karena rakyat miskin pedesaan menghadapi hambatan-hambatan internal dan eksternal ketika mereka berupaya memaksa negara bertanggung jawab atas aksi-aksinya’ (ibid.). Lebih jauh lagi, ia dengan tegas menunjukan, ‘lembaga-lembaga yang biasanya terpikir untuk mengartikulasikan dan memediasi kepentingan-kepentingan masyarakat sipil vis-a-vis negara, seperti partai, serikat buruh, asosiasi sipil dan media memiliki sebuah keberadaan yang dangkal atau sangat janggal di banyak negara berkembang’ (ibid.). Enam negara yang dikaji dalam buku tersebut menjelaskan tidak hanya masalah demokratisasi arena-arena politik pedesaan di Brazil, Colombia, Meksiko, Bolivia, Nikaragua dan Filipina, tapi juga cara bagaimana rakyat miskin pedesaan berupaya untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut melalui aksi kolektif.
Lebih dari satu dasawarsa kemudian, dengan mengikuti Fox dan koleganya dalam mengkerangkakan masalah proses-proses demokratisasi pedesaan, makalah ini kembali menunjukan bagaimana potret konvensional aksi kolektif rakyat miskin pedesaan tidak hanya jauh dari kenyataan, tapi juga mengaburkan sebuah kecenderungan penting, setidaknya dalam masyarakat politik dan pedesaan Filipina. Di sini mobilisasi ‘dari bawah’ rakyat miskin pedesaan telah semakin menjadi sebuah bagian integral dari pertarungan strategis atas batasan-batasan sistem demokrasi yang berlaku sekarang—sesuatu yang hanya benar-benar bisa ditangkap oleh perspektif demokratisasi pedesaan. Alih-alih meniadakan upaya mereka (rakyat miskin pedesaan) secara a priori, penulis makalah ini mencoba menonjolkan mereka yang secara kolektif mengupayakan perubahan dari situasi-situasi yang tidak adil dan tidak bisa ditoleransi dengan menyerukan, menggunakan dan mengupayakan pelonggaran batas-batas ‘nilai-nilai resmi’ yang termaktub dalam hukum negara.
Lebih spesifik lagi, kami di sini berfokus pada aspek sosial politik perjuangan UNORKA, sebuah front persatuan organisasi rakyat miskin pedesaan yang relatif muda dengan warisan pengalaman sejarah yang kaya dengan siklus mobilisasi petani di masa lalu dan sekarang. Didirikan bulan Juni 2000, UNORKA adalah sebuah koalisi organisasi-organisasi petani dan buruh tani yang terlibat dalam perjuangan untuk reforma agraria. Para anggota UNORKA membantu mempelopori dan mengembangkan apa yang sekarang dikenal sebagai ‘strategi bibingka’ dalam implementasi reforma agraria. Mengambil dari konsep Fox (1993) ‘strategi roti lapis (sandwich)’ dalam konteks pedesaan Meksiko, Borras (1999:8) menjelaskan bahwa bibingka adalah kue beras khas Filipina yang dibakar dengan oven buatan rumah terdiri dari dua lapis, dengan bara arang di tiap lapisannya, di atas dan di bawah kue....(menonjolkan) situasi bahwa negara dan masyarakat seringkali ditandai dengan keberadaan konflik-konflik panas antara kekuatan-kekuatan anti dan pro reformasi pada level-level yang berbeda.’ Inilah ide yang termanifestasi dalam aksi-aksi UNORKA.
Tetapi terlepas dari upaya keras UNORKA untuk mempertahankan dan mengeksploitasi dua posisi yang sangat bertentangan (middle ground) radikal antara ‘penolakan mentah-mentah (outright rejection)’ dan ‘kolaborasi tidak kritis (uncritical collaboration)’ dengan program reforma agraria pemerintah (lihat Franco, 1999a)—radikal karena UNORKA menantang langsung sebuah status quo yang tidak demokratis dan tidak adil di sini dan sekarang dengan menggunakan hukum negara. UNORKA seringkali tidak dimengerti oleh para pejabat DAR. UNORKA telah berulang kali mendapat tekanan keras untuk meyakinkan kepemimpinan nasional DAR akan otonomi dan legitimasinya. Para pejabat tinggi DAR (yang sudah mengalami pergantian demi pergantian) menuduh UNORKA yang dianggap sebagai musuh yang memanipulasi dan penyebar ‘kekuasaan mafia’---sebuah istilah penuh muatan fitnah yang baru-baru ini terus digunakan oleh para politisi dan bahkan beberapa sektor masyarakat sipil untuk menjatuhkan dan meluruhkan legitimasi mobilisasi rakyat miskin dan partisipasi politik (Franco, 2004).
Seperti yang akan dikaji dalam penelitian ini, terlepas seperti di atas, kemunculan karakter baru dan siklus mobilisasi petani ini seperti yang tercermin pada UNORKA barangkali sebaiknya dipahami dalam makna konstruksi kewarganegaraan pedesaan ‘dari bawah’. Karenanya, orientasi strategis UNORKA dapat dilihat sebagai sebuah perluasan proses demokratisasi yang belum juga selesai di Filipina.

Latar Belakang Teori
Pembentukan teori gerakan sosial memiliki sebuah sejarah panjang yang bergerak melampaui perdebatan ‘strategi’ versus ‘identitas’ di tahun 1980an. Perdebatan ini terutama melibatkan akademisi Amerika Utara dan Eropa Barat. Untuk tujuan kami, dan dari dalam keseluruhan kerangka demokratisasi pedesaan, titik lepas landas berikutnya yang paling bermakna dalam pustaka akademis adalah meningkatnya perhatian pada perkembangan gerakan sosial di Amerika Latin pada akhir 1980an sampai awal 1990an. Meskipun ‘perdebatan barat’ tentunya berguna, orang Amerika Latin sendiri yang mengamati gerakan di tahun 1980an menunjukkan ‘ciri-ciri (gerakan sosial) yang membutuhkan perluasan atau penyesuaian teori-teori barat’ (Phongpaichit, 2002:5). Akademisi Amerika Latin seperti Eskobar dan Alvarez (1992) dan yang lainnya juga menyetujui sebuah kajian strategi gerakan sosial dan juga identitas gerakan sosial yang terintegrasi dan tidak terpisah-pisah.
Tetapi kebutuhan untuk menyesuaikan teori-teori yang ada sebagian berakar pada fakta bahwa gerakan sosial Amerika Latin bangkit dalam genre kancah institusional historis nasional yang sangat berbeda dengan gerakan sosial yang terjadi di Eropa pada tahun 1980an. Di Amerika Latin, gerakan bangkit dalam lingkup politik yang sangat kasar yaitu rejim militer, otoritarianisme terpimpin dan kekuasaan partai tunggal. Karenanya gerakan sosial di Amerika Latin dari awal dipandang sebagai ‘upaya untuk menciptakan atau memulihkan masyarakat sipil dihadapan kekuasaan negara, represi diktator dan hegemoni-hegemoni peminggiran’(Phongpaichit, 2002:6, mengutip Foweraker 1995). Rakyat Amerika Latin juga tidak hanya terlibat dalam perjuangan untuk memapankan (atau memapankan kembali) hak-hak sipil dan politik tapi juga seringkali berkutat dalam perjuangan-perjuangan isu-isu material seperti kontrol sosial sumberdaya. Terlebih lagi, gerakan Amerika Latin lebih berbasis pada komunitas-komunitas, dibentuk dan ‘dijalankan sepenuhnya’ oleh solidaritas dan identitas komunitas-komunitas dan sesuai dengan isu-isu hak komunitas. Tapi karena watak khusus lingkungan politis lebih luas yang mereka tempati, mereka (komunitas-komunitas) rentan untuk dirusak dan dilecehkan oleh represi [negara] (ibid:6).
Melengkapi isu-isu pokok (tentang gerakan sosial Amerika Latin) yang disebutkan di atas, pustaka gerakan sosial konvensional cenderung mengabaikan sebuah sektor masyarakat yang sangat penting dari sebuah perspektif Amerika Latin. Seperti yang ditegaskan Starn yang menulis tentang petani dataran tinggi Peru di awal tahun 1990an, ‘Sebagian besar kajian akademis tentang gerakan-gerakan sosial baru mengabaikan petani dan karenanya (kajian tersebut) ketinggalan beberapa percaturan politik baru yang paling penting di planet ini’(1992:90). Bahkan diskusi-diskusi tentang ‘politik baru’ yang dilahirkan dari gerakan sosial baru di Amerika Latin cenderung didominasi oleh perspektif-perspektif berbasis urban dan berfokus pada inisiatif-inisiatif berorientasi urban. Namun demikian, perkembangan-perkembangan baru pada tahun 1990an di pedesaan Amerika Latin dan di manapun membantu memunculkan pedesaan dalam diskusi, dan dalam proses membenarkan kesimpulan Starn dan yang lain bahwa ‘dunia urban...tidak memonopoli inovasi. Di daerah pinggiran (terpencil) rakyat juga menghadapi dan mengrtikulsikan diri menantang bangunan kekuasaan yang khusus dan rapuh’ (ibid, 90-91). Karenanya tahun 1990an melahirkan sebuah generasi baru teori gerakan sosial pedesaan yang khususnya relevan bagi kajian saat ini.
Khususnya, karya mendalam Starn tentang rondas campesinas (‘ronda petani’) di dataran tinggi Peru yang mengkaji bagaimana institusi-institusi lokal masyarakat adat—benih sistem peradilan alternatif—telah muncul, bekerja dan ber-evolusi dalam konteks meningkatnya angka kriminal pedesaan, ketidakefektivan sistem peradilan, dan penindasan tentara dan hacienda sekaligus mengusung kemungkinan-kemungkinan baru untuk konstruksi demokrasi ‘dari bawah’. Sementara, ribuan invasi rakyat tak bertanah pada sejumlah besar tanah (terutama tanah tidur) di Brazil yang diorganisasi oleh kelompok seperti Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra (MST) dan lainnya membangkitkan perhatian pada pertanyaan tentang tanah dalam sebuah lingkup nasional ketika hak tanah petani tidak sepenuhnya dilindungi dalam hukum negara. ‘Akibatnya,’ kata akademisi Brazil George Meszaros (2000: 521) baru-baru ini, ‘gerakan sosial ini berhasil menunjukan jika negara tidak mampu mencapai tujuan-tujuan yang ia deklarasikan tentang land reform juga perlindungan hak-hak dasar lainnya, maka rakyat akan menjalankan taktik aksi langsung dan, hampir dalam arti sesungguhnya, mengambil tanah ke tangan mereka’. Barangkali yang paling dramatis dan terkenal dari semuanya adalah pemberontakan Zapatista di ujung selatan Meksiko. Diantara semuanya, Neil Harvey (1998) menunjukan bagaimana pemberontakan tersebut melibatkan sebuah identitas sosial politik kolektif baru dari sebuah keragaman budaya tapi sama-sama merupakan populasi petani masyarakat adat yang tertindas di dataran tinggi Chiapas. Secara politis, dengan tuntutan intinya untuk ‘hak memiliki hak’, pemberontakan tahun 1990an menandai babak baru politik petani yang menekankan penggunaan kekuatan warga negara dan bukan perebutan kekuasaan negara.
Gerakan petani baru di Amerika Latin ini di tahun 1990an membantu menyegarkan diskusi teoritis tentang mobilisasi petani dan melengkapi diskusi tentang bagaimana gerakan ini berhubungan dengan proses-proses demokratisasi yang lebih besar. Gerakan-gerakan itu juga dengan gamblang menunjukan konsekuensi sosial dan politik potensial dari kegagalan nasional negara-negara selatan untuk mempromosikan sistem demokrasi luas secara sistematis dan konsisten.
Di tempat lain, kali ini dekat dengan tempat kita di Asia, studi Kevin O’Brien (1996) tentang rightful resistance (perjuangan hak – yang mana hal itu telh ditetapkan oleh hukum negara itu sendiri. Peny.) kaum tani melawan pejabat partai lokal yang sewenang-wenang di pedesaan Cina mengungkapkan bagaimana petani desa biasa dan miskin di sana juga mencoba memakai kekuatan warga. Perlawanan tersebut mendefinisikan kembali hubungan dengan otoritas publik. Studi Kevin O’Brien menunjukan bagaimana kaum petani memobilisasi hukum negara nasional sebagai kekuatan dalam perjuangan mereka yang langsung menyingkap korupsi pejabat lokal. Karena itu, perlawanan ini menarik sebuah perbedaan analitis antara jenis perjuangan hak (rightful resistance) dengan jenis perlawanan ‘sehari-hari’ di pedesaan yang klandestin dan lebih individual seperti yang ditekankan James Scott (1990) dan lainnya termasuk Benedict Kerkvliet (1990) di Filipina. Sekali lagi di sini, ditekankan pentingnya peran mobilisasi petani dalam memperjuangkan hak yang bersifat kolektif dan militan adalah potensial mendorong proses demokratisasi.
Pengalaman-pengalaman dan kajian-kajian tentang gerakan petani menginformasikan diskusi terkini tentang perkembangan di pedesaan Filipina di tahun 1990an dan seterusnya. Di sini, tahun 1990an menyajikan sebuah peralihan dramatis mobilisasi petani Filipina dari sebuah penekanan pada perebutan kekuasaan negara menuju sebuah penegasan yang lebih militan akan ‘hak untuk memiliki hak’ dengan gerakan kaum tani lokal otonom dalam konteks perundang-undangan land reform dengan strategi yang dikenal sebagai ‘strategi bibingka’ (Borras, 1999). Kaum tani Filipina sejak itu telah mempertinggi militansi perjuangan mereka untuk tanah. Mereka juga menghadapi tuan tanah lokal yang lalim. Dan seperti yang ditegaskan pada pendahuluan makalah ini adalah keterlibatan kaum tani dalam perjuangan memperoleh hak dari negara nasional, perwujudan pola rightful resistance. Meskipun perlawanan untuk memperoleh kaum tani Filipina saat ini terutama diarahkan kepada penguasa lokal yang punya banyak tanah—elit-elit pedesaan di ‘pinggiran daerah pinggiran’ seperti dalam istilah Starn—yang bertahan semasa transisi politik nasional dari kekuasaan otoriter tahun 1986 (Franco 2001a).Resistensi juga diarahkan untuk melawan negara nasional yang kelihatannya semakin enggan mematuhi mandat konstitusional dan perundang-undangannya sendiri. Memang gagasan O’Brien tentang ‘rightful resistance’ sangat berguna untuk mengamati kasus Filipina karena selain memperluas penglihatan kita dari sekedar mengamati bentuk perlawanan ‘sehari-hari’ dan aksi-aksi kolektif langsung yang berbasis hak, gagasan rightful resistance juga menangkap kenyataan tentang aksi-aksi itu sebagai tindakan berbeda dari resistensi menentang peminggiran dan marjinalisasi yang memang sengaja dilakukan.
Namun demikian, aksi-aksi seperti itu juga membutuhkan peluang untuk berkembang. Sidney Tarrow (1994:54) mendefinisikan peluang politik sebagai ‘sinyal konsisten (tapi tidak melulu harus formal, permanen atau nasional) untuk para aktor sosial dan politik yang mendorong atau menghalangi mereka untuk menggunakan sumberdaya internal mereka untuk membentuk sebuah gerakan sosial’. Tarrow lebih jauh lagi mengidentifikasi empat macam peluang politis dinamis yang berbeda: akses ke kekuasaan, pergantian aliansi, ketersediaan elit-elit berpengaruh, dan keretakan dalam dan diantara elit—masing-masing bisa menjadi alternatif dalam proses interaksi negara-masyarakat. Perubahan dalam struktur peluang-peluang politik (dan ancaman-ancaman politik) sangat ditentukan oleh perubahan-perubahan dalam institusi-institusi yang ada. Institusi-institusi adalah ‘organisasi-organisasi dan prosedur-prosedur dan kekuasaan formal dan informal yang menstrukturkan pelaksanaan’ (Thelen dan Steinmo, 1992:2). Penekanan pada institusi-institusi (termasuk kebijakan-kebijakan publik seperti undang-undang land reform) dalam menganalisis interaksi negara-masyarakat tidak mengenyahkan pentingnya struktur-struktur sosial ekonomi (ibid: 2-3, lihat juga Fox, 1993: 21-39). Ini memang mementingkan agensi manusia dalam struktur-struktur tersebut. Di sini, istilah ‘agensi’ berarti bahwa rakyat miskin biasa bukanlah korban pasif proses-proses sosial politik. Mereka memiliki kapasitas untuk melakukan aksi yang akibatnya bisa mempengaruhi hubungan sosial dalam tempat yang mereka diami, bahkan dalam tempat yang sebelumnya terlihat mapan.
Sebagai ciri institusional pada bentang sosial politik Filipina, perundang-undangan dan kebijakan land reform negara, CARP khususnya dan sejumlah peraturan administratif yang terkait dengan land reform berfungsi sebagai konteks dan obyek mobilisasi kaum tani dan pekerja perkebunan. Sebagai ‘konteks’—mereka mendefinisikan parameter kampanye aksi kolektif kaum tani dan pekerja perkebunan dan mereka menentukan sumberdaya kekuatan aktor-aktor (pro dan anti reformasi)yang berbeda. Sebagai ‘obyek’—mereka menjadi fokus atau target upaya yang dilangsungkan aktor-aktor berbeda untuk membentuk atau membentuk kembali kenyataan. Misalnya CARP yang berulangkali menjadi target para tuan tanah anti reformasi di Mindanao yang menginginkan penundaan CARP. Karenanya perundang-undangan land reform negara (dan agen-agennya) dipahami di sini sebagai sesuatu yang terkait dekat dengan aksi manusia, membentuk dan dibentuk oleh watak, langkah dan orientasi mobilisasi dan perjuangan kaum tani dan pekerja perkebunan untuk hak tanah.
Akhir kata, dari sebuah studi penting tentang dinamika land reform di Asia Selatan, gagasan dialektis Ronald Herring (1983) tentang ‘bara yang semakin panas’ menyajikan sebuah kerangka sejarah untuk memahami semakin canggihnya tuntutan kaum tani untuk reformasi pedesaan sejak awal abad yang lalu (lihat juga Putzel, 1992). Baru-baru ini, Herring (2003) mengingatkan kita dalam bahasa yang lebih umum bahwa gerakan petani untuk land reform terus membara terlepas dari kejanggalan-kejanggalannya, di Filipina dan di manapun, pastinya karena ‘janji-janji yang diingkari membuat gerakan tetap hidup’. Juga tidak kalah penting, dalam menganalisis gerakan petani kontemporer di Filipina, kami juga terinspirasi oleh pembahasan Alan Hunt (1993) tentang kemungkinan dan pentingnya sebuah ‘strategi counter-hegemonik dengn menggunakan hak” pada gerakan sosial yang mengkombinasikan taktik legal dan politik dalam meraih klaim-klaim hak. Ide ini mendapatkan ekspresinya pada perjuangan agraria Filipina khususnya dalam upaya-upaya para anggota UNORKA lokal untuk mengklaim hak tanah mereka. Upaya-upaya ini pastinya berarti menentang kekuasaan hegemonik lokal tuan tanah dan bahkan kekuasaan di dalam gerbang hacienda, dan menggarisbawahi peran hak legal dan perundang-undangan negara nasional dalam memberikan sumbangan bagi peluang-peluang politik penting untuk formasi dan artikulasi gerakan sosial hegemonik tandingan.

Berlangsungnya Ketidakpunyaan Tanah dan Siklus Mobilisasi Petani
Pergolakan agraria di Filipina adalah sebuah sejarah panjang yang berpangkal dari periode kolonial Spanyol ( 1565-1898). Dalam kurun waktu tiga setengah abad penjajahan Spanyol inilah, konsep ‘kepemilikan privat individu sebebas-bebasnya atas tanah’ diperkenalkan (Putzel 1992, 44). Konsep yang dikenalkan di abad ke-16 ini, membentuk landasan sosial dan ekonomi untuk perkembangan bertahap distribusi kepemilikan dan kontrol tanah yang sangat kacau balau—satu hal yang terus bertahan terlepas dari jalur panjang dan berliku yang ditempuh inisiatif reforma agraria termasuk perundang-undangan negara dan dekrit. Sementara Phelan menyebutkan lima ‘pemberontakan besar’ antara 1580 dan 1762. Crippen menegaskan “terjadi tidak kurang 16 revolusi melawan kekuasaan Spanyol dari 1601 sampai 1744 (Phelan dikutip dalam Crippen, 1946 344).Penelitian-penelitian dari episode awal pergolakan-pergolakan agraria menunjukan bahwa pergolakan-pergolakan itu terkait dengan sejumlah masalah termasuk ‘kekejaman militer, perampasan tanah dan pelucutan kepemilikan tanah, pajak, kerja paksa, penindasan atau pengenyahan agama yang dianut masyarakat, dan sistem masyarakat penyakap yang eksploitatif’ (Franco 2001a:69). Menambahkan penjelasan Ileto (1979), yang mengkaji peran versi populer pasyon atau kisah Kristus, ‘dalam mengkerangkakan (framing) pemberontakan kaum tani di abad 19 dan awal abad 20. James Putzel (1992 :49-50) menegaskan bahwa pemberontakan sebelum 1896 membantu membentuk ‘ide-ide keadilan kaum tani’ termasuk pembagian tanah diantara kaum tani.
Tetapi baru pada abad 20 lah gagasan tentang keadilan kaum tani menjadi kokoh dalam tuntutan untuk tanah yang semakin terorganisasi dan diteriakan oleh kaum tani, yang dengan cepat menular ke seluruh kepulauan dan memaksa negara nasional untuk merespon dengan program-program resmi yang semakin menyertakan penyediaan tanah untuk redistribusi tanah yang sesungguhnya. Kebangkitan dan pemberontakan kaum tani yang terus menerus terjadi di bawah rejim politik dan pemerintah nasional yang berbeda-beda—ditahun 1920an dan 1930an (Sakdalistas, Aguman ding Malding Talapagobra atau AMT, dan Kalipunang Pambansa ng Magsasaka sa Pilipinas atau KPMP), 1940an dan 1950an (Hukbong Bayan Laban sa Hapon atau Hukbalahap dan Hukbong Mapagpalaya ng Bayan atau HMB), 1960an (Federasi Petani Merdeka atau FFF), dan 1970an dan 1980an (bagian petani dari gerakan anti kediktatoran) –tidak hanya menyebarkan seruan ke seluruh pelosok negeri tapi juga terus mendesakan land reform untuk menjadi agenda utama pemerintah nasional.4 Yang juga sama penting adalah siklus mobilisasi yang tidak terputus melahirkan strategi-strategi politik yang bertujuan mendorong negara untuk merespon tuntutan-tuntutan kaum tani dalam cara-cara yang demokratik dan bertanggung jawab. Seiring waktu, siklus ini berhasil menempatkan land reform dalam agenda negara nasional, memperluas jangkauannya dan memperdalam basis legalnya, dan mendesak pemerintah untuk menepati janji-janjinya. Arti penting program pemerintah sekarang tidak dapat dipahami tanpa melihat sejarah pergolakan agraria yang panjang, terjal dan seringkali penuh kekerasan, dan perjuangan rakyat miskin pedesaan Filipina untuk keadilan agraria yang semakin terfokus dan canggih secara politik. Jika keadilan agraria terutama tentang tanah, ia juga pastinya tentang demokrasi politik dan pembangunan negara demokratik.
Evolusi kepemilikan dan pola kontrol tanah dalam keseluruhan arah konsentrasi (kepemilikan dan kontrol tanah) di tangan segelintir orang—terlepas dari serangkaian inisiatif negara— telah terdokumentasi dengan baik.5 Menjelang 1988, data yang dimiliki pemerintah menunjukan bahwa ’83 persen tanah pertanian dimiliki oleh tidak lebih dari 5 persen dari semua keluarga (di Filipina).’6 Satu akibat dari konsentrasi (kepemilikan) tanah yang sangat tinggi adalah ‘pola-pola kepemilikan tanah yang jauh berbeda di sektor-sektor tanaman pangan dan wilayah-wilayah di Filipina yang berbeda-beda’(Putzel, 1972:29). Sementara upaya-upaya kaum tani untuk melawan atau merubah konsentrasi tanah yang semakin meningkat, juga beragam. Meskipun fokus upaya-upaya tersebut telah sangat terlokalisasi, sejumlah sejarahwan sosial juga menunjukan bagaimana siklus mobilisasi petani masa lalu, khususnya di Luzon Tengah pada tahun 1930an, 1940an dan 1950an, terkait dengan upaya-upaya elit untuk mengontrol atau membatasi akses ke tanah.7 Secara historis, tekanan sosial dari bawah semakin mendorong negara Filipina untuk merespon, dan memang kemudian negara merespon, tapi dengan program-program yang menekankan pemukiman kembali dan represi ketimbang redistribusi (lihat, contoh Abinales, 2000, Putzel, 1992, Wurfel, 1983).
Pola negara (lebih) menekankan pada ‘memindahkan rakyat ke tanah baru, ketimbang memberikan mereka kepemilikan atas tanah yang sebelumnya mereka gunakan dengan sistem bagi hasil. Pola untuk merespon tekanan sosial di Filipina ini sama dengan yang terjadi di sebagian besar land reform di Amerika Latin pada masa lalu (Fox 1993:114). Ini adalah karakter dominan program ‘keadilan sosial’ Quezon pada tahun 1930an, dan program reforma agraria Magsaysay pada tahun 1950an.8
Menjelang tahun 1960an, tanggapan negara terhadap pergolakan kaum tani baru mulai bergerak maju menuju reformasi aktual, tapi sementara. Ciri-ciri penting dari program reforma agraria Macapagal pada tahun 1963 adalah (1) ‘penghapusan sistem bagi hasil dan institusi penyewaan tanah milik tuan tanah kepada penyakap’ pada tanaman pangan tertentu dan (2) pelolosan ‘undang-undang hak pekerja perkebunan yang memberikan para pekerja hak untuk berorganisasi dan upah minimum’ (Putzel, 1992: 116).9 Menurut Putzel, menjelang masa akhir pemerintahan Macapagal, barulah terlihat jelas bahwa Kode (aturan-aturan (1) dan (2)) yang dikeluarkan Presiden hanyalah sebuah tipu daya untuk memenangkan dukungan petani penyakap untuk pemilihannya kembali tahun 1965. Apapun motivasinya, namun demikian Kode 1963 tidak disangkal lagi telah memperkenalkan dua tindakan progresif dalam ruang kebijakan publik.
Satu dekade kemudian, Kode 1963 diikuti oleh program reforma agraria Marcos yang dikenal sebagai PD (Dekrit Presiden) 27. PD 27 lebih jauh memperlebar parameter-parameter reforma agraria resmi dengan mengawali proses redistribusi tanah untuk pertama kalinya di Filipina, meskipun terbatas pada ladang jagung dan sawah yang disewakan. Program Marcos secara umum dipandang gagal oleh sejumlah ahli dari berbagai disiplin ilmu dan perspektif yang sudah menbahasnya panjang lebar.10 Putzel (1992: 146,154) mengatakan bahwa PD 27 gagal ‘memutus oligarki’ (seperti yang dijanjikan Marcos) tepatnya karena sang diktator tetap bergantung pada elit-elit tuan tanah regional dan klan-klan politik untuk menegakan kekuasaanya.
Sementara adalah penting untuk dicatat bahwa banyak elit tuan tanah lokal dan klan-klan politik yang tidak hanya bertahan tapi bahkan mampu menangguk keuntungan di bawah hukum darurat dengan memlihara dan mengkonsolidasi kontrol mereka atas seluruh aspek kehidupan lokal, termasuk pengadilan (Putzel 1992: 146; lihat juga Sidel, 1999). Mengutip Takigawa, Putzel (1992:162, dn.204) juga mencatat bahwa ‘hakim yang pagi-sore bekerja di pengadilan lokal, malam harinya menjadi pengacara keluarga-keluarga tuan tanah.’ Transisi menuju kediktatoran memperlebar parameter wacana kebijakan reforma agraria resmi untuk menyertakan redistribusi tanah aktual dengan mengenyahkan satu hambatan pokok, perundang-undangan nasional. Tetapi ini juga memperlebar kesenjangan antara retorika dan kenyataan, karena kepentingan tersembunyi elit-elit tuan tanah regional masih memungkinkan penampikan pelaksanaan PD 27 di sebagian besar level lokal. Kegagalan untuk menegakan keadilan agraria mengipasi bara api pergolakan agraria dan mempertinggi tuntutan kaum tani untuk keasilan agraria. Menjelang awal 1980an, protes kaum tani telah tersebar hampir di seluruh pelosok pedesaan, dan sebagian besar berbentuk gerakan revolusioner yang terinspirasi Maois (lihat Caouette, 2004; Weekley, 2001; Rocamora, 1994).
Gerakan ini memainkan sebuah peran kunci dalam menyatukan dan memobilisasi gerakan anti rejim diktator di seluruh negeri. Gerakan ini juga berhasil memasukan reforma agraria ke dalam agenda nasional pada saat tergulingnya Marcos dan pembentukan pemerintahan baru tahun 1986. Ketika Program Reforma Agraria Komprehensif (CARP) diberlakukan tahun 1998 dan terlepas dari kebolongan-kebolongannya (lihat Lara 1998), CARP secara signifikan memperluas jangkauan redistribusi tanah yang menjangkau semua kepemilikan tanah di seluruh negeri tanpa membeda-bedakan sistem penguasaan tanah atau tanaman pangan atau tingkat produktivitas pertanian (Borras, 2004).
Jika dilihat kembali jauh ke belakang, parameter-parameter reforma agraria yang disponsori negara telah menempuh perjalanan panjang sejak 1930an. Bertahannya protes pedesaan yang berasal dari arus bawah menyumbang pada berkobarnya tidak hanya muatan atau isi tuntutan masyarakat untuk keadilan agraria sepanjang masa (Putzel, 1992), gerakan protes ini juga membantu menggilas watak respon negara nasional yang berupa deklarasi prinsip-prinsip, juga tindakan-tindakan legal aktual dan mekanisme-mekanisme program. Ini mungkin karena setiap kali negara merespon tuntutan untuk keadilan agraria, negara selalu gagal dan tidak menepati janjinya.11Dengan begitu, kegagalan-kegagalan (negara) dan janji-janji (negara) yang tidak ditepati ternyata berfungsi ‘menjaga bara api gerakan’, sekaligus juga mengajarkan aktor-aktor gerakan bagaimana mempertajam advokasi mereka dan meningkatkan dampak politik mereka. Dalam hal tuntutan-tuntutan rakyat miskin pedesaan, dapat dilihat sebuah peralihan dari mobilisasi seputar tuntutan yang relatif sederhana yaitu tuntutan untuk reformasi masyarakat penyakap di perkebunan gula dan padi, ke mobilisasi tuntutan-tuntutan yang relatif lebih kompleks yaitu tuntutan untuk land reform yang menjangkau semua sistem pertanian dan tanaman pangan menjelang tahun 1980an.
Dalam hal respon negara, dapat ditemukan perubahan dari tindakan-tindakan reformasi masyarakat penyakap yang sangat terbatas dan penuh hambatan pada tahun 1930an, ke penekanan pada transmigrasi pada tahun 1950an, ke pemberlakuan sebuah undang-undang sistem sewa-menyewa, ke dimulainya redistribusi tanah aktual pada tanaman pangan tertentu pada tahun 1970an (di bawah hukum darurat), hingga program reforma agraria yang lebih komprehensif pada akhir 1980an yang mengkombinasikan redistribusi tanah melalui akuisisi paksa dengan model-model peralihan lain dan instrumen penguasaan tanah pada semua jenis tanaman pangan dan sistem pertanian terlepas dari tingkat produktivitas tanah pertanian. Pada awalnya reforma agraria resmi berfokus pada reformasi penguasaan tanah terbatas di persawahan dan perkebunan gula di Luzon Tengah. Seiring waktu, muatan keseluruhan reforma agraria resmi telah meluas mencakup redistribusi tanah pada tanaman pangan lain dan juga meluas ke wilayah lain. Perluasan ke wilayah lain ini adalah tanggapan atas meluasnya jangkauan geografis dan sektoral aktivitas gerakan kaum tani di seluruh negeri.
Secara garis besar, dengan adanya dorongan yang ditimbulkan oleh tekanan dari arus bawah, konsep populer keadilan agraria mulai menyertakan, jika tidak berpusat pada, redistribusi aktual kepemilikan dan kontrol tanah kepada kaum tani yang pantas menerimanya dan memenuhi syarat dalam semua sistem tanah pertanian dan tanaman pangan. Konsep ini menjadi tanggung jawab keadilan sosial utama negara Filipina. Menjelang tahun 1980an, konsep reforma agraria yang dipertarungkan (oleh negara dan gerakan kaum tani) dan mudah berubah kemudian diterima luas secara prinsip sebagai kepedulian dan tanggung jawab pemerintah yang sah. Reforma agraria redistributif yang disponsori negara sekarang dianggap sebagai respon kebijakan publik utama yang penting (dan berlangsung lambat) untuk menyelesaikan beragam masalah, terutama pergolakan agraria yang terus terjadi. Implikasi jangkauan komprehensif dan ekstensif dari tuntutan-tuntutan untuk keadilan agraria dalam kaidah hukum negara sangatlah besar, barangkali khususnya dalam makna peraturan dan mesin kekuasaan pemerintah untuk implementasi CARP yang efektif.

Berubahnya Peluang untuk Mobilisasi
Antara 1972 dan 1986, mobilisasi paling koheren dan konsisten yang dilakukan kaum tani untuk tanah terjadi di ladang jagung dan persawahan yang disewakan, menyusul UU land reform Marcos, Dekrit Presiden (PD) 27 (lihat Kerkvliet, 1979; Wurfel, 1983; Patayan, 1998; Franco, 1994; Hirtz, 1998). Terlepas dari pemiskinan dan eksploitasi di perkebunan kelapa, pertanian tanaman pangan subsisten, hacienda tebu, dan perkebunan-perkebunan orientasi ekspor padat teknologi dan modal, sebelumnya tidak terdapat mobilisasi yang kongkrit, sistematis dan berkelanjutan untuk land reform di sektor-sektor ini. Seperti yang ditunjukan dalam bab-bab di volume ini, kaum tani dan pekerja perkebunan termobilisasi di pertanian-pertanian non-PD 27 ini, tapi untuk tuntutan-tuntutan selain tanah, seperti tuntutan-tuntutan berorientasi perburuhan di hacienda-hacienda tebu dan perkebunan-perkebunan komersial terutama melalui pengorganisasian serikat buruh dan kerja mobilisasi.
Untuk tuntutan-tuntutan perburuhan ini, mereka biasanya berkonfrontasi langsung dengan pemilik atau perusahaan perkebunan, dengan negara bagian yang hanya berperan memediasi hubungan buruh-manajemen. Di perkebunan kelapa dan pertanian subsisten, bentuk-bentuk aksi kaum tani yang paling sering dilakukan untuk meraih kepentingan sosial ekonomi mereka adalah ‘resistensi keseharian kaum tani’ yang sangat tersebar luas. Bentuknya adalah mengutil hasil panen, tidak melaporkan hasil panen atau melaporkan dalam jumlah yang lebih sedikit, dan lainnya. Kaum tani, dalam bentuk aksi yang dilakukan diam-diam ini, secara langsung tidak berkonfrontasi dengan siapapun, tidak dengan negara bagian, juga tidak dengan tuan tanah.Kelompok tani di pertanian-pertanian yang berada di luar jangkauan PD 27 jarang menuntut dan mengikuti seruan untuk redistribusi tanah, kecuali barangkali seruan tertentu yang dikobarkan gerakan tani nasional sayap kiri yang dibuat lebih dalam konteks kerja ‘agitasi propaganda’ ketimbang perjuangan untuk konsesi-konsesi reformis yang sesungguhnya.
Mobilisasi perjuangan tanah lebih sistematis, kongkrit dan berkelanjutan yang dilakukan oleh kaum petani dan buruk tani di luar sektor jagung dan beras, atau bahkan ‘pendudukan tanah spontan yang lebih tidak terorganisasi dan dilakukan oleh kaum tani dalam jenis kepemilikan tanah ini’ baru muncul hanya setelah CARP diloloskan menjadi UU tahun 1988 (Kerkvliet, 1993; Canlas, 1992, 1994). Perlahan tapi pasti, kelompok-kelompok tani lokal di perkebunan kelapa dan pertanian subsisten, juga di perkebunan tebu mulai muncul sejak 1988 seterusnya. Aksi-aksi mereka juga beralih dari aksi yang diarahkan tidak pada siapapun atau tuan tanah, menjadi aksi yang dipusatkan pada negara—sebagai pelaksana dan fasilitator utama program land reform. Tetap saja, seruan keras dan konsisten untuk redistribusi tanah di perkebunan-perkebunan sangat komersial di Mindanao baru muncul pada akhir 1990an—setelah habisnya periode penundaan untuk redistribusi pertanian (pisang) komersial, periode sepanjang 1988-1998, seperti yang ditegaskan dalam UU CARP (de la Rosa, 2005). Selama periode penundaan, umumnya tidak terdapat mobilisasi buruh tani untuk perjuangan tanah, tapi terdapat mobilisasi yang berhubungan dengan tuntutan-tuntutan lain seperti produksi wajib dan bagi keuntungan seperti yang dimandatkan oleh UU CARP dan isu-isu penting lainnya yang kemudian muncul akibat berubahnya situasi ekonomi politik sektor pisang.12
Namun demikian, peluang politik penting lainnya untuk kelompok-kelompok tani adalah ketersediaan sekutu. Sekutu yang dimaksud bisa jadi aktor-aktor negara dan masyarakat. Yang dimaksud aktor-aktor negara tentunya adalah aktor-aktor negara yang pro reformasi yang secara longgar didefinisikan di sini sebagai kelompok aktor-aktor negara yang bersikap toleran atau bahkan mendukung mobilisasi sosial ‘dari bawah’ untuk menjalankan program-program reformis (lihat Fox, 1993, Chp.2). Dalam konteks perjuangan kaum petani dan buruh tani untuk tanah di negara-negara lain (lihat, misalnya Kay dan Silva, 1992; Thiesenhuen, 1995; Ghimire, 2001; Herring, 2003, 1983), sekutu-sekutu rakyat secara historis adalah partai-partai politik atau gerakan atau individu atau kelompok kelas tengah progresif, dan bagian progresif gereja. Di Filipina, khususnya sejak tahun 1980an, selain kelompok-kelompok yang disebutkan di atas, ornop telah menjadi salah satu sekutu penting dan jelas bagi kaum tani dan pekerja perkebunan untuk mobilisasi mereka demi tanah (lihat, misalnya Franco, 1994; Silliman dan Noble, 1998; Clarke, 1998; Hilhorst, 2003; Boudreau, 2001). Bagi kaum tani dan pekerja perkebunan, pentingnya sekutu-sekutu ini didasari pada fakta bahwa tuan tanah menentang land reform di setiap level, dari lokal ‘ke atas’ sampai nasional. Perjuangan-perjuangan kelompok-kelompok tani dan pekerja perkebunan lokal sendiri hanya terbentur sampai batas tertentu. Sementara para sekutu dapat membantu memperluas jangkauan aksi politik mereka sampai tingkat nasional dan internasional serta membuka akses ke sumberdaya mobilisasi dan kampanye lain yang cukup penting, termasuk bantuan hukum, media, dan seterusnya. Para sekutu juga bisa memfasilitasi keterkaitan horisontal antara kelompok-kelompok tani lokal, untuk meningkatkan tekanan kepada para pejabat negara untuk berpihak kepada mereka.
a) Perjuangan-perjuangan dalam Situasi Sosial Ekonomi yang Beragam
Saat ini, pertanian Filipina masih merupakan bagian penting dari ekonomi nasional negara dalam hal kontribusinya kepada Produk Domestik Bruto (PDB) dan prosentasenya dalam menyediakan penghidupan dan pekerjaan bagi rakyat yang aktif secara ekonomi. Selama dekade yang lampau, pencapaian produktivitas di sektor pertanian umumnya rendah, dan dengan cepat dapat diterabas oleh pertumbuhan penduduk pada periode yang sama (David, 2003). Patut diperhatikan bahwa menjelang 2003, lebih dari setengah populasi negeri masih hidup di area pedesaan, di mana kemiskinan masih menjadi wabah. Tidaklah mengejutkan jika hasil penelitian Bank Pembangunan Asia (ADB) baru-baru ini menemukan bahwa ‘jumlah pendapatan rakyat miskin di Filipina telah memburuk dari 1985 hingga 2000.’Penelitian tersebut mengidentifikasi setidaknya tujuh penyebab utama kemiskinan di Filipina—termasuk salah satunya adalah ‘agenda land reform yang tidak terselesaikan’ (ibid.:xvii).
Sementara, Filipina memiliki sebuah struktur agraria kompleks yang bisa dibagi menjadi dua sektor besar—tradisional dan non-tradisional. Sektor tradisional dicirikan oleh produk-produk ‘volume tinggi, nilai rendah’, seperti kelapa, beras, jagung, abaca, dan bahkan tebu. Produk-produk ini—beberapa diantaranya untuk ekspor seperti kelapa, lainnya untuk pasar domestik seperti beras, dan lainnya masih untuk subsisten seperti jagung—biasanya dipanen dalam jumlah besar, membutuhkan tanah luas dan juga tenaga kerja, tapi bernilai rendah (de la Rosa 1994, Boyce 1992; Tiglao 1983, David, 2003). Banyak yang diproduksi di bawah pengaturan bagi hasil sistem penyakap, meskipun para petani subsisten dan petani kecil juga memproduksi porsi yang signifikan. Sedikit yang diproduksi di bawah hubungan upah. Pertanian di sektor tradisional hampir ditemui di seluruh pelosok negeri, dari dataran tinggi hingga dataran rendah. Umumnya, perkembangan produktivitas sektor ini tersendat-sendat, terhambat oleh kemajuan teknologi, mekanisme dan irigasi yang lamban. Secara historis, produk dan produsen sektor tradisional sangat rentan terhadap fluktuasi harga yang diakibatkan beragam aktor dan faktor (Boyce 1992; de la Rosa 1994; Ramos 2000; David, 2003). Elit tuan tanah di sektor ini seringkali bisa menelusuri akar ekonomi politik mereka ke masa kolonial (Aguilar 1998; Lopez-Gonzaga 1994, McCoy dan de Jesus 1982). Banyak hal yang berawal dari masa kolonial tapi masih tetap berpengaruh di dalam dan di luar negara Filipina.
Sektor non tradisional dicirikan oleh produk-produk ‘volume rendah, nilai tinggi’, seperti pisang, nanas, mangga, unggas dan ternak. Produk-produk ini biasanya untuk ekspor bernilai tinggi, dan biasanya dihasilkan dalam volume rendah. Produk-produk ini membutuhkan tanah tidak seberapa luas dan tenaga kerja yang tidak banyak, tapi padat modal. Sebagian besar produk-produk ini diproduksi di bawah hubungan upahan kapitalis atau fenomena baru, yaitu pertanian kontrak. Pertanian sektor ini hanya ditemukan mengelompok di beberapa bagian Filipina, meskipun mereka terkonsentrasi di Mindanao, dan lebih khususnya di dataran rendah jalur perkebunan Davao-Cotabato. Produk-produk ini umumnya terikat erat dengan jaringan perusahaan-perusahaan agribisnis transnasional yang memiliki kontrol ketat atas integrasi vertikal sektor ini, dari produksi pertanian hingga distribusi pasar ke luar negeri. Dalam sektor inilah di mana terdapat kemunculan pesat tuan tanah yang menjadi pengusaha sekaligus. Mereka adalah elit-elit tuan tanah yang memutuskan untuk terlibat dalam pertanian kapitalis, dan membentuk aliansi dengan perusahaan-perusahaan agribisnis transnasional (David et al 1983; Hawes 1987).13
Tentunya banyak pertanian yang posisinya berada diantara sektor tradisional dan non tradisional. Beberapa berada di dalam transisi dari jenis tradisional menuju non tradisional, seperti misalnya perkebunan mangga, sementara yang lainnya terjebak diantara tradisional dan non tradisional: mereka memiliki karakter sektor tradisional dan non tradisional, seperti halnya perkebunan tebu yang masih diperdebatkan apakah termasuk sektor tradisional atau non tradisional. Proses-proses kebijakan land reform aktual beragam tergantung pada kondisi institusi-institusi dan struktural yang ada dari kondisi tertentu. Tiga jenis luas kondisi sosial ekonomi pertanian , yaitu, sektor pertanian tradisional, non tradisional dan sektor yang berada diantara keduanya,sebagian memberikan kita sebuah perspektif lebih baik tentang perubahan pola dalam mobilisasi kaum tani untuk tanah dan demokrasi.
Sektor Pertanian (Pisang) Komersial Non Tradisional.Sektor pisang Cavendish adalah sektor yang paling menggiurkan di sektor pertanian komersial Filipina. Sektor ini dikontrol bersama oleh perusahaan buah-buahan global raksasa seperti Dole dan Del Monte serta segelintir elit tuan tanah domestik. Jelasnya, di sektor pertanian pisang komersial non tradisional yang terkonsentrasi di provinsi Davao, tidak ada mobilisasi pekerja perkebunan yang signifikan untuk redistribusi tanah sampai akhir 1990an (de la Rosa, 2005). Sampai 1990an, dan sejak jenis-jenis perkebunan ini muncul pertama kali di Mindanao, perjuangan rakyat miskin pedesaan di sini berfokus pada isu-isu yang berhubungan dengan buruh: upah yang adil, kesejahteraan pekerja, dan kebebasan untuk berserikat. Bentuk utama organisasi yang muncul di wilayah-wilayah perkebunan ini secara historis karenanya adalah serikat buruh. Kebanyakan perkebunan modern menyaksikan menjamurnya serikat buruh otonom sejak 1960an (Ofreneo, 1990). Menjelang 1980an, Federasi Buruh Nasional (NFL) menjadi serikat buruh paling penting, progresif, dan otonom di perkebunan-perkebunan modern Mindanao.
Ketika UU CARP diloloskan tahun 1988, tidak terjadi seruan signifikan dari jajaran pekerja perkebunan untuk redistribusi tanah. Barangkali satu faktor kunci untuk ini adalah ketetapan UU yang membolehkan pemilik tanah pertanian komersial untuk menunda redistribusi tanah hingga sepuluh tahun ke depan. Ketetapan ini menunda redistribusi tanah dari tahun 1988 sampai 1998. Beberapa pengecualian yang berlaku atas peraturan ini adalah jika kontrak sewa-menyewa antara tuan tanah dan perusahaan habis sebelum 1998, maka redistribusi dapat dimulai di perkebunan itu, atau jika pemilik perkebunan dengan suka rela menawarkan tanah mereka untuk redistribusi. Sementara dari tahun 1988 sampai 1998, ketika redistribusi tanah ditunda, UU CARP juga mewajibkan para pemilik perkebunan untuk menjalankan produksi dan bagi keuntungan, yakni, tiga persen dari produksi tahunan kotor dan lima persen dari keuntungan bersih tahunan harus didistribusikan kepada pekerja perkebunan (de la Rosa, 2005; Borras dan Franco, 2005; tapi lihat juga Hayami et al, 1990).
Kerangka legal CARP mempengaruhi manuver-manuver politik tuan tanah dan membentuk mobilisasi pekerja perkebunan (Franco, 2005). Selama penundaan redistribusi tanah 1988-98, para pemilik perkebunan melakukan pengurangan pekerja besar-besaran. Rupanya ini adalah upaya untuk menyingkirkan mereka yang memiliki klaim sebagai hak yang dijamin UU atas produksi wajib dan bagi keuntungan, dan barangkali juga untuk meniadakan klaim legal mereka atas tanah. Beberapa pengamat memperkirakan bahwa di sub sektor pisang sendiri saja kira-kira sepertiga sampai dua perlima dari seluruh tenaga kerja dipecat selama periode sepuluh tahun ini. Namun pekerja perkebunan terus memobilisasi seputar isu-isu yang berkaitan dengan perburuhan (upah, kesejahteraan dan pemecatan) selama periode yang sama.
Mobilisasi pekerja perkebunan paling sistematis, koheren dan konsisten untuk tanah baru dimulai ketika periode penundaan untuk redistribusi pertanian komersial ditetapkan berakhir pada Juni 1998. Sejak itu, mobilisasi pekerja perkebunan untuk land reform di perkebunan komersial terus berlanjut dan bahkan meningkat. Sekarang serikat buruh berorientasi hak-hak buruh berjalan berdampingan dengan organisasi-organisasi penerima manfaat reforma agraria yang berorientasi hak tanah. Jenis-jenis aksi yang digunakan organisasi-organisasi tersebut sangat dipengaruhi dengan pengalaman keserikatburuhan yang militan di masa lalu: seiring pendudukan tanah, juga dilakukan pemogokan, demonstrasi jalanan, aksi di tempat kerja dan dialog. Tetapi, patut juga diperhatikan bahwa sekarang serikat buruh dan organisasi penerima manfaat reforma agraria yang disponsori tuan tanah juga muncul dan bersaing dengan organisasi-organisasi dan serikat buruh independen (de la Rosa, 2005).
Sektor Perkebunan Tebu Jenis Campuran. Sektor perkebunan tebu memiliki ciri-ciri sektor pertanian tradisional dan non tradisional, yang sebagian tercermin dalam keberadaan masyarakat penyakap dan hubungan berbasis upah antara tuan tanah dan penggiling tebu pada satu sisi dan petani penyakap bagi hasil dan pekerja perkebunan di sisi lain. Secara historis, di perkebunan tebu, mobilisasi petani dan pekerja perkebunan mencerminkan karakter ganda orang yang bekerja di sektor ini, yaitu, pekerja perkebunan dan petani penyakap. Tetapi yang paling signifikan secara politik adalah mobilisasi pekerja perkebunan di perkebunan tebu. Federasi Nasional Pekerja Gula (NFSW) merupakan organisasi pekerja gula paling penting semasa 1970an dan 1980an khususnya di Negro Occidental.14Pekerja perkebunan umumnya cenderung menyerukan reformasi berorientasi perburuhan, juga kesejahteraan pekerja, bahkan setelah UU CARP 1988 diberlakukan. Tetap saja, seruan untuk redistribusi tanah mulai terdengar pada pertengahan 1980an, dan disebarkan oleh petani di persawahan juga petani penyakap di hacienda-hacienda tebu, dan sampai batas tertentu oleh pekerja perkebunan.
Setelah UU CARP diloloskan, mobilisasi petani untuk tanah mulai mendapatkan momentum, perlahan namun pasti. Tetapi resistensi tuan tanah begitu kuat. Tuan tanah-tuan tanah di hacienda-hacienda tebu tetap berpengaruh secara politik terlepas dari merosotnya daya saing keuangan sektor tersebut. Tuan tanah menentang perjuangan untuk tanah dengan berbagai cara, termasuk bergabung dengan tuan tanah lain untuk melakukan aksi ilegal dan pengaturan distribusi stok yang tidak adil. Organisasi-organisasi tani telah melakukan berbagai bentuk aksi untuk mendapatkan tanah: dari pendudukan tanah sampai aksi mogok, dari demonstrasi jalanan sampai dialog, dari memanen paksa sampai aksi dramatis di kantor-kantor pemerintah (Feranil, 2005). Sementara itu, penataan produksi setelah tanah dibagikan umumnya penuh masalah, walau dengan rute favorit “usaha tani individual tpi diikat oleh koperasi”, sebagian besar penerima manfaat land reform memiliki kesulitan untuk mengembangkan tanah pertanian yang didapatkan (Mendoza dan Quiambao, 1999).
Sektor Pertanian Tanaman Pangan Subsisten dan Kelapa. Kebanyakan pertanian subsisten adalah kelapa dan ladang yang tidak teririgasi, ditanami jagung, padi, tanaman pangan umbi-umbian dan buah-buahan. Meskipun dalam hal area fisik dan keterlibatan pertanian rumah tangga, sektor kelapa dominan dalam kategori ini. Di pertanian kelapa dan tanaman pangan subsisten, kaum tani yang menyerukan redistribusi tanah cukup konsisten dan meraih momentum setelah UU CAR diloloskan tahun 1988. Sebelum periode ini, mobilisasi petani untuk tanah muncul dalam dua bentuk luas, yakni, lebih cair tapi sangat tersebar luas yaitu ‘bentuk keseharian resistensi kaum tani’ yang bentuk konkritnya adalah pengutilan, tidak melaporkan hasil panen atau melaporkan lebih sedikit, dan seterusnya (lihat, misalnya Kerkvliet, 1990). Di beberapa tempat, semasa sayap militer komunis NPA bercokol kuat, beberapa petani juga mengagungkan ide meraih manfaat dari rebolusyong agraryo (‘revolusi agraria’) yang dijanjikan dalam bentuk boikot sewa, pengurangan sewa tanah, dan bahkan perebutan tanah dan distribusi gratis (lihat Guerrero, 1970; Padilla, 1990; Hawes, 1990). Tetapi, dalam banyak kejadian, janji-janji ini hanya tinggal janji karena gerilyawan komunis tidak pernah mewujudkannya atau jika mereka berhasil mewujudkannya, tanah yang berhasil diraih dikembalikan lagi jika kehadiran militer (komunis) di tempat tertentu mulai pudar (lihat Putzel, 1995; Franco, 2001b; Borras, 1999).
Mobilisasi petani otonom untuk tanah di pertanian kelapa dan tanaman pangan subsisten berbentuk koheren dan konsisten hanya setelah UU CARP yang diloloskan secara formal mencakup tanah pertanian yang ditanami kelapa dan tanaman pangan subsisten, baik untuk redistribusi tanah maupun reformasi sewa-menyewa. Mobilisasi-mobilisasi ini kemudian meningkat dan menyebar sampai tingkat dan batas signifikan seiring terbukanya peluang politik untuk land reform. Inilah yang terjadi di wilayah Peninsula Bondoc, Provinsi Quezon (Franco, 2005, 2000). Terakhir, bentuk-bentuk aksi yang dilakukan kaum tani beragam mulai dari pendudukan tanah sampai dialog, demonstrasi jalanan sampai mendirikan tenda di kantor pemerintah. Sementara bagi mereka yang berhasil mendapatkan tanah atau hak sewa, penataan produksi yang disukai biasanya pertanian keluarga individual.

b) Lahirnya UNORKA

Seperti yang ditegaskan diskusi sebelumnya, struktur agraria di Filipina sangat beragam dari satu sektor pertanian ke sektor lainnya dan lintas lokasi geografis yang berbeda. Situasi ini menciptakan keanekaragaman dan berubah-ubahnya watak, langkah dan orientasi mobilisasi dan organisasi pedesaan secara historis. Sementara setiap tahap penting land reform sangat mungkin untuk mendorong berbagai perubahan dalam struktur agraria, perubahan-perubahan yang dimungkinkan ini juga merupakan proses-proses kompleks dan simultan. Proses-proses ini sangat mungkin berujung pada peluang-peluang untuk front-front perjuangan bersama diantara strata kaum miskin pedesaan yang berbeda-beda: yaitu, kaum tani tak bertanah, petani penyakap, petani subsisten, petani pekerja perkebunan, buruh tani musiman, petani nelayan rumah tangga, petani perempuan dan masyarakat adat. Kasus UNORKA menunjukan bagaimana aliansi-aliansi diantara kelompok-kelompok berbeda tapi sama-sama termiskinkan di masyarakat pedesaan dapat berkoalisi dalam satu gerakan nasional yang luas.15 Tinjauan sekilas tentang sejarah perjuangan kaum tani militan selama tahun 1980an dan seterusnya sangatlah relevan.
Selama tahun 1970an dan 1980an, politik pedesaan Filipina ditandai dengan pertumbuhan fenomenal pemberontakan dengan maksud merebut kekuasaan negara (insurgency) berbasis kaum tani yang dipimpin oleh Partai Komunis Filipina (CPP). Rejim otoriter Marcos hanya memungkinkan bentuk perjuangan klandestin. CPP segera menjadi pelopor dalam gerakan oposisi melawan Marcos. Gerakan yang dipimpin CPP kemudian dikenal dengan Gerakan ‘Nasional-Demokratik’ atau lebih popular dengan sebutan ‘Natdem’ atau ‘ND’. Bentuk pokok perjuangannya adalah perjuangan bersenjata, ‘proletariat’ didentifikasi sebagai ‘kekuatan yang memimpin’ sementara kaum tani dianggap sebagai ‘kekuatan pokok’ (Guerrero, 1970). Orientasi organisasional, politik dan ideologi organisasi-organisasi tani ND, khususnya Kilusang Magbubukid ng Pilipinas (KMP, Gerakan Tani Filipina) berasal dari perspektif ini (Putzel, 1995, Franco, 2001b, 1994). KMP yang didirikan tahun 1985 menjadi sebuah gerakan tani besar yang melawan rejim otoriter. Namun demikian ketika kebijakan land reform diperdebatkan pada tahun 1986-88, sejumlah organisasi tani bermunculan, seperti kelompok sosial demokratik yang bertolak belakang dengan KMP. Yang belakangan ini (kelompok sosial demokratik) mendorong pembentukan koalisi nasional petani, Kongres untuk Reforma Agraria Rakyat (CPAR) pada pertengahan 1987. KMP dan organisasi-organisasi rakyat pedesaan ND lainnya, yang masih belum pulih dari isolasi politik yang diakibatkan boikot gerakan ND terhadap pemilu presiden yang dipertarungkan oleh Marcos dan Aquino, bergabung dengan koalisi tersebut meskipun dengan penuh keberatan. CPAR pada waktu itu berada di garis depan untuk melobi sebuah kebijakan land reform.
Ketika CARP menjadi undang-undang pada bulan Juni 1988, CARP ditolak mentah-mentah oleh seluruh organisasi tani lintas spektrum politik karena ia jauh dari konsep land reform progresif yang dicita-citakan. KMP mentah-mentah menolak CARP dan mencapnya sebagai undang-undang ‘pro tuan tanah’ dan ‘anti petani’. KMP mulai melakukan kerja-kerja yang bertolak belakang dari isi CARP dan sama sekali tidak mendukungnya. KMP malah mempromosikan sebuah land reform alternatif yang diyakini hanya bisa dicapai melalui aksi langsung kaum tani melalui pendudukan tanah. Menjelang akhir 1980an, KMP mengklaim bahwa ia sudah menduduki sekitar 75000 hektar tanah diseantero negeri. Tapi sebagian besar pendudukan ini tidak berlanjut. Mayoritas tanah yang diduduki kemudian berhasil diambil kembali oleh tuan tanah dengan bantuan tentara bayaran dan militer. Sementara tanah yang berhasil dipertahankan KMP biasanya tidak dibuat produktif. Kampanye pendudukan tanah KMP boleh jadi telah berhasil menjaga isu land reform pada agenda nasional tapi gagal sebagai sebuah program land reform alternatif (Borras, 1999).
Menjelang akhir 1980an, terlihat jelas bahwa basis massa gerakan ND jauh merosot. Sebagian akibat serangan balik dari pemerintah kepada pemberontakan yang bertujuan merebut kekuasaan negara (counter insurgency). Beberapa kader yang berorientasi reformasi dalam KMP dan ornop-ornop sekutunya dalam gerakan ND menyerukan reformasi dan penguatan gerakan tani. Khususnya, mereka menyerukan keterlibatan langsung dengan pemerintah dalam implementasi kebijakan reformis seperti CARP daripada hanya sekedar menjalankan kampanye propaganda dalam sebuah kerangka ‘tampil dan melawan (expose and oppose)’. Menjelang awal 1992, KMP terpicu untuk melembagakan orientasi baru. Namun menjelang akhir 1992, CPP mengalami sebuah perpecahan serius. Perpecahan ini mempengaruhi semua organisasi-organisasi legal ND sehingga momentum orientasi ulang KMP harus diwujudkan di luar kerangka organisasional ND.
Karena berbagai macam alasan ideologis dan politis, CPP benar-benar mengalami perpecahan luar biasa menjelang 1993. Akibatnya organisasi-organisasi di bawah pengaruh mereka terpecah menjadi beberapa kelompok.16 Sebuah kelompok menegaskan kembali (reaffirmed) prinsip-prinsip dasar ideologi Marxis—Leninis—Maois. Mayoritas pemimpin penting nasional KMP memilih untuk meninggalkan gerakan ND yang dogmatis. Mereka kemudian membentuk Demokratikong Kilusang Magbubukid ng Pilipinas (DKMP, Gerakan Tani Demokratik Filipina) sebagai gantinya. Resolusi pertama DKMP adalah untuk secara politis berinteraksi dengan pemerintah tentang isu land reform dengan menggunakan CARP sebagai titik awal. Kebetulan sekali, pada saat itu, jajaran kepemimpinan DAR yang baru di bawah Garilao mulai menunjukan kecenderungan-kecendeungan reformis (Borras, 2001a).
Sementara, setelah terpilihnya Fidel Ramos dalam pemilu di pertengahan 1992, CPAR telah pecah karena setengah dari organisasi-organisasi dalam CPAR telah mendukung Ramos dalam pemilu presiden (lihat Franco, 1999a,; Putzel, 1998). Bubarnya CPAR dan perpecahan ND kemudian menciptakan sebuah peluang untuk aliansi baru dalam gerakan tani kiri tengah dan kiri luas dan komunitas ornop. Dua koalisi nasional baru antara ornop-ornop dan organisasi-organisasi tani dibentuk oleh jaringan ornop dan organisasi tani. Jaringan ini adalah jaringan luas secara ideologis (tidak termasuk organisasi-organisasi ND). Salah satu koalisi tersebut adalah AR Now! atau ‘Reforma Agraria Sekarang Juga!’. Koalisi ini terdiri dari berbagai ornop sosial demokratik dan sebuah organisasi tani. Koalisi lainya adalah Kemitraan untuk Reforma Agraria dan Pelayanan Pembangunan Pedesaan (PARRDS) yang memayungi bekas jaringan tani ND, ‘demokrat populer’ dan BISIG. DKMP mengalami serangkaian perpecahan organisasi karena perbedaan personal diantara pemimpin utamanya. Sepanjang pertengahan 1990an, DKMP ditinggalkan begitu saja oleh mayoritas anggotanya untuk membangun organisasi-organisasi lokal yang otonom.
Kelompok-kelompok lokal ini ditambah dengan perkumpulan-perkumpulan yang baru lahir nantinya berkumpul bersama untuk membentuk UNORKA. Kelahiran formasi pergerakan sosial pedesaan yang otonom ini bersamaan dengan merosotnya pengaruh CPP, mempelopori sebuah era baru yang dicirikan dengan kombinasi militansi dan pragmatisme di antara gerakan-gerakan rakyat pedesaan di Filipina. Dalam konteks politis-historis yang ber-evolusi inilah UNORKA dikaji lebih dekat. Dengan adanya heterogenitas (sektor-sektor dalam masyarakat dan asal-usul ideologis kelompok-kelompok lokal) internal, UNORKA mungkin sebaiknya dipahami sebagai aktor—meliputi individu-individu yang secara kolektif berinteraksi dengan kelompok-kelompok lain baik sebagai musuh atau sekutu, dan sebagai sebuah arena aksi—terdiri dari sub-sub kelompok dengan identitas-identitas dan kepentingan-kepentingan berbeda. Interaksi dan negosiasi sub-sub kelompok tersebut salah satu penentu watak, tahap dan arah gerakan yang lebih besar. UNORKA memang melibatkan negara pada isu-isu land reform tapi UNORKA jelas sangat melindungi otonominya. Penegasan otonominya juga berlaku tidak hanya pada hubungannya dengan negara tapi juga dengan sekutu non negara seperti ornop, partai politik dan gerakan.17 Meskipun UNORKA adalah sebuah koalisi nasional yang berupaya untuk mensentralisasi beberapa aspek dari aksi-aksi kolektif mereka, UNORKA juga sebuah gerakan yang sangat ‘polisentris’ yang menganggap organisasi-organisasi anggota lokal sebagai aktor utama dan organisasi nasional UNORKA bekerja pada prinsip ‘kepemimpinan yang berputar’. Ciri yang belakangan ini mencerminkan sebuah upaya kesadaran diri untuk mencegah lahirnya pemimpin petani ‘jenis caudillo’. Sementara, UNORKA juga memiliki dan menjaga sekretariat nasional yang kecil dan sederhana. Ini sengaja dilakukan untuk mencegah berkembangnya sebuah sekretariat yang berkuasa tapi tidak bisa dipertanggungjawabkan, sebuah masalah yang seringkali menggerogoti organisasi-organisasi petani di masa lalu.
Lebih umumnya, UNORKA secara formal diluncurkan sebagai sebuah koalisi nasional organisasi-organisasi tani lokal otonom pada Bulan Juni 2000. Tetapi seperti yang ditegaskan sebelumnya, akar UNORKA jauh berasal dari gerakan sosial pedesaan militan pada tahun 1970an dan 1980an. UNORKA sesungguhnya adalah sebuah gerakan dari kaum miskin pedesaan yang paling miskin---kaum tani tak bertanah dan nyaris tak bertanah---yang aspirasi utama dan tuntutan mendesaknya adalah land reform redistributif yang nyata sekarang juga. UNORKA mulai diakui keberadaannya di Luzon Tengah, Luzon Utara (Lembah Cagayan), Tagalog Selatan, wilayah Bicol, Visayas Barat dan Timur dan Mindanao Tengah dan Selatan. UNORKA terjun langsung dalam masalah kepemilikan tanah yang secara politis sangat berbahaya. Kepemilikan tanah ini dikontrol oleh keluarga-keluarga yang punya banyak tanah dan paling berkuasa seperti Danding Cojuangco, Domingo Reyes, Keluarga Floreindo, Keluarga Lorenzo, Keluarga Alcantara dan Keluarga Omena dan lainnya, dan juga perusahaan-perusahaan multinasional yang punya pengaruh seperti Dole. Menjelang 2005, UNORKA terlibat langsung dalam lebih dari lima ratus persengketaan legal agraria, di lebih dari 200000 hektar tanah yang melibatkan lebih kurang 90000 keluarga petani, atau hampir setengah juta individu di seluruh negeri.
Strategi UNORKA, ‘strategi bibingka’, telah melibatkan pengkombinasian mobilisasi sosial otonom ‘dari bawah’ dengan inisiatif-inisiatif reformis negara ‘dari atas’. Namun, bentuk aksi-aksi kolektif UNORKA beragam dari mulai pendudukan tanah paksa sampai dialog, dari aksi turun ke jalan sampai serangan-serangan legal, dari surat petisi sampai menyegel gerbang DAR untuk mendramatisasi protes mereka. Tapi dengan terus bergerak diantara ‘oposisi mutlak’ dan ‘kolaborasi yang tidak kritis’ dengan negara pada isu land reform, UNORKA telah berupaya untuk memaksimalkan potensi reformis CARP, sambil tetap secara strategis berorientasi pada land reform redistributif yang nyata yang melampaui batas-batas institusional CARP. UNORKA karenanya terus berkembang sambil tetap mejaga karakter pokoknya sebagai sebuah gerakan tani yang militan tapi pragmatis.

Dilema dan Tantangan yang Dihadapi
Gerakan tani lokal otonom sendiri tidaklah cukup untuk menghasilkan kemajuan demokratisasi pedesaan di tempat-tempat yang masih terperangkap dalam cengkraman praktek-praktek sosial politik berbasis lokal. Tapi mereka (gerakan-gerakan tani lokal) adalah bagian penting dari proses demokratisasi di tempat-tempat tersebut yang biasanya ditandai dengan kontrol dan distribusi kepemilikan tanah yang kacau balau. Untuk penjelasan ini, harus ada perhatian khusus yang diberikan (seperti yang telah kami lakukan di tempat lain) untuk dengan cermat menelusuri kemunculan gerakan-gerakan tani lokal dan mengkaji perjuangan-perjuangan mereka khususnya dalam hubungan dengan land reform. Berkembangnya dan bertahannya sebuah jaringan otonom organisasi-organisasi rakyat miskin pedesaan untuk menantang elit-elit pemilik tanah yang menindas di beberapa wilayah yang dikuasai kelompok otoritarian lokal yang paling represif dan mapan di Filipina ditahun 1990an sampai sekarang, merepresentasikan sebuah perubahan besar dalam status quo yang tidak demokratis di Filipina. Pentingnya mereka untuk proses demokratisasi pedesaan yang lebih besar tidak bisa terlalu digembor-gemborkan.
Tetapi jika pembahasan sebelumnya seperti mengangkat generasi baru mobilisasi kaum tani militan untuk tanah dan demokrasi, dalam bagian ini kami ingin mencoba meletakan optimisme mendasar kami dalam perspektif politik dan sejarah yang lebih luas. Terlepas dari kemajuan penting yang telah dibuat UNORKA dan kelompok-kelompok lain menuju pengentasan kelompok-kelompok otoritarian lokal yang paling resisten, jalan menuju demokratisasi pedesaan masih panjang berliku dipenuhi dengan kesulitan yang jauh lebih banyak. Sikap yang ditunjukan pemerintahan terpilih Gloria-Macapagal-Arroyo semakin membuat kondisi keseluruhan untuk membuat kemajuan lebih jauh berada dalam situasi yang sangat memburuk, seperti yang akan dijelaskan lebih mendalam di bawah. Kondisi sosial politik untuk mewujudkan hak-hak rakyat miskin pedesaan tidak pernah seburuk ini sejak periode Aquino.
Melihat kembali perjuangan kontemporer untuk tanah dan demokrasi kelihatannya telah kembali ke titik awal sejak skandal akhir 1980an dan awal 1990an. Setelah ‘masa keemasan’ land reform yang didorong strategi bibingka pada tahun 1990an, sebuah gerakan reformasi yang pernah begitu kuat di Filipina telah kehilangan momentumnya dan sedang menyusut. Saat ini, reformisme negara dalam land reform terlihat terperangkap dalam gerak spiral yang menurun secara serius. UNORKA dan kelompok-kelompok gerakan sosial radikal yang berfokus pada land reform menghadapi puncak ‘Gloria Gridlock (Kemandegan Gloria)’, atau sebuah kemunduran terburuk pencapaian instusional dan kebijakan. Apa yang harus dilakukan dalam situasi ini bukan pertanyaan yang harus kami jawab. Jawabannya ada pada mereka yang berada di garis depan perjuangan. Namun demikian, dalam bagian kesimpulan ini, kami ingin menegaskan apa yang kami anggap sebagai tantangan ke depan.
a)Kembali ke titik awal
Seperti yang diketahui, untuk semua janji-janji people power (gerakan kekuatan rakyat yang menggulingkan Marcos), peluang-peluang politik untuk reforma agararia selama pemerintahan pasca-Marcos (1986-1992) di bawah Corazon Cojuangco Aquino lumayan terbatas, mengakibatkan keadaan lesu darah dalam redistribusi tanah. Sebagian besar pengamat menelusuri masalah ini ke ‘ketiadaan hasrat politik’ pemerintahan pertama pasca-Marcos untuk mengimplementasikan undang-undang CARP, dikombinasikan dengan semacam apatisme birokrasi. Birokrasi DAR didominasi oleh kekuatan-kekuatan konservatif yang kurang menyetujui (sengaja mengenyahkan) kelompok-kelompok gerakan sosial pedesaan otonom untuk ikut serta mengimplementasikan undang-undang. Mereka lebih memilih untuk bekerja sama dengan serikat-serikat tani yang bisa mereka kontrol untuk mendapatkan konsesi-konsesi terbatas.18 Boleh jadi memang begitu kejadiannya. Tetapi hal ini juga membentuk potongan cerita. Bagian lain dari gerakan sosial pedesaan dengan alasan ideologis dan politis memilih untuk tidak ikut untuk berpartisipasi serius dalam implementasi undang-undang land reform dan malah memboikot program CARP. Akibatnya adalah munculnya dua kutub yang sangat bertentangan di medan gerakan sosial pedesaan. Tidak satupun dari keduanya yang berbekal sebuah strategi yang otonom dan sistematis untuk berinteraksi dengan negara seputar program land reform. Sementara, mudah diperkirakan, elit bertanah tetap bersatu menjadi oposisi reformasi, meskipun kekuatan sesungguhnya dari oposisi mereka benar-benar tidak teruji karena relatif tidak ada tekanan-tekanan reformis dari para pelaku advokasi pro reformasi baik dalam negara maupun masyarakat.
Situasi ini tergantikan oleh pemilu 1992. Reformasi kebijakan dan institusional yang dimulai oleh kelompok pro reformasi di DAR di bawah kepemimpinan mantan eksekutif ornop Ernesto Garilao (1992-98) menyumbang sebuah perubahan baik dalam peluang-peluang politik bagi kemunculan gerakan-gerakan land reform lokal otonom dan tumbuhnya kerja sama yang berarti dengan negara (lihat, contohnya Garilao 1999). Peralihan blok politik dalam negara yang dihasilkan oleh proses elektoral nasional 1992 secara langsung dan tidak langsung juga berpihak pada masalah reforma agraria. Sementara pemilu ini telah melahirkan perpecahan diantara para elit, kandidat presiden Fidel Ramos gagal untuk mendapatkan suara bulat mayoritas. Presiden baru pun memasuki istana dengan mandat elektoral yang sangat lemah. Akibatnya, ia (Fidel Ramos) segera berupaya memperluas basis politiknya.19 Dalam konteks inilah beberapa aktivis masyarakat sipil pro reformasi direkrut untuk menempati posisi-posisi penting dalam birokrasi negara termasuk DAR.
Awal 1990an juga menyaksikan ‘nasional demokratik’ bernafaskan komunis atau gerakan ‘ND’ mengalami perpecahan ideologis, politis dan organisasional yang parah yang berakibatkan perpecahan luar biasa (Rocamora, 1994; Abinales, 2001). Krisis ini membawa dampak penghancuran gerakan ND ortodoks, dan tahun demi tahun berlalu sebelum ND mampu pulih dari kelumpuhan politis yang dialami diawal 1990an (Caoutte, 2004). Tetapi krisis 1991-93 dalam gerakan ND juga mengakibatkan, antara lain, munculnya kelompok-kelompok gerakan sosial pedesaan yang jauh lebih terbuka daripada sebelumnya terhadap pragmatisme politik (Weekley, 2001). Perubahan mengarah pada sebuah gelombang baru inisiatif-inisiatif pembangunan koalisi formal dan informal diantara gerakan-gerakan sosial pedesaan di luar gerakan ND ortodoks, dan peralihan momentum kepada kelompok-kelompok yang ingin secara kritis bekerja sama dengan negara berkaitan dengan program land reform resmi negara.
Masuknya individu-individu berorientasi reformasi ke dalam eselon atas birokrasi reforma agraria negara pada satu sisi, dan bangkitnya generasi baru kelompok-kelompok pergerakan sosial pedesaan yang berorientasi reformasi dan radikal di sisi lain merupakan perkembangan-perkembangan krusial. Keduanya memungkinkan pembentukan aliansi negara-masyarakat untuk land reform, terlepas dari perbedaan-perbedaan strategis potensial dalam motivasi dan kepentingan antara pihak-pihak yang berbeda. Karenanya, interaksi negara-masyarakat pro reformasi yang dimulai pada tahun 1992 telah diakui dengan majunya proses-proses implementasi land reform dan hasilnya selama periode kepemimpinan Ramos (1992-98).
Jelasnya, sinergi baru negara-masyarakat ini tidak menjamin implementasi land reform ‘penuh dan utuh’ secara otomatis, karena sinergi ini masih harus mengatasi kekuatan-kekuatan anti reformasi baik dalam negara dan masyarakat. Kekuatan-kekuatan anti reformasi ini lumayan kuat, apalagi ketika mereka bersatu. Konstruksi aliansi negara-masyarakat oleh kekuatan-kekuatan anti reformasi membantu menjelaskan kegagalan-kegagalan land reform yang sangat mencolok seperti Hacienda Looc (ketika merampas kembali tanah yang diberikan kepada kaum tani miskin dan menghibahkan kembali tanah tersebut kepada perusahaan riil estat besar di Filipina), Mapalad dan Hacienda Luisita (ketika program distribusi yang sangat mencurigakan dibiarkan berlangsung tanpa pengawasan).20 Sementara, perlu diketahui bahwa tanpa penjelasan yang memuaskan, kewenangan otoritas resmi DAR dalam program CARP antara 1998 dan 2001 dikurangi dua perlima, atau 2,65 juta hektar, yang secara efektif mengurangi jumlah sebagian besar tanah pertanian swasta yang direncanakan untuk akuisisi paksa yang ditentukan hukum, kewenangan otoritas UU land reform (Borras, 2003: 1053).
Tapi terlepas dari bercokolnya masalah-masalah lama dan pengenalan batasan-batasan baru, catatan DAR dalam mendistribusikan tanah produktif kepada kaum tani yang terorganisasi, patut dan berhak mengalami kemajuan luar biasa selama periode Garilao. Kemajuan ini menampik persepsi umum tentang potensi UU land reform sejak pertama ia disahkan. Dengan setiap pencapaian dan kemenangan land reform, gelombang baru mobilisasi yang lahir dari berubahnya persepsi umum tentang UU, pada akhirnya, membantu membangkitkan momentum lain yang berfungsi untuk semakin mengenyahkan batasan-batasan implementasi program yang sebelumnya tidak bisa diutak-atik. Perjuangan-perjuangan untuk tanah dan demokrasi semakin didorong ‘dari bawah’ khususnya dalam sistem kepenguasaan tanah yang terkontrol atau tanah yang dikuasai secara privat yang lebih mengundang sengketa dan rumit yang di sini dicirikan sebagai pembangunan blok kelompok-kelompok otoritarian lokal yang mapan.
Menjelang berakhirnya masa kepresidenan Ramos dan dilantiknya pemerintahan baru Estrada, bentuk kepenguasaan tanah raksasa tersebut sekarang menjadi pekerjaan rumah besar yang harusnya diselesaikan oleh kewenangan program resmi CARP meskipun kewenangannya semakin dikurangi—dan juga sejumlah besar tanah yang ditargetkan oleh kaum tani terorganisasi mengklaim tanah dan organisasi-organisasi advokasi hak untuk redistribusi. Berikutnya, dalam kerangka satu fakta ini saja, periode pasca-Ramos dirancang menjadi sebuah periode pemerintahan yang sangat lalim kepada front land reform. Memang menjelang pertengahan 1998, seluruh peluang politik untuk reforma agraria mulai dipersempit dengan bangkitnya kembali anggota-anggota penting elit tuan tanah dalam arena politik—yang paling mencolok Eduardo ‘Danding Cojuangco21 –yang telah disisihkan semasa pemerintahan Ramos, tapi sekarang ia bersekutu dengan Presiden Joseph Estrada.
Akhirnya, periode pemerintahan yang tidak berumur panjang, Mei 1998-Januari 2001 berubah menjadi periode yang penuh kecamuk badai. Pemerintahan yang baru ini tidak hanya berujung pada bangkitnya kembali pengaruh sejumlah anggota elit tuan tanah tepatnya pada saat ketika sebagian besar tanah mereka yang berada dalam sengketa menjadi target redistribusi. Pemerintahan ini juga berujung pada sebuah perpecahan yang tidak diduga-duga. Seperti yang dijelaskan di mana-mana, kampanye presiden 1998 dan kemenangan telak Estrada dalam pemilu, dan janjinya untuk mengangkat Horacio Morales Jr (mantan pemimpin bawah tanah Front Demokratik Nasional atau NDF, dan aktivis ornop), membawa dampak yang memecahbelah front reforma agraria pada umumnya dan gerakan pembangunan pedesaan khususnya (lihat Franco, 2004). Morales, pada saat itu, segera bersumpah untuk meneruskan reformasi-reformasi yang dilembagakan dan dipelopori oleh pendahulunya. Tetapi ditelikung oleh kelompok lawan politik laten (anti reformasi) yang telah bangkit kembali menjelang kampanye presiden 1998, gerakan yang merupakan persatuan ornop dan organisasi-organisasi petani ini terus terpuruk dalam perpecahan bahkan setelah pemilu telah lama usai. Beberapa segera menggabungkan diri dalam gerakan politik multi kelas yang menyerukan penggulingan presiden baru dan mengadopsi posisi antagonis dalam berhadapan dengan DAR Morales. Yang lainnya (seperti UNORKA) terus melakukan kerja sama kritis mengenai land reform dengan DAR Morales dan pemerintahan Estrada (Franco, 2004).
Penting juga, pola interaksi negara-masyarakat berorientasi reformasi yang sudah terbangun sebelumnya tetap ada, terlepas dari semakin rapuhnya dan terpolarisasi kancah politik nasional (Borras, 2000). Seperti yang ditegaskan sebelumnya, terlepas dari indikasi bahwa land reform sekarang seperti telor di ujung tanduk, kepemimpinan Morales di DAR yang tidak berumur panjang bertanggungjawab untuk sejumlah reformasi preseden kebijakan yang dirancang untuk pro redistribusi. Adalah DAR di bawah Morales yang mengatur bahwa pekerja perkebunan yang sebelumnya (dan seringkali secara tidak pasti) diberhentikan dari kerja tidak boleh dikesampingkan dari proses land reform di perkebunan komersial (Borras dan Franco, 2005). Tetapi kekuatan kelompok reformis dalam birokrasi DAR tidak bisa lagi ditegakan oleh seluruh kelompok reformis dalam masyarakat sipil yang bersatu untuk satu tujuan, karenanya memperlemah aliansi pro reformasi dalam berhadapan dengan kekuatan anti reformasi.
Kebalikan dengan era Garilao, periode singkat ini ditandai dengan meningkatnya ketegangan-ketegangan, ironi-ironi dan kontradiksi-kontradiksi tentang front land reform. Misalnya ketika pemimpin baru DAR memulai sebuah tinjauan kritis luar biasa tentang opsi distribusi yang mencurigakan di Hacienda Luisita (yang dimiliki oleh keluarga mantan Presiden Corazon Cojuangco Aquino), gerakan DAR tersebut diprotes oleh beberapa pelaku advokasi reforma agraria yang menolaknya karena gerakan itu dianggap gerakan ‘yang bermotivasi politik’ untuk memukul sayap keluarga Cojuangco yang sangat aktif terlibat dalam gerakan anti Estrada. Sementara, pemerintahan Estrada juga memutuskan untuk mencapai kesepakatan bersama khusus antara pekerja perkebunan dan Danding Cojuangco di Negros Occidental—sebuah inisiatif yang sesungguhnya dimulai oleh pemerintahan Ramos-Garilao, tapi kemudian beberapa pelaku advokasi reforma agraria menjadikannya ‘bukti’ niat anti reformasi pemerintahan Estrada-Morales. Dan selama periode inilah pemerintah memutuskan untuk bereksperimen dengan ide reforma agraria yang terpimpin oleh pasar ---kali ini, niatan pemerintah itu tidak mendapatkan protes besar-besaran dari para pelaku advokasi reforma agraria. Padahal sebelumnya upaya Bank Dunia, ketika DAR di bawah kepemimpinan Garilao, untuk memperkenalkan konsep itu mendapatkan protes keras (Franco, 1999, Reyes, 1999). Jelasnya, perubahan-perubahan politik penting tidak hanya terjadi di sisi negara pada saat itu, tapi juga pada aktor-aktor penting di masyarakat yang sebelumnya bersatu demi land reform.
Namun, hasil yang lebih kongkrit dari perubahan struktur peluang politik adalah kemajuan kecil tapi penting dalam redistribusi tanah. Terlepas dari beberapa momen yang tidak menyenangkan, keseluruhan struktur peluang (politik) positif yang mendominasi dari 1992 sampai awal 2001 menggambarkan dengan jelas perjuangan-perjuangan untuk tanah dan demokrasi di berbagai pelosok negeri. Di pertengahan akhir periode inilah ketika seruan sistematis dan hasil awal land reform diwujudkan khususnya di pertanian kelapa dan tanaman pangan subsisten seperti yang terjadi di Bondoc peninsula di Quezon dan perkebunan tebu di Negros Occidental (Franco 2005, Feranil, 2005). Peluang politik untuk land reform kemudian hanya terbuka di perkebunan-perkebunan komersial (pisang) yang sempat tertunda karena kelembaman hukum yang berlangsung sampai pertengahan 1998 (de la Rosa, 2005).
Berlawanan dengan latar belakang sejarah yang berubah ini, dalam rangka merefleksikan tantangan-tantangan ke depan yang dihadapi UNORKA dan sekutunya, tantangan yang paling mendesak di depan mata adalah seberapa jauh perubahan seluruh struktur peluang politik sejak bergantinya pemerintahan diawal 2001. Seperti yang tergambar pada peristiwa yang dikisahkan di bagian pendahuluan makalah ini, dan terlepas dari ramalan optimis beberapa kelompok anti Estrada, perjuangan untuk tanah dan demokrasi menjadi semakin lebih sulit —bukannya berkurang—di bawah pengganti pemerintahan Estrada yang telah berhasil digulingkan. Land reform pasca-Marcos kini menghadapi hambatan tanpa henti di bawah pemerintahan Macapagal-Arroyo.Land reform telah mengalami semacam kebuntuan di mana hanya sedikit gerakan atau bahkan tidak ada yang bergerak maju dalam redistribusi tanah dari sudut manapun.
Situasi ini diakibatkan beberapa faktor. Pengangkatan politisi yang tidak toleran dan tidak punya komitmen untuk memimpin DAR, penetapan target resmi redistribusi tanah yang rendah, dorongan untuk akuisisi tanah tanpa paksaan, dan memperalat birokrasi DAR dan program CARP untuk membentuk aliansi dengan tuan tanah-tuan tanah regional untuk kepentingan elektoral. Semuanya ini menyumbang pada pembentukan masalah (Franco, 2004; Borras, 2002). Singkatnya, satu syarat utama untuk strategi bibingka efektif—keberadaan aktif aktor reformis negara pada puncak birokrasi DAR—sama sekali tidak terjadi di bawah pemerintahan sekarang.22 Akhirnya, tersingkirnya aktor reformis negara dari posisi puncak DAR di tengah meningkatnya konservatisme dan korupsi dalam pemerintah pusat, telah merampas klaim hak tanah legal dan keterbukaan ruang bermanuver bagi kelompok-kelompok seperti UNORKA.

b) Gloria Gridlock

Tanggal 19 Januari 2004, tigaratus petani dari berbagai pelosok negeri dari Isabela di utara sampai Davao dan Cotabato di selatan, mulai mendirikan tenda di depan kantor pusat DAR di ibukota nasional. Di bawah spanduk UNORKA, mereka mempotes sebuah keputusan yang mereka sebut ‘anti kaum tani’ yang telah dibuat menteri DAR Roberto Pagdanganan, mantan gubernur dan sekutu politik dekat Presiden Macapagal Arroyo. Roberto Pagdanganan memegang tongkat kepemimpinan DAR setelah Hernani Braganza akhirnya digulingkan awal 2003. Tetapi dalam jangka waktu singkat , menteri baru ini telah menyetujui kurang lebih 115 aplikasi konversi penggunaan tanah (ini merupakan alat populer untuk menampik land reform, biasanya menguntungkan tuan tanah besar dan perusahaan-perusahaan riil estat). Ia juga telah mempetieskan dan mengesampingkan 300 kasus agraria dari kewenangan land reform. Ditambah lagi, empat belas keputusan yang jelas-jelas pro tuan tanah yang mempengaruhi perkebunan-perkebunan komersial besar di provinsi Davao, di antaranya adalah beberapa perkebunan yang dimiliki keluarga Floreindo yang sangat berkuasa dari Davao (lihat de la Rosa, 2005). Di antara kelompok-kelompok advokasi land reform, hampir semua keputusan tersebut diyakini sebagai sebuah bagian integral dari upaya pemenangan pemilu pemerintahan dan pengumpulan dana kampanye Macapagal-Arroyo untuk melangkah ke pemilu krusial tahun 2004.
Para pemrotes tetap tinggal di tenda berhari-hari, dengan kelompok-kelompok tani yang terorganisasi lainnya yang juga bergabung. Tetapi para pemimpin UNORKA menolak untuk bertemu dengan Menteri Pagdanganan. Mereka malah menuntut untuk bertemu langsung dengan presiden, seperti yang mereka berhasil lakukan selama krisis kepemimpinan DAR. Sekali lagi berada di bawah tekanan, Presiden kembali menyetujui untuk bertemu dengan para pemimpin UNORKA dan Asosiasi Pegawai DAR (DAREA).23 Meskipun pertemuan ini tidak membuahkan hasil sebaik pertemuan pertama dengan Presiden, Pagdanganan terpaksa berjanji di depan Presiden bahwa ia akan ‘meninjau kembali’ kasus-kasus kontroversial demi kepentingan petani.24 Hari-hari berlalu dan tidak terjadi apapun, dan pada masa-masa itu para pemrotes tidak berhasil memasuki gedung (DAR) untuk berbicara langsung dengan para pejabat tingginya.
Kemudian pada tanggal 4 Februari, dengan kesabaran yang sudah habis terkuras, kaum tani sekali lagi memutuskan untuk memasuki paksa dan menduduki gedung DAR. Tetapi sementara, pintu gerbang depan DAR sudah disolder sehingga tidak mungkin dibuka, dilapisi jeruji kawat dan pasukan keamanan ekstra juga sudah ditambahkan dan sebuah larangan baru untuk kumpul-kumpul di luar gedung sudah dikeluarkan. Terpisah dari medan pertempuran untuk merebut hak-hak yang sekarang juga termasuk hak politik dasar dan kebebasan sipil, tindakan-tindakan kasar tersebut membubuhkan garam pada luka yang sudah terlanjur pahit. Tindakan kasar DAR itu semakin mendorong para pemrotes untuk nekat memasuki gedung DAR. Mereka berhasil menerobos gerbang dan mengambil alih gedung DAR. Sebelum situasi menegangkan ini mendapatkan liputan langsung dari sejumlah stasiun televisi dan radio, Menteri Pagdanganan, yang sedang menghadiri pertemuan Kabinet di istana kepresidenan, berjanji untuk menghadapi para petani di sore hari. Malam itu juga, ia mengadakan sebuah dialog mendadak dengan kaum petani yang melakukan aksi protes.
Di bawah tekanan, Pagdanganan setuju untuk meninjau kembali keputusan-keputusan yang merugikan kaum tani, melembagakan kembali kebijakan tradisional ‘pintu terbuka’ di Kantor Pusat DAR, dan mengijinkan pemrotes untuk tetap berkemah sampai peninjauan kembali selesai dilakukan. Para pemrotes setuju untuk kembali ke lokasi perkemahan. Tetapi untuk menjaga tekanan sementara menunggu sampai tenggat waktu yang disepakati, mereka membangun sebuah blokade di gerbang utama DAR. Sementara Tim Aksi dan Senjata Khusus (SWAT—yang biasanya dipakai untuk melawan teroris kota dan jaringan kejahatan terorganisasi) mulai unjuk gigi di area utama aksi protes. Hari berikutnya, para pemrotes dibubarkan dengan kekerasan oleh gabungan SWAT yang bersenjata lengkap dan polisi Otoritas Pembangunan Manila Metropolitan, dan penjaga DAR. Kekerasan yang digunakan dalam menghadapi pemrotes yang tidak bersenjata dilakukan sampai tingkat yang tidak terduga hingga duapuluh orang terluka, beberapa mengalami luka serius hingga harus dibawa ke rumah sakit dengan luka dikepala. Dua lainnya ditahan. Bagi UNORKA, kekerasan itu adalah tindakan menyakitkan yang semestinya tidak perlu dilakukan. Bagi DAR Pagdanganan, tindakan kekerasan itu adalah sebuah kegagalan yang menuai kecaman publik setelah cerita tersebut disiarkan di media nasional yang bersimpati kepada pemrotes. Sebagai balasan, DAR Pagdanganan mengajukan tuduhan ke pengadilan bahwa para pemimpin dan aktivis UNORKA mencoba melakukan upaya melawan pemerintah.
Tetapi peristiwa kekerasan tersebut berhasil membalikan persepsi publik terhadap DAR Pagdanganan, yang mendapat pukulan besar dari opini negatif yang beberapa hari kemudian terkristalisasi dalam aksi kemarahan massa yang sangat besar.Kemitraan untuk Reforma Agraria dan Pelayanan Pembangunan Pedesaan (PARRDS), sebuah koalisi ideologis besar nasional ornop dan organisasi tani, memainkan peran utama dalam membantu memobilisasi kelompok-kelompok dan pemimpin masyarakat baik di dalam dan di luar reforma agraria dan komunitas pembangunan pedesaan dari organisasi-organisasi masyarakat sipil dan media. Kedua sekutu dalam Komisi Anti Kemiskinan dan dalam Kabinet, sekali lagi, berperan penting dalam memfasilitasi dialog dengan presiden menyangkut masalah ini. Akhirnya ‘gulingkan Obet (Oust Obet)’25 menggelindingkan bola salju menjadi satu upaya front pembangunan pedesaan dan reforma agraria yang paling substansial dan luas dalam sepanjang ingatan. Ini sangat jauh berbeda dari pada waktu UNORKA sendiri, bersama sekutu terdekatnya PEACE Foundation,26 menduduki DAR Braganza. Karena khawatir akan dampak kejadian negatif ini pada upaya pemenangan pemilu presiden, Macapagal-Arroyo memberhentikan Pagdanganan dari DAR, dan seperti juga Braganza, ia dipindahkan ke departemen lain.
Setelah Pagdanganan digulingkan dari DAR, berbagai kelompok gerakan sosial pedesaan menyerukan penunjukan orang-orang yang terkenal pro reforma agraria, termasuk mantan Senator Wigberto Tanada, untuk memimpin DAR.27Presiden mengabaikan tuntutan-tuntutan ini, dan terus menunjuk seorang pengacara dari provinsi Iloilo, Rene Villa, yang latar belakang relevannya tentang reforma agraria, menurut para aktivis land reform, adalah menyediakan bantuan hukum untuk tuan tanah besar dan bank-bank komersial dalam persengketaan tanah.Organisasi-organisasi tuan tanah dari Visayas menyambut baik penunjukan ini, yang kemudian juga segera disepakati oleh Senat dan Dewan Perwakilan.28Seperti juga yang telah dilakukan pendahulunya, Villa segera mulai membuat keputusan-keputusan tentang kasus-kasus besar land reform di peninsula Bondoc. Ia juga menolak untuk membuka kembali dan meninjau kembali kasus Opsi Distribusi Stok (SDO) yang mencurigakan di Hacienda Luisita. Hacienda Luisita juga menjadi ajang kekerasan berdarah ketika polisi militer membubarkan pemogokan pekerja pada Bulan November 2004 dan menewaskan tujuh pekerja.29 Tidak butuh waktu lama untuk kelompok-kelompok gerakan sosial pedesaan untuk kembali berbaris bersama menyerukan penggulingan Villa dari DAR. Menjelang perempatan kedua 2005, sebagian besar ornop dan organisasi tani yang secara kritis menyertakan pemerintah dalam program land reform memutuskan untuk menyerukan pemberhentian Villa.
Lima tahun menjalani masa kepresidenan, catatan sikap Macapagal-Arroyo tentang reforma agraria membenarkan ketakutan-ketakutan awal yang diekspresikan UNORKA tentang kecenderungan anti land reform dalam pemerintahan ini (lihat Franco, 2004). Terlebih lagi, menjelang awal 2005, menjadi jelaslah bahwa lebih dari 600 juta dolar AS yang diambil alih pemerintah dari ‘kekayaan haram’ Marcos secara diam-diam dan tidak sah dipakai oleh pemerintahan Macapagal—Arroyo. UU CARP memandatkan bahwa semua uang yang diambil alih dari keluarga Marcos dan para kroninya secara otomatis mengalir ke dana reforma agraria. Pada malam pemilu nasional Mei 2004, presiden dan beberapa pejabat kepercayaannya dilaporkan memerintahkan pembelanjaan dan penggunaan sebagian besar 600 juta dolar AS tersebut untuk ‘proyek-proyek pembangunan’, termasuk program beras dan proyek-proyek irigasi—proyek-proyek yang tidak punya hubungan langsung dengan pengambilalihan dan redistribusi tanah.30 Sebelumnya, kelompok-kelompok tani dan advokasi land reform telah dengan penuh waspada berharap bahwa suntikan dana segar dari dana Marcos untuk pengambilalihan dan redistribusi tanah akan membantu merevitalisasi program tersebut. Sekarang ketika mereka dengar bahwa uang tersebut telah dibelanjakan, menggemalah kemarahan dan tuntutan untuk sebuah pertanggungjawaban layak tentang apa yang sudah terjadi. Semasa penulisan makalah ini, kontroversi tersebut terus bergulir, dengan organisasi-organisasi gerakan sosial pedesaan yang berbeda-beda termasuk UNORKA, KILOS-AR31, PEACE Foundation, Pusat Pengembangan Buruh Tani Mindanao (MFDC), Gugus Tugas Mapalad dan PARRDS, sekali lagi bergantian membangun tenda protes di depan kantor pusat DAR.

c). Status Terkini Land Reform

Melihat kembali ke belakang, sesungguhnya hanya pada tahun 1992lah upaya-upaya redistribusi tanah khususnya di kepemilikan tanah yang bersengketa mulai meraih pijakan yang berujung pada redistribusi tanah yang bersahaja tapi cukup signifikan dan juga reformasi sistem sewa menyewa. Ini menegaskan pentingnya inisiatif-inisiatif otonom dari kaum reformis negara dalam menciptakan ruang politrik untuk tekanan-tekanan land reform yang berfokus ‘dari bawah’.Menjelang 2004, 5,5 juta hektar tanah, berarti sekitar kurang lebih setengah dari total lahan pertanian di seluruh negeri, secara resmi dilaporkan telah diredistribusi kepada sekitar 3 juta keluarga kaum tani kecil, atau sekitar dua perlima dari keseluruhan masyarakat tani Filipina. Terlebih lagi, 1,5 juta hektar tanah ditujukan untuk reformasi sistem sewa menyewa, menjadikan sejuta keluarga petani penyakap sebagai penerima manfaat. Pencapaian yang dilaporkan ini adalah sebuah pencapaian sederhana, tapi masih merupakan pencapaian yang relatif signifikan dalam konteks Filipina dan bahkan dalam perspektif komparatif lintas negara. Namun demikian, data resmi ini masih dipertanyakan. Sementara, orang-orang pemerintah yang mendukung CARP mengklaim bahwa statistik resmi mencerminkan kenyataan. Beberapa kritikus menampikan pencapaian yang dilaporkan ini dan menganggapnya sebagai sebuah penipuan. Hitung-hitungan kami sendiri adalah bahwa tingkat pencapaian aktual tanah yang diredistribusikan, berada di tengah-tengah dengan hasil positif terbesar yang dicapai semasa pemerintahan Ramos dan Estrada. Seperti yang dikatakan ahli reforma agraria Filipina James Putzel, ‘program tersebut pastinya telah menyentuh tanah di negeri ini dan rakyat pedesaan yang jauh lebih besar dari yang diramalkan para kritikus sebelumnya’ (2002:219).
Rentetan peristiwa-peristiwa dalam kurun waktu beberapa tahun lampau menunjukan bahwa sebuah periode yang berarti dari reformisme agraria negara yang dimulai pada awal 1990an berhenti ketika pemerintahan Macapagal-Arroyo mulai menjalankan kekuasaan di awal tahun 2001. Berkebalikan jauh dengan tahun-tahun sebelumnya, periode sekarang sejauh ini telah ditandai oleh berkurangnya secara radikal jumlah kemenangan perjuangan untuk tanah dan kemunculan pola keputusan dan kebijakan pemerintah anti land reform. Pemerintah juga sangat tidak bertoleransi ketika berhadapan dengan mobilisasi sosial pedesaan otonom untuk land reform. Alih-alih menggunakan uang yang diambil dari Marcos untuk menggenjot pengambilalihan dan redistribusi tanah, pemerintahan yang sekarang rupanya menggunakan uang tersebut untuk proyek-proyek pemerintah lainnya. Proyek-proyek ini sekarang diyakini hanya sekedar samaran untuk pemenangan pemilu. Alih-alih menjalankan mode akuisisi tanah paksa di bawah CARP, pemerintah telah memilih untuk menggunakan skema pengalihan tanah sukarela yang ramah pasar, yang sekarang seringkali digunakan tuan tanah untuk menghindari land reform (Borras, 2005). Alih-alih memperkuat kerangka legal CARP yang sudah ada, pemerintah merevisi undang-undang agraria untuk memberikan peran yang lebih besar kepada mekanisme pasar dalam (re)alokasi dan penggunaan sumberdaya tanah. Alih-alih menunjuk pejabat pro reforma agraria di DAR, pemerintah menunjuk politisi yang pro tuan tanah dan riil estat. Dan alih-alih mendukung komunitas-komunitas land reform bonafid dengan menyediakan pelayanan yang mendukung dan kebijakan negara yang menguntungkan pertanian, pemerintahan Macapagal-Arroyo telah jauh bergerak ke arah liberalisasi pertanian di Filipina dan mengesampingkan sektor-sektor pertanian subsisten. Terakhir, pelanggaran HAM terhadap kaum tani yang hanya terjadi selama rejim otoriter Marcos dan pemerintahan Aquino, telah mulai terjadi kembali, misalnya beberapa kerasan yang dilakukan polisi untuk membubarkan mobilisasi dan aksi UNORKA, juga kekerasan polisi militer ketika membubarkan pemogokan pekerja di Hacienda Luisita.
Secara keseluruhan, saat ini, kita telah kembali ke titik awal. Keseluruhan peluang politik untuk land reform tidaklah terpatok kepastian, tetapi berubah-ubah sepanjang tahun. Seluruh struktur dan iklim peluang telah bermetamorfosis melintasi empat periode yang berbeda. Empat periode tersebut adalah (i) tahun-tahun pertama implementasi CARP yang penuh skandal semasa pemerintahan Aquino (1988-92), Filipina memasuki (ii) sebuah periode keberhasilan pro-reformasi dan pencapaian relatif ketika kepemimpinan DAR diberikan kepada mantan direktur ornop Ernesto Garilao (1992-1998)—semacam ‘masa keemasan’ land reform yang diikuti dengan (iii) era implementasi CARP yang penuh kontradiksi, kontroversial dan singkat tapi juga produktif terutama di tanah-tanah yang dikontrol dan dimiliki secara privat di bawah DAR Morales (1998-Januari 2001), sebelum jatuh ke (iv) periode yang tidak salah lagi adalah periode buntu Macapagal-Arroyo saat ini (Januari 2001—sekarang).
d) Tantangan-tantangan sulit
Prospek untuk land reform di bawah situasi saat ini berada pada masa yang paling suram. Dalam konteks inilah tantangan-tantangan sulit untuk gerakan sosial pedesaan otonom dieksplorasi di bawah ini. Beberapa tantangan yang melibatkan faktor-faktor eksternal bagi gerakan sosial pedesaan terbukti menjadi tantangan yang lumayan sulit dan akan terus ada sebagai hambatan utama kemajuan lebih jauh menuju demokratisasi pedesaan di masa mendatang. Tantangan-tantangan tersebut adalah agenda neoliberal pemerintah, menguapnya kelompok-kelompok reformis dalam birokrasi negara yang bertanggungjawab untuk menjalankan land reform, semakin luar biasa menguatnya aliansi anti land reform yang melibas batas negara-masyarakat, dan bangkitnya penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh baik tuan tanah maupun kiri bersenjata yang ditujukan untuk menyanggah klaim yang dibuat kaum tani. Sekarang kita akan ulas tantangan-tantangan yang menekan ini secara lebih rinci.
Pertama, agenda-agenda neoliberal dalam negara pusat telah menjadi hambatan-hambatan penting bagi land reform. Kebangkitan global dari neoliberalisme telah mendapatkan pijakannya di negara Filipina beberapa tahun belakangan. Tapi ini bukan ‘neoliberalisme textbook’ yang bisa membuat kemajuan (lihat juga Bello, 2004). Agenda-agenda neoliberal yaitu mengambil kekuasaan dari negara dan mengalihkannya kepada kekuatan-kekuatan pasar (‘bebas’), terutama mengenai masalah (re)alokasi dan penggunaan sumberdaya, seperti tanah, telah sangat mendominasi saat ini. Misalnya, ada sebuah inisiatif legislatif saat ini yang didukung oleh eksekutif yaitu mengamandemen UU CARP agar lebih ‘ramah pasar’ dengan menghapuskan larangan untuk menjual dan menyewakan tanah yang diberikan melalui program land reform dalam sepuluh tahun sejak tanggal pemberian. Karenanya penghapusan larangan ini menjadikan hak guna tanah CARP secara keuangan merupakan instrumen-instrumen yang bisa dinegosiasikan yang dapat dijadikan jaminan dalam pinjaman-pinjaman bank komersial. Tetapi meliberalisasi ketetapan-ketetapan legal tertentu CARP secara efektif berarti mengangkat hukum ukuran ‘langit-langit (tertinggi)’ kepemilikan tanah yang dipatok oleh UU CARP pada ukuran lima hektar, yang merupakan jantung land reform redistributif. Upaya ‘reformasi reforma agraria’ ini (di Filipina lebih dikenal dengan sebutan UU Tanah Pertanian sebagai Jaminan atau ‘FAC Bill’), meskipun dalam makna konservatif, adalah bagian upaya neoliberal global untuk mengembangkan pasar tanah ‘bebas’ sebagai mekanisme utama untuk mere-alokasikan sumberdaya tanah.
Tapi, asumsi-asumsi dan klaim-klaim neoliberal tentang peran pasar tanah dalam penghapusan kemiskinan dipertanyakan oleh beberapa ahli yang tidak menemukan hubungan antara pasar tanah yang diliberalisasi dan akses kaum miskin ke kredit (lihat, contoh Boucher, Barham dan Carter, 2005). Nyatanya, dorongan menuju liberalisasi UU penjualan dan penyewaan tanah juga dikaitkan langsung dengan upaya pemerintah untuk memprivatisasi fungsi-fungsi pokok lain, termasuk yang merujuk pada kredit dan irigasi.
Sementara pemerintah juga bergerak cepat untuk memenuhi janji-janjinya untuk melakukan liberalisasi lebih besar lagi pada perdagangan pertanian terlepas dari adanya peringatan tentang dampak buruk liberalisasi macam ini pada kehidupan jutaan kaum tani miskin di Filipina. Peringatan ini datang dari sektor pertanian, organisasi-organisasi masyarakat sipil, dan komunitas akademis. Di atas semua ini, pemerintah juga dikejar waktu dan sekali lagi tunduk kepada tekanan-tekanan lembaga keuangan internasional untuk menyelesaikan hutang luar negeri, termasuk hutang yang secara janggaldiperoleh diktator Marcos. Pemerintahan Macapagal-Arroyo, seperti juga para pendahulunya, otomatis telah mengalokasikan lebih kurang setengah anggaran belanja tahunan untuk menyelesaikan hutang, hampir tidak meninggalkan sepeser pun untuk rakyat. Akhirnya, dalam beberapa contoh penting, agenda-agenda neoliberal dalam negara nyatanya cocok dengan agenda-agenda anti reformasi dan pemburu rente dalam negara dan masyarakat. Misalnya, advokasi pro-pasar untuk mengadopsi pendekatan land reform terpimpin oleh pasar dan menghapuskan akuisisi paksa yang merupakan ciri CARP sangat cocok dengan manuver-manuver anti land reform yang dilakukan elit-elit korporasi dan tuan tanah, serta perilaku pemburu rente yang dimiliki oleh beberapa birokrat (lihat, contoh Borras, 2005).
Kondisi global nasional sosial ekonomi Filipina yang lebih luas pastinya telah mempengaruhi dan akan terus mempengaruhi, kemungkinan-kemungkinan—dan batas-batas—land reform. Kondisi sektor pertanian Filipina memang penuh masalah, khususnya ketika dilihat dari cara bagaimana perdagangan pertanian dilangsungkan sejak 1990an di mana negara telah ditransformasikan menjadi bagian jaringan pengimpor hasil pertanian sejak awal 1990an. Hal ini akan dan sudah mendatangkan dampak buruk bagi pertanian pada tanah-tanah hasil land reform. Tapi ini semua juga akan mempengaruhi bagaimana kaum tani dan masyarakat pedesaan yang tidak punya tanah atau hampir tidak punya tanah menegaskan hak-hak mereka akan tanah dan penghidupan. Apakah dan bagaimana UNORKA akan sanggup mengatasi hambatan-hambatan yang dipasok oleh kondisi ini adalah salah satu tantangan terbesar yang menghadang gerakan, dan juga semua gerakan sosial pedesaan lain diseluruh pelosok negeri.
Kedua, menghilangnya kelompok-kelompok reformis dalam birokrasi cukup menghambat kemajuan redistribusi tanah. Menyatunya agenda-agenda neoliberal, pemburu rente dan anti reformasi semasa periode Macapagal-Arroyo sepertinya telah mempengaruhi langsung karakter penunjukan siapa yang akan menduduki posisi puncak DAR, meskipun kelihatannya yang dijadikan pertimbangan lebih penting adalah agenda pemburu rente dan anti reformasi. Artinya, pengangkatan orang untuk menduduki posisi kunci di lembaga-lembaga yang berkaitan dengan reforma agraria semasa pemerintahan Macapagal-Arroyo tidak ditentukan oleh persyaratan reformisme agraria tapi oleh perilaku pemburu rente, pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan elektoral, dan perhitungan politik yang pro elit tuan tanah. Seperti yang ditekankan dalam makalah ini, ketiadaan pejabat-pejabat reformis pada kepemimpinan DAR adalah salah satu masalah yang paling serius yang langsung menghadang gerakan sosial pedesaan yang memperjuangkan land reform. Apa dan bagaimana gerakan sosial pedesaan otonom dapat mempengaruhi sebuah perubahan positif dalam kondisi sekarang adalah tantangan penting lain yang menghadang UNORKA dan juga gerakan-gerakan dan organisasi-organisasi lain yang berorientasi pedesaan.
Ketiga, bertahannya ‘kelompok-kelompok otoriter lokal’ dan oposisi dari elit-elit tuan tanah yang semakin menajam terhadap land reform di tengah ketiadaan kaum reformis dalam birokrasi reforma agraria berujung pada pelumpuhan proses redistribusi tanah. Sementara resistensi tuan tanah terhadap land reform telah marak di pelosok negeri, rupanya beberapa area telah menjadi tempat konsentrasi oposisi yang anti reformasi, bentuknya berupa manuver-manuver legal yang canggih dikombinasikan dengan kekerasan dan intimidasi kepada kelompok-kelompok pro reformasi. Peninsula Bondoc di Quezon, Provinsi Negros Island, Iloilo, Leyte, Davao, dan Cotabato adalah di antaranya. Dan bukanlah kebetulan jika di area-area tersebut lahir sebagian besar organisasi-organisasi anggota UNORKA. Mereka melawan oposisi tuan tanah terhadap land reform, dan menuntut pertanggungjawaban negara. Tetapi di area-area inilah di mana elit-elit tuan tanah despotik menancapkan hukum hacienda atau cacique mereka, seperti yang ditunjukan dalam studi kasus yang dikaji dalam naskah ini.Di beberapa tahun belakangan ini, elit-elit tuan tanah lokal ini semakin mendapatkan kawan aliansi di negara pusat, di antaranya adalah para pemikir neoliberal beserta para pejabat yang korup, baik dalam cabang legislatif dan eksekutif pemerintah dan peradilan.Apakah dan bagaimana gerakan sosial pedesaan otonom dapat secara signifikan mengatasi menguatny oposisi yang anti reformasi, baik pada komunitas-komunitas lokal dan entitas politik nasional, masih tetap tidak pasti dalam keseimbangan kekuatan dalam negara dan masyarakat saat ini.
Terakhir, kemunculan kelompok kiri pro-kekerasan menentang kelompok-kelompok gerakan sosial pedesaan otonom, dalam beberapa hal, telah menambahkan hambatan-hambatan yang harus dilalui kelompok-kelompok reformis. Partai Komunis Filipina (CPP) dan organisasi-organisasi sekutunya tidak hanya mampu bertahan dari krisis yang ditimbulkan oleh perpecahan dalam gerakan diawal 1990an, tapi ia juga mampu meraih kembali tingkat kekuatan signifikan yang dimulai beberapa tahun lalu (lihat Caoutte, 2004). Tapi kali ini, CPP berhadapan dengan situasi di mana terdapat kelompok-kelompok politik kiri yang beragam dan berkompetisi untuk memapankan basis ideologis dan organisasional diantara rakyat miskin pedesaan. Kelompok-kelompok politik yang beragam ini tidak hanya terdiri dari eks-ND tapi juga kelompok-kelompok non komunis, baik yang radikal maupun yang relatif konservatif. Beberapa dari kelompok-kelompok politik kiri ini telah membantu atau mengawali pembentukan gerakan sosial pedesaan otonom yang mulai melibatkan kebijakan land reform resmi negara secara kritis. Keterlibatan kritis seputar kebijakan land reform ini membawa kelompok-kelompok ini ke area pedesaan tempat beroperasinya partai komunis ortodoks dan sayap bersenjatanya, Tentara Rakyat Baru (NPA). Hasil nyata namun terbatas yang bisa diraih petani miskin tak bertanah melalui program land reform pemerintah telah menjadi sebuah ancaman bagi komunis.
Untuk alasan inilah NPA mulai melakukan kekerasan kepada kelompok-kelompok gerakan sosial pedesaan otonom di area-area ini.Di antara kelompok-kelompok ini yang paling parah terkena dampaknya adalah UNORKA. Banyak aktivis dan pendukung UNORKA yang telah dilecehkan dan diintimidasi oleh NPA di sebagian besar pelosok negeri, tapi khususnya di peninsula Bondoc, wilayah Bicon, Luzon Tengah, Cagayan, Valley, Davao dan Cotabato. Bahkan, beberapa pemimpin UNORKA telah dibunuh oleh NPA.
Seperti yang ditegaskan, dalam beberapa kasus, penjelasan mengapa NPA untuk melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok-kelompok tani otonom seperti UNORKA adalah berasal dari fakta bahwa NPA telah membentuk aliansi dengan tuan tanah despotik selama si tuan tanah membayar ‘pajak revolusioner’. Sebagai gantinya, NPA sepakat untuk menghambat inisiatif UNORKA untuk mengorganisasi dan memobilisasi pekerja perkebunan di tanah yang dikuasai para tuan tanah ini. Namun demikian, mereka melakukannya dengan alasan (dalam pandangan dunia dari doktrin ideologis yang hitam putih) bahwa CARP adalah undang-undang ‘pro tuan tanah’ dan ‘anti kaum tani’, dan dengan mengklaim bahwa reforma agraria ‘jenuin’ hanya bisa dicapai ketika partai komunis mampu merebut kekuasaan negara. Apakah dan bagaimana UNORKA dan gerakan sosial pedesaan otonom lainnya mampu melawan dan mengatasi tindak kekerasan CPP-NPA merupakan sebuah tantangan yang sangat sulit. Tapi keberhasilan mereka akan bergantung setidaknya sebagian pada sejauh mana organisasi-organisasi HAM di Filipina dan internasional akan memprotes kekerasan yang dilakukan aktor-aktor non negara.

Kesimpulan
Ironisnya, pada waktu yang sama ketika banyak hak-hak progresif dijamin setara untuk semua rakyat Filipina tanpa memandang kelas, status, gender, atau etnisitas di bawah konstitusi ini, pada kenyataannya kebanyakan dari hak-hak ini tidak secara efektif digunakan oleh rakyat miskin pedesaan karena berbagai alasan. Di saat sekarang, penjelasan politik yang paling penting adalah bahwa di bawah pemerintahan Macapagal-Arroyo (i) institusionalisai perlindungan negara untuk hak-hak warga negara biasa masih tidak adil dan lemah dalam hubungannya dengan kekuatan otoritarianisme lokal dan bahkan telah semakin menguat; (ii) penghormatan negara untuk hak-hak warga negara biasa saja juga terlembagakan secara tidak adil di pedesaan; dan (iii) banyak rakyat miskin pedesaan yang tetap saja menjadi warga negara yang terlumpuhkan atau pengikup pasif hukum cacique atau hacienda. Dalam konteks inilah gagasan rightful resistance mulai menjadi makna yang menggugah UNORKA. Para anggota UNORKA berupaya menemukan cara baru untuk membongkar status quo sosial politik dalam rangka mengamankan hak tanah legal mereka dalam situasi yang semakin ganas.
Strategi rightful resistance yang masih terus digunakan ini pastinya telah membantu menjaga beberapa capaian penting dalam perjuangan-perjuangan land reform aktual. Tapi pastinya masih ada batasan dari apa yang bisa dicapai jika hanya melalui mobilisasi sosial. Sementara UNORKA dan kelompok-kelompok tani lainnya dan sekutu mereka telah membuktikan kekuatan politik mereka untuk memastikan dicopotnya dua menteri DAR sebelumnya (tahun 2003 dan 2004), mereka tetap saja tidak mampu mempengaruhi keputusan tentang siapa yang harus dipilih untuk menggantikan dua orang yang berhasil dicopot. Batasan ini terbukti menjadi hambatan utama untuk kemajuan lebih jauh redistribusi tanah pada khususnya dan demokratisasi pedesaan pada umumnya. Pengangkatan menteri DAR yang pro kaum tani dan pro reformasi kelihatannya merupakan isu penting dalam masalah ini, tapi apakah UNORKA dan kelompok-kelompok pro reformasi lainnya sanggup mengerahkan segala daya upaya untuk mewujudkan isu ini, jawabannya masih belum jelas. Sementara, UNORKA dan para sekutunya memiliki sejumlah dilema tambahan yang harus dihadapi dan dipecahkan jika mereka tetap ingin menjadi aktor yang relevan dan bertahan dalam proses demokratisasi mendatang.
Pertama, sampai pada batas tertentu, UNORKA telah sanggup mewakili kepentingan berbagai kelas sosial yang tak bertanah dan hampir tak bertanah dan kelompok-kelompok di pedesaan, seperti petani penyakap, pekerja perkebunan, pekerja perkebunan musiman, dan semi proletar pedesaan tak bertanah lainnya. Tetapi, kajian lebih dalam tentang konstituen UNORKA mengungkapkan adanya kesenjangan-kesenjangan strategis dan berlarut-larut, khususnya berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat adat, petani perempuan, dan nelayan. Basis komposisi UNORKA sekarang adalah kaum tani tak bertanah dan (semi) proletariat pedesaan. Memang sangatlah penting bagi gerakan land reform untuk tegak berdiri di atas kekuatan kolektif dari dua kelompok sosial tersebut. Tetapi jika land reform diinterpretasikan dalam sebuah konteks yang lebih luas, maka UNORKA sesungguhnya belum mampu mewakili kelompok-kelompok pedesaan lain yang juga punya klaim hak tanah yang sah.
Kedua, UNORKA telah muncul sebagai aktor penting di front land reform karena sebagian besar konstituennya adalah strata termiskin dari kaum tani, yakni, yang tidak bertanah, dan karena fokus khususnya pada perjuangan habis-habisan secara politik untuk redistribusi tanah. Jika ini adalah ciri paling penting dari UNORKA, maka ini jugalah yang menjadi kelemahan terpenting UNORKA. Sejauh ini, perjuangan-perjuangan UNORKA terlalu terpusat pada tanah. Karenanya, UNORKA beresiko kehilangan peluang-peluang penting untuk mengajak atau bahkan mengambil manfaat dari melibatkan para petani di bawah subsisten dan mereka yang telah memperoleh tanah dari program land reform. Tuntutan mendesak bagi mereka yang sudah memperoleh tanah bukan lagi tanah tetapi produksi pertanian dan isu-isu yang terkait dengan peningkatan produksi. Petani di bawah subsisten dan mereka yang sudah memperoleh tanah dari program land reform adalah sumber utama tuntutan-tuntutan penting dan kritis akan peningkatan dan pertanggungjawaban dukungan negara terhadap produksi pertanian dan pemasaran hasil. Bentuk-bentuk dukungan negara itu misalnya kredit, irigasi, jalanan, dan jembatan. Kelompok-kelompok tersebut juga cenderung menentang liberalisasi perdagangan pertanian dan privatisasi berbagai pelayanan publik di pedesaan. Dan bahkan banyak (bekas) anggota UNORKA, yang sebelumnya memperoleh tanah melalui mobilisasi berkelanjutan mereka, meninggalkan organisasi atau jadi tidak aktif karena ketidakmampuan organisasi untuk secara efektif dan konsisten mewakili kepentingan dan tuntutan mereka.
Akhir kata, meskipun berkembang, pembentukan aliansi dengan sektor-sektor dan institusi-institusi lain dalam masyarakat (seperti instusi gereja, bisnis, mahasiswa, dan intelektual kelas tengah lainnya) dan juga penggalangan dukungan populer dari mereka, telah sangat memperlemah dalam kerja gerakan sosial pedesaan sejak awal 1990an. Inisiatif-inisiatif menuju penguatan dimensi aktivisme dan advokasi ini berlangsung sangat sporadis. Salah satu kelemahan utamanya dalam hal ini adalah kerja hubungan media. Sejak 1990an, perhatian media nasional khususnya pada masalah agraria hanya terbatas pada berita sensasional, seringkali kekerasan yang terjadi di konflik agraria. Seringkali media memberikan penekanan pada hasil negatif implementasi land reform. Karena kurangnya informasi yang berkelanjutan dan menyebar luas tentang banyaknya perjuangan agraria yang terjadi khususnya di area-area pedesaan terpencil, maka sekutu-sekutu potensial di pusat kota tidak akan menjadi apa-apa. Apakah dan bagaimana UNORKA dan gerakan sosial pedesaan lain akan sanggup menjahit kesenjangan ini akan sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk menegakan kembali masalah reforma agraria dalam konteks isu-isu luas dan saling terkait yang dimiliki rakyat, seperti penghapusan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pembangunan demokratisasi dan perdamaian di negeri ini.

Catatan Kaki
4. Lihat Sturtevant (1976) untuk pemberontakan Sakdal, Kerkvliet (1977) untuk pergolakan kaum tani dan pemberontakan ditahun 1930an, 1940an dan 1950an, dan Putzel (1992) dan Franco (2001a) untuk FFF, dan Franco (1994) dan Patayan (1998) untuk bagian berbeda tentang gerakan tani anti kediktatoran tahun 1970an dan 1980an.
5. Buku Putzel (1992) adalah pembahasan paling komprehensif tentang evolusi historis masalah tanah.
6. Ini adalah kesimpulan Putzel berbasis analisisnya tentang program registrasi tanah pemerintah 1988 (lihat Putzel, 1992:27)
7. Penting juga untuk disebutkan Crippen (1946), Constantino (1975), Sturtevant (1976), Kerkvliet (1977), Silva (1978), Ahmed (1980), dan Allen (1985).
8. Lihat Franco (2001a) untuk analisis politik program-program Quezon dan Magsaysay.
9. Apa yang dimulai sebagai inisiatif yang relatif menjanjikan (bandingkan dengan reformasi masa lalu), program Macapagal diganti dengan 200 amandemen oleh Kongres yang secara fundamental berlawanan dengan land reform (Putzel, 1992:116).
10. Lihat contohnya Rocamora dan Panganiban (1975), Kerkvliet (1979), Ofreneo (1980), Hawes (1987), Wurfel (1988), Lara dan Morales (1990), Riedinger (1995) dan Putzel (1992)
11. Lihat khususnya Reidinger (1995), Putzel (1992), Kerkvliet (1979), Wurfel (1983), dan Crippen (1946).
12. Ada beberapa inisiatif redistribusi tanah yang terjadi selama periode ini, tapi ini bertepatan dengan awal habisnya kontrak tanah yang ada. Hasil dari upaya redistribusi tanah awal ini beragam, seperti yang terjadi di perkebunan Hijo (lihat Franco, 1999b; Acosta dan Franco, 1999; Feranil, 2001) dan DAPCO (Borras, 1999).
13. Lihat Angeles (1999) untuk pembahasan terkait yang lebih luas tentang ‘diversifikasi strategi-strategi ekonomi’elit-elit agraria Filipina; juga merujuk pada Rivera (1994).
14. Untuk latar belakang yang luar biasa, merujuk pada berbagai karya Rosanne Rutten (1996, 2000a, 2000b) yang menyajikan analisis paling sistematis dan penting tentang gerakan pekerja perkebunan dan mobilisasi vis a vis gerakan revolusioner bawah tanah di Negro Occidental
15. Dari pertengahan 1990an dan seterusnya, kelompok-kelompok tani progresif yang berbeda-beda telah muncul di Filipina. Untuk pembahasan tentang kelompok-kelompok berbeda ini, asal-usul mereka, fokus kerja, dan hubungan dengan satu sama lain, merujuk pada Borras (2004, Bab 6)
16. Rocamora (1994), Weekley (2001) dan Caouette (2004) merupakan analisis otoritatif tentang CPP dan perpecahan diawal 1990an; Rutten (2000b) menyajikan ‘pandangan dari bawah’ yang relevan dan tajam.
17. Kajian ini mengambil manfaat dari diskusi kritis tentang konsep ‘otonomi’ di Fox (1993, Bab 2).
18. Tentunya terdapat sebuah kelompok reformis dalam birokrasi DAR yang dipimpin oleh para aktivis, khususnya Gerry Bulatao. Tetapi upaya-upaya reformis mereka hanya memiliki dampak kecil karena selalu dilangkahi oleh kepemimpinan DAR lain yang umumnya konservatif, dan pemerintah nasional pada umumnya. Untuk analisis detil tentang ini, lihat Putzel (1992).
19. Juga relevan untuk diperhatikan bahwa Fidel Ramos dan isterinya tidak berasal dari keluarga-keluarga yang memiliki banyak tanah di negeri ini.
20. Ini juga membantu menjelaskan kekacauan yang hampir terjadi ketika DAR dengan mencurigakan mengeluarkan Orde Administratif No. 6 untuk memandu implementasi CARP di pertanian-pertanian komersial, yang, jika tidak segera dicabut dan digantikan oleh Orde Administratif No. 9 yang dikeluarkan DAR Morales, Orde Administratif No. 6 akan langsung menyingkirkan ribuan pekerja perkebunan yang secara tidak adil telah dipecat semasa periode sepuluh tahun penundaan. Juga merujuk pada Borras dan Franco (2005) dan de Leon dan Escobido (2004) untuk analisis kritis.
21. Danding adalah salah satu kroni Marcos yang paling penting, dan telah dituduh (secara ilegal) mengumpulkan kekayaan selama kediktatoran Marcos.
22. Ini penting karena di bawah level nasional, situasi birokrasi DAR cenderung beragam dari satu tempat ke tempat lain, dan intervensi ‘dari atas’ oleh birokrat reformis adalah yang paling krusial. Di beberapa wilayah, aktor reformis negara bercokol kuat di level wilayah, tapi kemudian runtuh di level provinsi. Di wilayah lain, kaum anti reformis terus menyapu semua level dari wilayah ‘langsung’ ke barangay. Di mana-mana, perilaku pejabat lokal DAR tergantung pada siapa pemilik tanah setempat.
23. Pada titik ini, DAREA juga memutuskan bergabung dengan seruan untuk menggulingkan Pagdanganan karena sejumlah isu-isu administratif
24. ‘Peninjauan kembali’ dalam konteks ini ditafsirkan oleh kelompok-kelonpok gerakan sosial pedesaan sebagai pembuatan keputusan yang berpihak pada kaum tani
25. ‘Obet’ adalah nama panggilan Roberto Pagdanganan
26. PEACE adalah salah satu ornop tertua dan terbesar yang mengadvokasi reforma agraria
27. Kelompok-kelompok petani lain melobi Cheli Ponce, orang dalam DAR dan yang ditunjuk untuk menggantikan Pagdanganan tetapi dalam kapasitas ‘basa-basi’ (sementara). Ia segera digantikan oleh Villa. Sebagian besar organisasi gerakan sosial pedesaan juga melobi untuk pengangkatan Gerry Bulatao, mantan reformis dalam kepemimpinan DAR (sampai 1998), untuk menduduki posisi senior di DAR.
28. Pengangkatan menteri-menteri Kabinet harus disetujui oleh komite legislatif gabungan ini. Pengangkatan Florencio ‘Butch’ Abad, advokat pro petani untuk menduduki posisi puncak DAR ditahun 1990 tidak disetujui oleh komite ini. Ia mundur setelah empat bulan menjabat posisi itu.
29. Berlokasi di Tarlac, 6400 hektar perkebunan tebu Hacienda Luisita dimiliki oleh keluarga mantan presiden Corazon Cojuangco-Aquino. Dalam sebuah transaksi yang sangat janggal, keluarga Cojuangco menggunakan Opsi Distribusi Stok (SDO) untuk secara efektif menghindari implementasi land reform redistributif di perkebunan mereka. Untuk lebih rinci tentang keberhasilan keluarga Cojuangco menggunakan SDO dalam skema anti reformasi, lihat Putzel (1992) dan Carranza (1994). Untuk memperbarui analisis tentang bagaimana SDO telah dipelihara bertahun-tahun dan apa dampaknya bagi pekerja yang menjadi penerima manfaat, lihat Carranza (2004).
30. Luis Lorenzo Jr. Seorang pengusaha pisang kelas kakap (lihat de la Rosa 2005) dan menteri Macapagal-Arroyo untuk Departemen Pertanian secara langsung terlibat dalam penghamburan dana miliaran peso. Ia mundur dari jabatan di pemerintah awal 2005.
31. KILOS-AR adalah koalisi nasional politis dan ideologis dari organisasi-organisasi tani dan ornop yang dibentuk tahun 2004 dalam konteks protes rakyat menentang inisiatif legislatif untuk secara esensial mengamandemen UU CARP dengan mengijinkan penjualan dan penyewaan tanah yang diberikan melalui program reforma agraria bahkan sebelum periode larangan sepuluh tahun yang berlaku sekarang. Upaya legislatif ini pastinya dalam kerangka luas neoliberal yang menyerahkan peran kepemimpinan pada mekanisme pasar untuk merealokasi dan menggunakan sumberdaya tanah. KILOS-AR terdiri dari bekas organisasi-organisasi tani ND dan ornop, BISIG, dan kelompok-kelompok sosial demokrat.