Selasa, 11 November 2008

Memproduksi Komunitas: MST dan Pemukiman-Pemukiman Land Reform di Brazil*)

Memproduksi Komunitas:
MST dan Pemukiman-Pemukiman Land Reform di Brazil*)

Wendi WolFord**)


Pendahuluan

Dibentuk tahun 1984, MST (Movimento Dos Trabalhadores Rurais Sem Terra atau Movement of Rural Landless Workers atau Pergerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah) saat ini merupakan ‘organisasi paling aktif di pedesaan Brazil (Navarro 2000: 37). Pada Kongres Nasional pertama gerakan ini di tahun 1985, para anggota memutuskan dua cita-cita utama. MST akan berjuang untuk sebuah reforma agraria yang mendistribusikan tanah kepada mereka yang akan menggarapnya, dan untuk pembangunan sebuah masyarakat yang adil-setara (Rocha dan Branford 2002; Fernandes 1999). Bertahun-tahun kemudian, gerakan ini telah mengorganisasi lebih dari 230.000 pendudukan tanah dan mengawasi langsung penciptaan kurang lebih 1.200 pemukiman reforma agraria. Upaya yang dilakukan gerakan ini menjadi begitu penting dalam mengusung gagasan melalui perangkat perundang-undangan menuju redistribusi tanah dan promosi pertanian petani kecil. Keanggotaan MST meningkat dari beberapa ratus orang di tahun 1984 menjadi lebih dari satu juta orang saat ini merupakan bagian dari kesuksesannya juga.

Bahkan mayoritas dari anggota-anggota ini bukan lagi ‘sem terra’ (kaum tak bertanah). Mereka adalah orang-orang yang telah memenangkan akses pemilikan tanah melalui gerakan, dan sekarang tepatnya bisa dikatakan sebagai ‘com terra’ (kaum yang bertanah). Com terra ini sangat penting untuk menjaga aktivitas gerakan karena mereka biasanya memiliki akses yang lebih baik terhadap berbagai sumberdaya dari pada sem terra dan dapat menyokong perjuangan politik dan pendudukan tanah yang sedang berlangsung. Menjaga tingkat partisipasi pada level yang cukup tinggi dan komitmen antar sesama anggota yang telah berhasil memperoleh akses terhadap tanah adalah penting bagi keberlanjutan perkembangan dan pengaruh MST. Banyak gerakan sosial mendapatkan kesulitan untuk terus menjaga keberlangsungan sebuah momentum. Mereka kerap menjadi korban dari kesuksesan mereka sendiri, khususnya ketika gerakan-gerakan sosial bertujuan untuk memenangkan sebuah tujuan yang gampang di kenali, dan nyata di depan mata, seperti tanah (cf. Zamosc 1986). Anggota-anggota MST yang sudah memenangkan tuntutan awal mereka atas tanah harus diyakinkan untuk terus aktif dalam gerakan. Jika tidak, banyak yang akan berhenti berpartisipasi.

Sebagian besar dari kemenangan MST selama tujuhbelas tahun terakhir ini dapat dihubungkan dengan kesuksesannya meyakinkan para anggota MST bahwa dlah masuk akan untuk terus bertahan di gerakan setelah mereka memenangkan tanah. Para pemimpin dan aktivis MST telah bekerja keras untuk mewujudkan, apa yang dalam bahasa Benedict Anderson (1983) disebut “komunitas yang didambakan” (imagined community), yang dibentuk melalui gagasan-gagasan, praktek-praktek dan diolah menjdi simbol-simbol, slogan-slogan serta ritual. Yang tertanam kuat dalam makna komunitas ini adalah panduan-panduan ideologi untuk menafsirkan pengalaman-pengalaman, kejadian-kejadian dan hubungan-hubungan yang berbeda (dengan yang mereka praktekkan). Dalam makalah ini, saya menggambarkan upaya MST untuk menciptakan sebuah ‘komunitas yang didambakan’. Bagi MST, para pemukim dipahami sebagai sebuah kelas dalam sebuah sistem yang didominasi oleh elit-elit tuan tanah. Saya kemudian secara singkat mengkaji pengalaman-pengalaman dari komunitas di dua pemukiman MST, satu di bagian selatan dan satu lagi di bagian utara Brazil. Kedua pemukiman ini menyajikan sebuah perbandingan yang menarik karena perbedaan sejarah pendudukan yang dimiliki oleh mayoritas anggota MST di dua tempat tersebut. Sebelum bergabung dalam gerakan, sebagian besar pemukim di selatan Brazil adalah petani kecil, sementara sebagian besar penduduk di bagian utara Brazil adalah buruh upahan di pedesaan. Penduduk di kedua tempat tersebut berjuang membentuk pemahaman mereka tentang makna komunitas — mereka berjuang di dalam dan berjuang dengan satu sama lain. Kadang pengalaman keseharian “di dalam komunitas’ tidak benar-benar komunal. Akhirnya, saya berpendapat bahwa meski MST berhasil membingkainya, rakyat berpartisipasi dalam gerakan ini dengan alasan yang sedikit berhubungan dengan penciptaan komunitas. Rakyat berpartisipasi dengan alasan yang lebih berhubungan dengan posisi efektif gerakan sebagai mediator antara penduduk dan Negara nasional Brazil.

LATAR BELAKANG SEJARAH DAN KEBANGKITAN MST

Seruan MST untuk reforma agraria bukanlah ide baru di Brazil. Pembagian tanah masih belum adil dan sudah dipertarungkan sejak bangsa Portugis mulai menempati koloni baru ini di awal tahun 1500’an. Karena kerajaan Portugis tidak mau dan tidak sanggup menjajah Brazil secara langsung, wilayah yang sudah dikenal tersebut dibagi kedalam 15 captaincies (berada dibawah pimpinan seorang kapten) di tahun 1534, dan hak-hak utama atasnya diwariskan kepada para kapten secara turun temurun (Johnson 1987). Para kapten tersebut mengatur distribusi tanah dalam wilayah-wilayah mereka, dan para koloni yang memiliki koneksi dengan para kapten dapat memperoleh bagian tanah yang luas. Bidang-bidang tanah yang lebih kecil juga disisihkan untuk penduduk miskin yang diyakinkan untuk beremigrasi ke Brazil. Tetapi keberhasilan captaincies bersandar pada orang-orang kaya yang menghasilkan tanaman komoditas ekspor di properti-properti pedesaan yang luas. Akses tanah dapat juga diperoleh melalui aksi penyerobotan (posseiro), yang juga dipraktekan oleh koloni serupa yang lebih kaya dan miskin. Namun demikian pada umumnya dua mekanisme distribusi tanah ini (patronase dan penyerobotan) berpihak pada yang kaya. Kledua kecenderungan ini terefleksi dalam pola-pola kepemilikan tanah di Brazil saat ini (Stein 1985).

Sampai tahun 1930an, ekonomi Brazil bergantung pada produksi beberapa komoditas utama. Di masa-masa awal kolonial, tebu mendominasi, tetapi menjelang tahun 1670an ketika kompetisi dari produsen Belanda di Antilles menurunkan permintaan atas gula Brazil (Schwartz 1985), komoditas-komoditas baru seperti emas, karet alam, cokelat, perusahaan susu dan kopi menjadi bertambah penting. Tebu dan kopi merupakan tanaman penting di daerah pemukiman padat Brazil yaitu wilayah Timur Laut dan Selatan/Tenggara. Kedua tanaman yang diproduksi untuk diekspor ini ditanam dalam perkebunan skala besar yang dimiliki oleh elit-elit kaya dan digarap oleh budak-budak hingga pertengahan 1800an (Dean 1976; Eisenberg 1974). Perkebunan-perkebunan yang seringkali lebih kaya dari pada perkotaan dirancang sebagai satuan-satuan terpisah, dengan pemiliknya — sang senhor do engenho — sebagai kepala komunitas, diikuti oleh kelompok pekerja trampil atau semi trampil, dan dikelilingi oleh sejumlah besar massa pekerja tidak trampil. Paternalisme hirarkis perkebunan gula dan kopi tersebut membentuk perkembangan sosial dan ekonomi di Brazil. Komunitas-komunitas serupa masih terlihat di area pedesaan Brazil saat ini.
Terlepas dari kondisi ketat yang mengharuskan masyarakat adat dan budak-budak Afrika tetap bekerja di pabrik gula, sejumlah (dalam jumlah mengejutkan) komunitas budak pelarian yang disebut quilombos didirikan di area-area terpencil sebagai komunitas pengungsi. Quilombo yang paling terkenal disebut Palmares yang sebenarnya merupakan sebuah jaringan pemukiman yang melingkupi 200 km persegi di Timur Laut.Sebuah area yang sekarang dikenal sebagai negara bagian Alagoas. Palmares telah berdiri selama hampir 100 tahun hingga pemerintah Brazil berhasil menghancurkan quilombo di tahun 1695, memenggal leher pemimpinnya Zumbi dan memenjarakan kaum perempuan dan anak-anak yang tidak terbunuh selama operasi militer (Schwartz 1992). Keberadaan Palmares, sebuah komunitas yang berlandaskan aturan-aturan yang sangat berbeda dari masyarakat Brazil, mengancam penguasa kolonial dan memprovokasi sebuah reaksi kekerasan.
Ketika Portugis menghibahkan kemerdekaan kepada Brazil di tahun 1822, anggota-anggota pemerintahan yang baru berdiri memperdebatkan isu distribusi tanah (Viotti da Costa 2000). Akses tanah merupakan masalah penting karena Brazil masih memiliki wilayah yang luas terbuka untuk pemukiman dan pendistribusian kepemilikan dilihat sebagai suatu cara yang mendorong imigrasi. Imigrasi semakin dipandang sebagai kebutuhan untuk tambahan tenaga kerja domestik ketika perbudakan dihapuskan atau harga budak dibuat menjadi sangat mahal sehingga tidak ada yang mampu membelinya (Dean 1976). Dua usulan yang paling populer untuk mengatur distribusi tanah adalah distribusi tanah berbasiskan pasar (membuat tanah tersedia untuk dijual) dan distribusi tanah berbasiskan pemerintah (membuat tanah tersedia untuk distribusi publik) (Viotti da Costa 2000). Di tahun 1850, isu tanah dipecahkan dengan sebuah undang-undang pertanahan baru yang secara teoritis mengalihkan (distribusi) tanah ke pasar, meskipun dalam prakteknya elit-elit yang kaya dapat melanjutkan praktek mengklaim tanah melalui kepemilikan (Wright 2001). Pemerintah dan pemilik perkebunan sepakat untuk mempromosikan imigrasi dengan membuat area-area kosong tersedia untuk transmigrsi, khususnya di ujung selatan negeri.
Tahun 1886, para pemilik perkebunan dari negara bagian Sao Paulo mengorganisasi Sociedade Promotora de Imigracao (Masyarakat untuk Promosi Imigrasi) dan jumlah imigran yang datang ke Brazil meningkat dari 33.000 di tahun 1886 menjadi 132.000 di tahun 1888 (Skidmore 1999: 72—3). Para migran menerima ongkos perjalanan yang disubsidi publik dan swasta. Namun kondisi yang mereka temukan di Brazil jauh dari surga yang pernah dijanjikan pada mereka. Para pemilik kebun merasakan kesulitan untuk mengkonseptualisasi kembali hubungan mereka dengan buruh sebagai sebuah kontrak upahan sukarela (Stein 1985; Viotti da Costa 2000) dan mereka bekerja untuk membuat frustrasi hasrat para penduduk akan tanah karena perkebunan hanya dapat digarap dengan sumberdaya buruh yang tetap. Jika para imigran bebas untuk menetap di mana pun, mereka tidak mungkin memilih untuk menetap di perkebunan, sehingga para pemilik perkebunan membatasi ruang gerak mereka dengan ikatan hutang dan intimidasi (Dean 1976; Stolcke 1988). Di tahun 1902, pemerintah Italia secara resmi melarang warga negaranya untuk menerima subsidi untuk perjalanan ke Brazil, dan Kedutaan Swiss di Brazil secara aktif menginvestigasi beberapa kasus penganiayaan (Lessser 1999). Keturunan dari para imigran ini, beberapa dari mereka mendapatkan tanah mereka sendiri, kemudian menjadi anggota pertama MST.
Pada awal 1900an, ekonomi Brazil mulai diberagamkan karena keuntungan produksi kopi diinvestasikan dalam industrialiasi, khususnya di sebelah tenggara negara bagian Sao Paulo (Dean 1969). Karena meningkatnya industrialisasi, para pejabat pemerintah membahas ‘masalah-masalah agraria’. Properti-properti dan perkebunan-perkebunan di pedesaan Brazil dipandang tradisional dan terbelakang (Stein 1985), dan diragukan bahwa mereka mampu memenuhi permintaan makanan murah yang meningkat dari para pekerja dan pengusaha di perkotaan. Bidang tanah yang luas dipandang sebagai sebuah penghalang modernisasi area pedesaan dan perkotaan. Menjelang tahun 1950an, seruan untuk meredistribusi tanah meningkat pesat, meskipun metodenya diperdebatkan. Dua pendapat klasik diajukan oleh Ignacio Rangel (1956) dan Ciao Prado Junior (1945, 1966). Rangel percaya bahwa industrialisasi secara alamiah mengarah pada perubahan kepemilikan tanah dan modernisasi pertanian. Sementara Prado Junior percaya bahwa sebuah reformasi sosialis terpimpin oleh negara dibutuhkan untuk mendorong produksi pertanian dan pembangunan. Selama tahun 1950an dan awal 1960an, organisator akar rumput bersama Partai Komunis Brazil (PCB), serikat buruh pedesaan dan Gereja Katolik, meningkatkan pengaruh mereka di wilayah pedesaan dan mengadvokasi sebuah reforma agraria distributif (Medeiros 1989). Di tahun 1954, PCB memasukkan reforma agraria sebagai bagian dari strateginya untuk melaksanakan sebuah revolusi borjuis demokratik. Pada tahun 1957 PCB membentuk sebuah Serikat Petani dan Pekerja Pedesaan Brazil (ULTAB) di Sao Paulo. Sepanjang tahun 1950an dan 1960an, Partai Komunis mengorganisasi serikat-serikat pekerj pedesaan di beberapa negara bagian, terutama di Rio de Janeiro, Sao Paulo dan Bahia (Maybury-Lewis 1994).
Di tahun 1955, pekerja perkebunan tebu pedesaaan di bagian timur laut negara bagian Pernambuco membentuk sebuah kelompok yang kemudian dikenal sebagai Liga Petani (Ligas Camponesas). Pekerja pedesaan, dipimpin oleh seorang pengacara yang lahir di perkebunan, membentuk kelompok sebagai protes atas keputusan pemilik perkebunan yang melanggar praktek tradisional dan menangguhkan uang untuk peti mati yang dimaksudkan untuk penguburan seorang pekerja (Pareira 1997). Liga Petani tumbuh dengan pesat dan perkembangan mereka, dikombinasikan dengan aktivitas Partai Komunis, mengobarkan kecurigaan bahwa sebuah revolusi sayap kiri sebentar lagi terjadi . Ketakutan akan revolusi di pinggiran kota semakin menjadi akibat keputusan Presiden Goulart untuk mencanangkan sebuah reforma agraria yang radikal, pengambilalihan kepemilikan tuan tanah pedesaan lebih dari 600 hektar tanpa kompensasi.
Di bulan Maret 1964, angkatan bersenjata Brazil merebut kekuasaan, memaksa Goulart pergi ke pengasingan dan memapankan kekuasaan militer. Di saat berkuasa, militer mengadopsi sebuah pendekatan guna mengatasi masalah-masalah agraria di pedesaan dengan meredistribusi tanah melalui transmigrasi dan modernisasi produksi pertanian. Militer percaya bahwa itu dapat memenuhi tuntutan atas tanah yang sebelumnya membangkitkan kerusuhan di bagian timur laut dan selatan negeri dengan memindahkan ‘orang tanpa tanah’ ke sebuah ‘tanah tanpa orang’. Rencana tersebut meliputi penempatan 200.000 keluarga di pdang rumput yang berpenduduk sangat sedikit di Barat Tengah dan tepi Amazon. Dengan cara ini, militer juga dapat mengamankan perbatasan timur laut negara melalui penguasaan yang efektif.
Sebagai bagian kedua dari proyek reforma agrarianya, pemerintahan militer menargetkan produsen-produsen skala besar untuk mensubsidi modernisasi. Pemerintah mengucurkan jutaan dolar kredit yang disubsidi ke tangan produsen swasta (Delgado 1985). Kredit pedesaan meningkat lima kali dalam arti yang sebenarnya antara tahun 1968-1978 (Godman et al. 1984: 198). Selama tahun-tahun inflasi tinggi, kredit semacam ini menyebabkan tingkat suku bunga negatif dan membiayai booming kedelai dan gandum di negara bagian selatan dan barat tengah. Teknologi pertanian semakin beralih menuju mekanisasi penanaman dan mesin perontok dan penggunaan bahan-bahan kimia. Penggunaan perlengkapan irigasi, pestisida dan pupuk, semuanya memperluas produksi sampai tingkat yang luar biasa.
Modernisasi pertanian merestrukturisasi tanah dan hubungan perburuhan. Mekanisasi produksi mengurangi kebutuhan akan pekerja. Tanpa uang untuk membeli tanah sendiri, jutaan pekerja pedesaan pergi ke wilayah perkotaan. (Graziano da Silva 1982). Para petani kaya bersaing dan kemudian menenggelamkan para petani miskin dan tradisional sehingga membuatnya kesulitan mencari nafkah. Kepemilikan tanah semakin terkonsentrasi, dengan indeks GINI distribusi tanah meningkat dari 0,731 di tahun 1960 menjadi 0,867 di tahun 1985 (Cardoso 1997). Melalui modernisasi selektif dan migrasi pekerja pedesaan ke kota, pemerintah militer dengan efektif ‘memecahkan’ masalah agraria. Produksi pertanian meningkat pesat dan produsen Brazil menjadi kompetitif di (pasar) internasional untuk beberapa jenis komoditas yang menguntungkan, termasuk kedelai, gandum, jeruk, unggas dan sapi (Muller 1989).
Selama kekuasaan militer (1964-1982), Gereja Katolik tumbuh menjadi sebuah kekuatan bagi organisasi radikal dan perubahan di belahan negeri Brazil. Di tahun 1961, Gereja Roma Katolik, yang secara resmi memutuskan untuk berfokus pada isu kepemilikan tanah di Amerika Latin, mempublikasikan sebuah serial dokumen pendidikan untuk menyampaikan pernyataan injil kepada pekerja pedesaan di Brazil, yang berbunyi ‘tanah adalah anugrah Tuhan’. Sepanjang tahun 1960an dan 1970an, keuskupan Brazil merupakan salah satu keuskupan yang paling progresif di dunia (Mainwaring 1986). Tahun 1963, Gereja Berbasis Komunitas (Communidades Eclesiais de Base – CEBs) terbentuk sebagai alat yang memungkinkan komunitas-komunitas untuk menyelenggarakan pelayanan (misa) Minggu tanpa seorang imam, dan di tahun 1972 gereja membentuk Komisi Pertanahan Pastoral (Comissao Pastoral da Terra – CPT) untuk melindungi pekerja tak bertanah di Amazon. Menjelang tahun 1975, CPT memperluas kegiatan-kegiatannya untuk kaum tani di seluruh Brazil. Menjelang tahun 1985, diperkirakan telah terdapat lebih dari 100.000 CEB di komunitas-komunitas lokal. Karena integrasi mereka ke dalam komunitas-komunitas lokal dan koneksi dengan sebuah jaringan aktivis reformis yang lebih luas, CEBs menjadi sebuah saluran yang ideal bagi organisasi akar rumput (Houtzager 1997).
Di tahun 1982, militer secara resmi mengundurkan diri dari pemerintahan. Militer melangkah ke kekuasaan (hanya untuk) ‘sementara’ saja di tahun 1964 untuk memperbaiki tatanan negara dan berujung dengan menguasai pemerintahan selama delapanbelas tahun. Terkikisnya pemerintahan otoriter secara perlahan dicirikan oleh krisis ekonomi. Negara nasional Brazil terperangkap dalam hutang dan hiper inflasi yang mengancam bahkan masyarakat menuntut keras untuk bagian kekayaan ekonomi negeri. Ketika Jose Sarney dilantik sebagai presiden tahun 1985, ia mengatakan, ‘saya mewarisi krisis politik yang paling besar dalam sejarah Brazil, utang luar negeri yang paling besar di dunia dan utang dalam negeri serta inflasi terbesar yang pernah terjadi’ (Selcher 1986: 7).
Tahun 1985 MST mengadakan Kongres Nasionalnya yang pertama. Menelusuri kembali akarnya pada quilombos dan Liga Petani, gerakan tersebut tumbuh dari beberapa sengketa tanah yang berbeda di bagian selatan Brazil sepanjang akhir 1970an dan awal 1980an (Fernandes 1999). Anggota MST berpendapat bahwa militer tidak hanya gagal dalam mengatasi masalah agraria tapi juga menciptakan masalah-masalah baru. MST menerapkan sebuah metode agresif pendudukan tanah, sementara membenarkan tindakannya dengan sebuah tuntutan kepada Konstitusi Federal, yang menyatakan bahwa ‘tanah berfungsi sosial dan harus dimanfaatkan secara produktif’. Pendudukan lahan diorganisasi oleh para aktivis.Kebanyakan mereka berasal dari Gereja Katolik dan Luteran. Para aktivis mendatangi pedesaan miskin dan wilayah perkotaan, memberitahu rakyat tentang hak-hak mereka atas tanah dan mengorganisasi pendudukan. Ketika sebuah perkemahan berhasil dibuat di tanah yang diduduki, para aktivis dan anggota baru menunggu perwakilan pemerintah atau tuan tanah (kadang orangnya sama) untuk berkunjung. Negosiasi mengenai pengambilalihan/pendudukan tanah seringkali diwarnai kekerasan dan berlarut-larut, namun MST memenangkan kunci sukses awal yang menjadi bahan bakar tumbuhnya momentum gerakan.

KOMUNITAS YANG DIDAMBAKAN MST

Sejak awal, aktivis MST telah mencita-citakan sebuah perjuangan yang lebih dari sekedar tuntutan sederhana akan tanah. Cita-cita ini telah menciptakan beberapa kesulitan bagi gerakan karena sebagian besar mereka yang bergabung, melakukannya sebagai sebuah alat untuk mencapai suatu hasil yang pasti. Meskipun para anggota memiliki anggapan yang berbeda mengenai tanah (Wolford forthcoming a), sebagian besar bergabung ke gerakan dengan harapan dimasukan ke dalam program reforma agraria pemerintah. Anggota yang berhasil biasanya mengungkapkan rasa terimakasih terhadap gerakan dan mengenang pengalaman mereka dengan kebanggaan dan bahkan kenikmatan. Tapi tanpa sebuah penjelasan yang mengharuskan mereka untuk melanjutkan perjuangan sebagai sem terra (kaum tak bertanah).Setelah mendapatkan tanah, banyak yang berhenti terlibat teratur dalam kegiatan-kegiatan gerakan atau malah keluar. MST tidak dapat membiarkan ini terjadi, karena anggota-anggota yang bertanah merupakan satu sumberdaya dukungan ideologis dan material yang berharga. Anggota yang bertanah seringkali diminta untuk menyediakan makanan bagi rakyat yang hidup di perkemahan di tanah yang diduduki. Dan mereka kerap berpartisipasi dalam pendudukan tanah yang baru sebagai sebuah cara menambahkan kekuatan jumlah dan militansi emosional (Fernandes 1999). Anggota yang bertanah juga menghadiri demonstrasi publik secara teratur. Demonstrasi publik dianggap penting untuk meningkatkan kesadaran pemerintah dan publik mengenai kondisi hidup buruh tani tak bertanah dan petani kecil yang buruk.
Pimpinan MST menangani dilema partisipasi di antara anggota-anggota yang sukses melalui penciptaan sebuah komunitas terbayang lengkap dengan norma-norma kelompok dan pengharapan yang akan mengikat seluruh anggota ke dalam pergerakan. Seperti yang dituliskan Benedict Anderson tentang nasionalisme, komunitas sem terra ini adalah komunitas yang dibayangkan karena di antara para anggota tersebut sebenarnya tidak akan pernah benar-benar bertemu satu sama lain, tak peduli berapa banyak pertemuan nasional yang mereka hadiri. Sebagai tambahan, komunitas ini dibayangkan karena kesetiaan pada panduan ideologi dan praktek MST menuntut setiap individu untuk melampaui pengalaman-pengalaman yang sebelumnya untuk membayangkan sebuah tatanan sosial, ekonomi dan politik baru yang ideal. Meminjam istilah “bingkai (frame)” dari Erving Goffman (1974), Robert Benford dan David Snow (2000; lihat juga Snow et al. 1986) ia merujuk panduan ideologis semacam ini dalam gerakan sebagai penciptaan ‘skema intepretasi’ yang menonjolkan makna peristiwa-peristiwa yang lampau, sekarang dan ke depan dan hubungan-hubungan untuk menjelaskan dan melegitimasi aktivitas gerakan. Pimpinan MST mengembangkan bingkai yang akan menutup kesenjangan antara apa yang mereka lihat sebagai ‘kondisi obyektif eksploitasi’ dengan interpretasi subyektif mengenai kondisi-kondisi tersebut sebagai eksploitasi. Karena bingkai-bingkai yang diajukan oleh MST bertentangan dengan interpretasi yang hegemonik tentang realitas, komunitas yang didambakan perlu mengubah tidak saja situasi ekonomi para penganutnya tapi juga budaya dan situasi sosial mereka.
Unsur utama dari komunitas yang didambakan MST adalah karakter pertentangan kelasnya. Gerakan tersebut berpendapat bahwa sebagai petani kecil di pedesaan Brazil, para pemukim dieksploitasi oleh sebuah sistem kapitalis yang mesin penggerak utamanya adalah pemilik tanah besar, para politisi dan perusahaan-perusahaan. Kaum sem terra tidak bertanah karena yang lainnya (kaum kapitalis, bankir, politisi, dsb) mencuri, menyalahgunakan dan merampas properti yang seharusnya menjadi milik masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam sistem yang dominan, pekerja pedesaan memiliki sedikit pilihan: ‘Pekerja pedesaan membenarkan sebuah pendirian anti kapitalis karena satu-satunya alternatif di bawah kapitalisme adalah “proletarisasi yang tidak terelakan” (Jornal Sem Terra 92: 6). Seperti yang dinyatakan dalam dokumen internal MST, mengutip Karl Marx: ‘Seluruh kemajuan dalam pertanian kapitalis adalah kemajuan dalam seni mengeksploitasi, baik (mengeksploitasi) buruh maupun tanah’. Bagi MST, partisipasi dalam MST ditunjukkan sebagai sebuah ekspresi sebuah kelas: ‘Kita tidak berjuang melawan para perampas tanah, kita berjuang melawan sebuah kelas, elit pemilik tanah’ (Stedile dan Fernandes 1999: 35). Meskipun pergerakan ini telah beralih dari kepercayaan dogmatik pada teori Marxis-Leninis, sebuah bunga rampai baru ‘Marxisme di Amerika Latin’ menyebutkan MST sebagai salah satu ‘kecenderungan baru’ yang paling penting di wilayah tersebut (Lowy 1999: 63). Mengutip pemetaan MST tentang konflik kelas di Brazil, para elit pemilik tanah mendapatkan dukungan ideologis dan praktek dari Negara Nasional Brazil. Pada Kongres nasional pertama gerakan ini di tahun 1985, 1600 delegasi yang hadir mengambil keputusan untuk berada pada posisi melawan Republik Baru (1985—9), dan selanjutnya MST menentang setiap pemerintahan dengan alasan bahwa pemerintahan tersebut mewakili ‘sebuah negara borjuis . . . terkait dengan kepentingan kelas’ (Stedile dan Fernandes 1999: 36, 51).
Sisi lain dari posisi kelas MST adalah bahwa seluruh anggota secara teori berkedudukan setara dalam gerakan, bagian dari class in itself (kelas dalam dirinya sendiri). Ini memang didasari oleh egaliterisme sosialis yang ideal dan diwujudkan dalam konsep ‘serikat’, atau persatuan. Dalam istilah seorang anggota MST: ‘e a uniao que faz a forca’ (persatuanlah yang membuat kita kuat)’. Kepemimpinan dalam gerakan tersebut benar-benar ditata sehorisontal mungkin dan seluruh pengurus, pada prinsipnya, hanya menjabat untuk sementara. Seluruh peserta dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional diseleksi bergiliran atau dipilih oleh anggota-anggota komunitas mereka. Dalam kesetaraan yang ideal ini, para anggota di seluruh negeri didorong untuk memiliki rasa kekeluargaan dan kebanggaan dalam companheiros (perkawanan) yang tak saling kenal namun terbayangkan.
Melalui dokumen dan ritual-ritual, pimpinan MST dengan hati-hati menanamkan watak kelas komunitas yang didambakan yang dimiliki gerakan ini dalam struktur-struktur dan pengalaman-pengalaman sejarah. Tradisi sejarah yang dibangkitkan MST menguak kembali 500 tahun ketidakadilan yang dilukiskan sebagai akibat langsung dari bagaimana Brazil mengalami penjajahan. MST dengan penuh kesadaran menyatukan ruang dan waktu dengan membangkitkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tempat dan periode waktu yang berbeda untuk menjelaskan keadaan terkini di Brazil yang menyeluruh. Dalam sebuah dokumen yang disiapkan untuk diskusi, seorang pemimpin MST mengatakan: “Jika reforma agraria pada awalnya dibenarkan karena diperlukan untuk menghancurkan hubungan (produksi) feodal di negeri ini . . . dalam ‘Brazil yang modern’ ia dibenarkan, bahkan, untuk alasan-alasan yang lebih penting. Bukan hanya untuk hubungan sosial feodal yang tersisa, tapi [juga] hubungan produksi yang sesungguhnya adalah perbudakan’ (Teixeira 1999: 17). Para aktivis MST menekankan keyakinan mereka bahwa pergerakan adalah satu-satunya sikap ketidakpuasan yang saat ini terjadi di wilayah pedesaan. Mereka membangkitkan kenangan akan Zumbi, pemimpin dari quilombo Palmares, dan Liga Petani untuk menggoreskan garis kepahlawanan para pendahulu. Selama sebuah pertemuan MST di Negara Bagian Santa Catarina, sepotong adegan dalam teater menampilkan para pemukim yang berpakaian sebagai aktivis gerakan-gerakan perlawanan di masa lalu, semuanya memegang bendera MST sebagai bentuk dukungan simbolis untuk kawan-kawan mereka yang kini sedang berjuang. Meneguhkan keyakinan bahwa para petani selama ini telah berjuang dan mati untuk perjuangan serupa dengan yang sedang dijalankan MST sekarang yaitu memainkan peran penting dalam komunitas terbayang sebuah gerakan. Ketika pemerintah atau media nasional meremehkan anggota-anggota MST dengan menyebut mereka bandit dan gelandangan, mereka (para anggota MST) diingatkan bahwa kawan-kawan yang lain juga menderita perlakuan buruk yang sama. Seperti yang dikatakan Benedict Anderson, adalah melalui hubungan emosional dengan kepahlawanan nenek moyang maka ‘masa lalu diperbaiki, persahabatan dibayangkan dan masa depan diimpikan’ (Anderson 1983: 154).
Tradisi kesejarahan diperluas dan mendunia sehingga mengikutsertakan pahlawan-pahlawan perlawanan yang terinspirasi oleh Marxisme di seluruh dunia. Poster-poster Vladimir Lenin dan Che Guevara selalu ada di pertemuan-pertemuan MST, seperti ketika gambar ini diambil pada sebuah pertemuan di Pernambuco tahun 1999. Bendera merah yang besar terbentang melatari gambar-gambar (diantaranya) Che Guevara, Fidel Castro, Rosa Luxemburg dan Nelson Mandela. Kata-kata yang terpampang di bendera merah: Kaum Proletar Sedunia Bersatulah!
Komunitas yang didambakan MST, seperti sebagian besar komunitas lainnya, memiliki aturan-aturan penting tentang siapa yang bisa diajak bergabung dan siapa yang tidak. Seperti dikatakan seorang perempuan tua di sebuah pemukiman MST: Kami semua bersama-sama disini –anda sudah dapat melihat betapa berbedanya seseorang yang tidak berada dalam pergerakan ini’. Keanggotaan dalam pergerakan adalah ‘elitis’ dalam pengertian bahwa secara teoritis yang diterima hanya mereka yang memenuhi kriteria yang tepat. Pemukim yang ideal adalah suatu kombinasi dari petani tradisional dan yang disebut ‘kaum laki-laki dan perempuan yang baru’. Edisi awal koran bulanan MST, O Jornal Sem Terra (Surat Kabar Kaum Tak Bertanah, atau JST), berisi diskusi tentang ‘warga negara sosial’ baru yang ingin diciptakan MST, demikian pula cara-cara yang didambakan (dengan membayang-bayangkan) mendorong penduduk agar bersedia menyesuaikan diri dengan bayangan ini. Anggota MST selalu diingatkan untuk menentang kejahatan yaitu: watak jahat yang dilawan oleh anggota MST adalah ‘buah-buah dari ideologi yang didasari oleh kepemilikan pribadi atas alat produksi’. Watak jahat ini berkisar dari ‘individualisme’ (ketika seseorang ‘meletakkan dirinya diatas kepentingan organisasi’) sampai ‘spontanitas’ dan ‘ketiadaan mobilitas’ (yang menyebabkan seseorang tidak ‘melibatkan dirinya dengan apapun’) (Jornal Sem Terra Januari 1991: 3) Para aktivis didorong untuk meningkatkan diskusi sehingga orang-orang akan tahu ‘watak-watak tersebut (sehingga bisa) untuk mengatasinya’ (Jornal Sem Terra Januari 1991: 3)
Sebagian besar pemimpin gerakan tidak sadar mempromosikan pemukim yang ‘ideal’, tetapi garis besar tentang apa yang dianggap sebagai perilaku yang dapat diterima ada di dalam panduan komunitas terbayang untuk partisipasi. Panduan-panduan ini didistribusikan oleh para aktivis gerakan yang bepergian secara teratur mengunjungi seluruh pemukiman untuk mendengar informasi dari pemukim dan menyebarkan informasi dari markas besar pergerakan di Sao Paulo. Para aktivis MST menyediakan informasi, bahan-bahan material dan ide-ide yang memiliki nilai ideologis dan praktis. Penerimaan seseorang melegitimasi dan mendorong penerimaan yang lainnya. Menjadi anggota komunitas terbayang MST mensyaratkan tingkat keterlibatan tertentu dalam aktivitas pergerakan. Keterlibatan itu bisa melalui keterlibatan langsung atau dukungan. Kesetiaan pada perilaku yang sesuai untuk keanggotaan dalam MST terus dinilai dari dalam. Setiap orang dapat saja ditendang keluar dari kelompok karena melanggar peraturan etika personal (personal conduct) (tentu karena pelanggaran yang dilakukan bersifat ekstrim). Perundang-undangan pemerintah tentang pemukiman land reform mendukung praktek evaluasi kecil. Ayat 5, bagian e dari Kontrak Pemukiman (Settlement Contract) yang ditandatangani oleh seluruh penerima manfaat reforma agraria menyatakan bahwa pemukim dapat diusir dari tanah mereka jika mereka ‘menjadi elemen yang merusak (yang berdampak negatif) pada perkembangan pekerja di wilayah proyek baik karena perilaku yang buruk atau ketidakmampuan beradaptasi dengan kehidupan komunitas’. Prinsip kesetaraan di antara sesama anggota MST dapat membuat hak seorang penduduk terhadap tanahnya hilang, demikian pula terhadap keaggotaannya dalam pergerakan. Saat terjadi sebuah demonstrasi tahun 1997, dua anggota MST dikeluarkan dari gerakan karena mereka diyakini sebagai mata-mata. Diskriminasi keanggotaan semacam ini adalah satu komponen yang penting dalam setiap komunitas, terutama sebuah komunitas gerakan sosial. Akan ada seruan kecil untuk mengorbankan segalanya untuk sebuah gerakan yang terbuka bagi siapapun untuk bergabung.
Komunitas yang didambakan MST secara simbolis direpresentasikan dalam bendera gerakan yang dramatis: berwarna merah tua, bendera ini bergambarkan bangsa Brazil (dalam bentuk siluet hijau).Di pinggir bagian bawahnya terdapat representasi umum (gambar) seorang laki-laki dan perempuan. Tangan si laki-laki menjunjung tinggi sebuah kampak sebagai simbol resistensi dan perjuangan. Dalam pertemuan pertama gerakan ini, para anggota memilih simbol ini ketimbang sebuah topi jerami karena mereka ingin mengungkapkan komitmen gerakan demi bangsa Brazil yang lebih baik dan progresif (Rocha dan Branford 2002). Motif bendera ini juga dicetak di T-shirt, topi baseball dan poster yang dapat dilihat pada setiap demonstrasi MST dan pada setiap pemukiman.
Salah satu metode utama untuk dengan aktif menyajikan kerangka-kerangka yang mendasari komunitas MST adalah melalui apa yang disebut oleh gerakan sebagai ‘mistisisme’ (lihat Schwade 1992). Mistisisme adalah sebuah warisan Teologi Pembebasan, yang bersandar pada para pemimpin karismatik yang sanggup melibatkan kembali rakyat dalam aktivitas gereja. Para aktivis MST mengembangkan kombinasi duniawi dan idealisme ini dengan secara kreatif menggunakan lagu-lagu, teater dan nyanyian-nyanyian pendek yang mudah diingat untuk membantu membentuk gagasan-gagasan baru dan perilaku yang tidak kasar. Yang juga termasuk simbol dari perjuangan untuk tanah yang mencirikan mistisisme adalah gambaran dramatis tentang kegembiraan masa panen ketika rakyat bergotongroyong memetik padi, dan kunjungan dari para pemimpin perlawanan di masa lalu. Tahun 1998, sebuah pertemuan setingkat negara bagian di Santa Catarina dibuka dengan beberapa anak-anak yang berjalan berbaris satu-satu di antara hadirin dan membawa peralatan dan hasil kerja di lahan —sebuah kampak, segenggam kacang-kacangan, sebuah labu besar. Semuanya dibentangkan di depan siluet besar Brazil secara luas, melambangkan konstruksi sebuah bangsa yang lebih baik melalui praktek dan nilai-nilai komunitas baru MST. Pesan dominan mistisisme itu adalah kerendahan hati, kejujuran, keyakinan, ketekunan, pengorbanan, rasa terima kasih, pertanggungjawaban, dan disiplin. Menurut sebuah terbitan MST, mistisisme ‘memotong jarak antara masa sekarang dan masa depan, menolong kita untuk mengantisipasi hal-hal baik yang akan terjadi’ (Jornal Sem Terra 102: 3). Para pemimpin gerakan mendorong para aktivis untuk menggunakan mistisisme untuk lebih kuat mengikat para pemukim dengan gerakan: ‘semakin massa meleburkan diri mereka pada simbol-simbol, pemimpin dan organisasi, semakin getol berjuang, semakin getol mereka memobilisasi dan semakin getol mereka mengorganisasi diri mereka sendiri’ (Jornal Sem Terra 97: 3). Mistisisme selalu ada dalam pertemuan-pertemuan MST, majelis-majelis MST dan demonstrasi publik.

MENEGOSIASIKAN MST, KOMUNITAS DAN NEGARA
Pembahasan paling akademis tentang MST merujuk pada komunitas yang didambakan sebagai representasi dari gerakan tersebut (Hammond 1999; Petras 1997, 1998; Robles 2000). Para pemimpin MST sendiri menghubungkan kesuksesan gerakan dengan pembentukan sebuah komunitas imejiner yang sarat dengan makna sejarah pengalaman dan harapan-harapan yang baru para pemukim. Tapi para anggota MST yang bergabung ke dalam gerakan berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, dan mereka membawa serta beragam pengalaman komunitas. Selama penelitian lapangan yang dilakukan pada tahun 1998-9 dan 2001, saya menemukan gagasan-gagasan yang sangat berbeda yang membentuk hubungan komunitas dalam pemukiman di wilayah perkebunan tebu sebelah timur laut Brazil dan wilayah pertanian keluarga kecil di sebelah selatan Brazil (Gambar 1; Wolford forthcoming a). Anggota dari kedua kelompok tersebut membentuk komunitas terbayang MST dengan cara yang merefleksikan pemahaman khusus mereka tentang komunitas.
Kesejarahan komunitas yang digambarkan oleh seorang pekerja pedesaan pada sebuah pemukiman di Pernambuco yang dinamakan Flora, digolong-golongkan secara hirarki sesuai dengan garis pekerjaan, dari pemilik perkebunan yang berada di atas sampai buruh kontrak harian ilegal yang berada di bawah (Sigaud 1979). Anggota komunitas perkebunan hidup berdekatan secara fisik. Namun demikian hubungan antara kelompok-kelompok yang menyandang pekerjaan berbeda ditandai dengan jarak sosial. Para pekerja pedesaan jarang sekali bertemu secara sosial sebagai sebuah komunitas. Seperti yang dikatakan seorang bapak tua yang sudah bekerja di perkebunan yang berbeda di wilayah itu sejak 1961, “pada saat itu tidak ada pertemuan-pertemuan buruh’. Pertemuan dilakukan untuk kerja paksa.”
Kebalikannya, kesejarahan komunitas yang digambarkan oleh para petani kecil di sebuah daerah pendudukan di Santa Catarina yang dinamakan Vento diorganisasi secara horisontal karena di sana terdapat sedikit perbedaan pekerjaan di antara keluarga. Tidak seperti keluarga-keluarga di Flora, hubungan antar keluarga relatif jarang karena rumah yang berjauhan, dan interaksi seringkali terjadi pada pertandingan bola di akhir pekan atau layanan gereja. Namun demikian sesekali keluarga-keluarga tersebut dapat bekerjasama untuk pekerjaan yang menguntungkan komunitas seperti memperbaiki atap bangunan sekolah atau dalam tugas yang menguntungkan keluarga-keluarga individual, seperti membawa masuk hasil panen saat telah siap atau membantu tetangga membangun pagar. Mutiroes ini, begitu kerjasama ini disebut, biasanya terjadi di antara sesama saudara meskipun banyak penduduk di Vento mengingat proyek-proyek kelompok yang melibatkan seluruh komunitas. Seperti dikatakan seorang penduduk: “kami telah bekerja di dalam sebuah kelompok sejak kami masih kecil. Semua orang akur-akur saja”. Ketika pendudukan pertama di Santa Catarina terjadi di tahun 1980, pemukim liar yang tak bertanah (belum menjadi bagian dari MST) mengirim bagian dari hasil panen pertama mereka kepada kerabat mereka pada sebuah wilayah pendudukan di negara bagian tetangga, Rio Grande do Sul.
Pengalaman-pengalaman sejarah yang berbeda dengan komunitas membentuk cara yang digunakan oleh pemukim di Flora dan Vento dalam berinteraksi dengan gambaran MST tentang komunitas. Bagi pemukim di Flora, MST dulunya adalah sebuah organisasi yang mereka ikuti dengan berat hati (Wolford forthcoming b). Sebagai pekerja perkebunan, mereka memiliki sedikit pengalaman tentang mendapatkan nafkah dari pertanian mereka sendiri. Sebagian besar mereka lebih suka menjadi buruh upahan yang menggarap tanah perkebunan. Seperti dikatakan seorang bapak tua di Flora, “Apa yang saya pikirkan [tentang mendapatkan tanah] adalah sama dengan yang dipikirkan oleh semua orang. Kami terbiasa bekerja pada majikan kami, setiap minggu kami bekerja, dan uang yang kami hasilkan digunakan untuk sedikit berbelanja di kota. Lagipula dengan adanya reforma agraria, kami tidak memiliki hak untuk melakukan itu lagi . . . Karena itulah mengapa kami berpikir [bahwa menjadi pemukim] itu sulit”. Tigabelas dari empatpuluh enam keluarga yang tinggal di Flora telah bergabung dengan MST karena mereka merasa hanya ada sedikit pilihan saat mereka tidak dapat menemukan pekerjaan pada masa kehancuran perekonomian tebu. Tigapuluh tiga keluarga yang tersisa kemudian bergabung efektif dengan gerakan saat pemerintah mengambilalih properti perkebunan tempat mereka hidup dan menawarkan mereka sebidang tanah. Pemikiran-pemikiran MST tentang komunitas tidaklah sama dengan pemikiran yang ada di kepala para pemukim. Banyak yang menganggap gerakan ini lebih sebagai sebuah organisasi buruh yang memberikan pelayanan kepada pemukim dari pada sebuah komunitas politik. Saat ditanya apakah ia telah bergabung dengan MST, seorang pemukim di Flora mengatakan, “Dengarkan, seperti ini, saya hidup di sini di dalam pemukiman, apa yang mereka katakan tentang apa yang harus saya lakukan, apa yang harus saya bayar dan apa yang harus saya lakukan terhadap organisasi, semuanya saya lakukan”.
Para pemukim di Vento berpartisipasi dalam komunitas terbayang MST dengan situasi yang begitu berbeda dari para pemukim di Flora. Hanya duapuluh tiga dari sembilan puluh enam keluarga di pemukiman yang mendapatkan tanah di pemukiman tanpa berpartisipasi dalam sebuah upaya pendudukan MST. Keluarga-keluarga yang datang ke Vento melalui MST mengatakan bahwa mereka bergabung untuk mendapatkan tanah untuk mereka sendiri atau untuk anak-anak mereka. Seorang laki-laki muda yang sedang menyiapkan pernikahan mengatakan, ‘Mendapatkan tanah adalah sesuatu yang indah’. Seorang perempuan di Vento menyatakan ia dan suaminya bergabung dalam MST karena ‘anak-anak kami mulai tumbuh besar dan mereka tidak memiliki tanah—melalu perjuangan, anak-anak kami telah menikah dan pergi setelah mendapatkan tanah sendiri’. Bagi para mantan petani kecil, banyak pesan-pesan MST yang bersesuaian dengan pengalaman-pengalaman mereka sendiri dalam komunitas. Mereka meyakini perjuangan MST untuk ‘mengubah masyarakat’ dan untuk ‘berjuang demi kesetaraan dan suatu kehidupan yang lebih baik bagi semua orang’ . Pemukim di Vento rela bekerja dalam garis panduan besar komunitas terbayang MST meskipun proyek produksi kolektif yang dibangun di pemukiman mengalami beberapa permasalahan yang parah. Para pemukim MST yang telah mencoba untuk bekerja dalam proyek kolektif dan mendapatkan bahwa mereka tidak bisa mengerjakannya, tetap berkomitmen pada gerakan. Seperti seorang perempuan yang telah bersiap untuk meninggalkan kolektif untuk menjalankan rencana individual di pemukiman mengatakan, “Kami masih berpartisipasi — kami masih berpihak pada gerakan. Gerakan masih membantu kami, mereka tidak akan membuang kami. Kami tidak meninggalkan (kolektif) karena mereka.”
Bahkan ketika para anggota MST bekerja dengan pemahaman-pemahaman tentang komunitas yang didambakan gerakan yang begitu berbeda, beberapa menyebutkan komponen-komponen kerangka ideologis sebagai alasan keberlanjutan partisipasi mereka. Para anggota masih tetap menghadiri rapat dan demonstrasi-demonstrasi besar karena MST telah berhasil menghubungkan sumberdaya material dengan sumberdaya ideologi dengan meletakkan dirinya sebagai mediator antara pemukim dan negara. Meskipun secara teoritis dan praktis MST memposisikan dirinya beroposisi dengan Negara Nasional Brazil, orang bisa mengenali kibat dari memenangkan tanah melalui gerakan, yakni meningkatnya interaksi dengan perwakilan dan sumberdaya dari negara. Hubungan pemukim dengan negara dimulai selama masa pendudukan yaitu ketika mereka mengandalkan pemerintah lokal untuk mengirimkan makanan dan bantuan kesehatan. Meskipun aksi pendudukan properti dipandang ilegal oleh media dan pemerintah, pemukim yang tinggal di perkemahan MST seringkali menerima dukungan kecil dari pemerintahan lokal. Para aktivis yang mengorganisasi pendudukan meminta para pemukim perkemahan untuk berbekal makanan yang cukup untuk beberapa hari, sampai pemerintah dan pemukim lain mulai turut menyumbang.

Begitu para anggota MST menerima tanah, pemerintah kemudian menjadi tuan tanah, kreditor, pendidik dan pengawas mereka. Secara teknis, proses reforma agraria memapankan negara sebagai seorang tuan tanah karena pemukim diberikan hak untuk menggunakan dan bukan hak kepemilikan atas tanah, meskipun mereka diharapkan untuk dapat mulai membayar tanah mereka dalam waktu sepuluh tahun. MST dan para pemukim berupaya menolak ‘terbebas’ dari pemerintah dengan cara ini. MST berpendapat bahwa pemerintah memiliki kewajiban moral untuk memberikan tanah kepada para pemukim karena para tuan tanah kaya dapat memperoleh tanah tanpa membayar. Gerakan juga mengakui bahwa terbebas dari pemerintah akan memutuskan para pemukim dari sumber dukungan penting. Negara bertindak sebagai kreditor utama bagi reforma agraria pemukim karena negara menyediakan pendanaan yang berarti untuk memulai (penggarapan) dan berinvestasi. Pendanaan awal termasuk uang untuk membangun sebuah rumah dan membeli seperangkat awal alat produksi. Dana yang disubsidi untuk investasi jangka pendek dan panjang juga disediakan tahunan, meskipun dana ini terus dipotong. Negara juga terlibat dalam pemeliharaan infrastruktur dasar di pemukiman, termasuk jalan, pendidikan dasar, pelayanan kesehatan, dsb. Dalam menyediakan barang-barang dan jasa ini, negara menempatkan dirinya sebagai pengawas utama kehidupan dan aktivitas pemukiman. Jika pemukim ingin pindah ke sebuah pemukiman yang baru, melakukan percobaan dengan praktek-praktek produksi alternatif atau membutuhkan bantuan tambahan, mereka harus melalui agen-agen negara.
Sebagian besar penduduk menyakini bahwa mereka membutuhkan akses sumberdaya pemerintah untuk dapat bertahan di tanah mereka. Pemerintah setuju, memperkirakan bahwa mayoritas dari penduduk di negeri itu akan terpaksa menyerahkan tanah mereka jika mereka tidak memiliki akses bantuan yang disediakan pemerintah. Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 1998 memperkirakan bahwa hanya pemukim di Santa Catarina yang memiliki sarana untuk membayar kembali pinjaman-pinjaman mereka yang disubsidi negara. (Buainain dan De Souza Filho 1998). Para pemukim selalu khawatir bahwa pemerintah akan memotong akses mereka terhadap sumberdaya. Seperti dikatakan oleh seorang pemukim di Santa Catarina: ‘[Negara] mulai meninggalkan saya, dan saya hanya akan mendapat sumberdaya dari PRONAF. Dan beginilah bagaimana seseorang kehilangan tanah’.
Kemampuan MST dalam menjaga partisipasi anggotanya bergantung pada keberadaan gerakan sebagai mediator utama antara sebuah negara yang jahat dan para anggota MST. Negara dikatakan jahat karena ia berpihak pada para tuan tanah besar. Para pemimpin gerakan berpendapat bahwa negara tidak memiliki hasrat untuk menyukseskan reforma agraria. Fasilitas negara yang bisa terlihat di pemukiman-pemukiman menjadikan negara sebagai target empuk gerakan. Kondisi jalan yang buruk, listrik yang tidak memadai dan sumberdaya yang kurang semuanya jelas mempertahankan kesan bahwa pemerintah harus berbuat lebih banyak lagi di pemukiman-pemukiman. Seperti yang dikatakan seorang pemukim di Vento, “sekalipun sekarang kami memiliki banyak hal, kami belum akan berhenti berjuang karena situasinya tidaklah mudah”. Setelah menjanjikan penyediaan sumberdaya secara teratur, pemerintah federal kesulitan untuk memenuhi apa yang kelihatannya menjadi kewajibannya. Kredit investasi jangka pendek, misalnya, seringkali terlambat diberikan atau diberikan pada musim (tanam)yang salah sekaligus. Ketika ini terjadi, para pemukim akan mengembalikan uang yang diterima begitu saja atau menanam bukan pada musim tanam dan menderita kerugian produksi yang besar . Para aktivis dan pemimpin MST terus mengingkatkan para pemukim bahwa negara hanya akan memenuhi janji-janjinya jika ada tekanan yang kuat dan terus menerus. Ketika sumberdaya didapatkan dari negara, gerakan menyatakan bahwa ini adalah buah dari keberhasilan organisasi dalam komunitas sem terra.
Dan penempatan gerakan diantara penduduk dan negara telah sangat berhasil. Selama wawancara dengan para pemukim di enam pemukiman di sebelah selatan negara bagian Santa Catarina dan timur laut negara bagian Pernambuco, alasan utama yang diberikan untuk mendukung MST dan terus berpartisipasi dalam aktivitas gerakan adalah posisi pengaruh MST yang vis-a-vis (berhadapan) dengan pemerintah federal dan pemerintah daerah. Seperti dikatakan seorang pemukim tua di Vento: ‘tidak ada yang berjalan tanpa gerakan. Jika tidak ada protes, tidak ada perjuangan, dan semua orang tidak terlibat bersama, maka kita tidak mendapatkan apa pun’. Sumberdaya seperti kredit dilihat sebagai buah perjuangan MST bukan pemberian negara. Seorang mantan pekerja pedesaan di Flora yang dulunya merupakan jurubicara pemukiman ketika memperjuangkan sumberdaya dari negara mengatakan: ‘Pemerintahan federal berkewajiban untuk memukimkan kami, menyediakan infrastruktur bagi pemukiman dan memberikan kami kredit. Sayangnya, kewajiban itu memakan waktu terlalu lama untuk diwujudkan—kamu hanya mendapatkan [hal-hal tersebut] melalui tekanan, kami hanya menerima sesuatu setelah pemerintah ditekan, dan tekanan ini dilakukan oleh gerakan’. Sebagian besar pemukim merasa bahwa kemenangan mereka dalam mendapatkan tanah adalah berkat kekuatan MST sebagai sebuah organisasi.Mereka tetap melihat organisasi sebagai sebuah alat yang efektif untuk meraih sumberdaya. Demonstrasi-demonstrasi gerakan sangat dianggap bertanggungjawab terutama untuk menjamin penyediaan dana kredit dari pemerintah: ‘Saat ini gerakan dihormati karena kita telah memenangkan beberapa hal yang kita butuhkan. Misalnya, kredit kami mendapatkan subsidi. Sesuatu yang bahkan tidak didapatkan oleh serikat buruh pedesaan!’ Aktivis gerakan terus mengingatkan pemukim tentang utang mereka kepada MST. Dan sebagian besar rakyat setuju karena mereka yakin bahwa ‘rakyat yang mendapatkan tanah melalui reforma agraria akan diganjar dengan kehidupan yang lebih baik’.
Lebih dari sepuluh tahun terakhir, negara telah meningkatkan aliran sumberdaya kepada para anggota MST. Dalam beberapa hal, pemerintah telah mengorganisasi program reforma agrarianya sendiri di sekitar gerakan-gerakan sosial. Seperti yang dikatakan seorang pejabat pemerintah, ‘kita selalu hanya selangkah di belakang gerakan’. Antara tahun 1993 sampai 1997, tigapuluh tujuh kepemilikan tuan tanah di Santa Catarina telah didistribusikan demi reforma agraria. Dari jumlah ini, hanya tujuh yang tidak dihasilkan dari tekanan organisasi. Di tahun 1996, serikat pekerja pedesaan paling besar di negeri itu, Konfederasi Pekerja Pertanian (CONTAG), mengidentifikasi 226 bidang tanah yang luas yang memenuhi syarat untuk diambilalih dibawah Konstitusi Federal. Pemerintahan federal menginspeksi 198 kepemilikan dan mengambilalih atau membeli 100 diantaranya. MST juga mengidentifikasi 196 bidang tanah yang luas yang memenuhi syarat untuk diambilalih dan pemerintah menindaklanjuti 181 diantaranya, mengambilalih atau membeli sejumlah 126 (Cardoso 1997, dikutip dari Deere dan Leon De Leal 1999: 33). Keberhasilan MST memenangkan pengambilalihan begitu luar biasa sehingga anggota yang baru direkrut dan pemukim liar yakin bahwa tidak mungkin mereka tidak memenangkan akses tanah (Deere dan Leon De Leal 1999; Hammond 1999). Pemerintahan Fernando Henrique Cardoso (FHC) tahun 1995-2003 menyetujui lebih banyak pembangunan pemukiman-pemukiman baru dibandingkan jumlah pemukiman yang dibangun semasa semua pemerintahan sebelumnya sejak 1970 sampai 1994 (lihat Tabel 1). Dan pemerintahan Cardoso mengalokasikan lebih dari lima kali lipat sumberdaya untuk reforma agraria di bawah INCRA, Lembaga Nasional untuk Kolonisasi dan Reforma Agraria, sejak tahun 1994 (lihat tabel 2).
Tabel 1. Proyek pemukiman yang dibuat tahun 1970-1994 dan 1995-1997

Periode Jumlah Tahun Pemukiman
1970 – 1994 25 795
1995 – 1997 3 1454

Tabel 2. Anggaran Tahunan INCRA 1994-1998.

Tahun Jumlah (dalam juta dolar R)
1994 390
1995 1279
1996 1425
1997 2020
1998 2243
Sumber: Seligmann (1998).

Namun demikian, ketika bantuan sumberdaya dari negara ditingkatkan, gerakan melancarkan serangannya terhadap pemerintah, menyatakan bahwa pemerintahan FHC adalah musuh yang lebih berbahaya dibanding pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Aktivis MST dan para pemimpinnya berkeliling ke pemukiman-pemukiman, mendiskusikan kondisi ekonomi politik nasional dengan para pemukim. Mereka berpendapat bahwa di bawah pemerintah Cardoso, pemerintahan Federal menyediakan sumberdaya dengan satu tangan dan mengambilnya kembali dengan tangan yang lain melalui kebijakan-kebijakan produksi dan perdagangan yang diskriminatif. Pembahasan-pembahasan kebijakan-kebijakan tersebut menghubungkan pemerintahan Cardoso dengan neoliberalisme, imperialisme Amerika Serikat dan apa yang disebut konsensus Washington. Dokumen MST menyatakan jika sekalipun Cardoso mengesahkan pemukiman-pemukiman dan menyediakan kredit untuk pemukim, dia berkomitmen pada sebuah sistem ekonomi dan politik yang tidak selaras dengan kedaulatan Brazil dan pertanian keluarga kecil. Tercantum dalam Manifesto MST kepada Rakyat Brazil, yang ditulis selama Kongres Nasional 2000, terdapat sebuah kecaman terhadap pemerintahan Cardoso:
“Adalah benar bahwa masyarakat kita selalu tidak adil. Seperti dalam setiap masyarakat kapitalis, kaum miskin selalu ditindas dan dihinakan. Dan kelas kaum kaya, selalu menerima lebih sepanjang waktu, selalu menindas rakyat dan tunduk pada kepentingan modal internasional. Tapi sejak tahun 1994, dengan kebijakan-kebijakan neoliberal dari pemerintahan Fernando Henrique Cardoso, masalah menjadi semakin rumit. Kebijakan ekonomi ini hanya mewakili kepentingan dari bank-bank dan perusahaan-perusahaan multinasional. Untuk semua itu, pemerintah memberikan jaminan tingkat suku bunga tinggi dan bantuan keuangan. Layak diketahui: tahun lalu pemerintah memberikan 64 persen dari anggaran belanja nasionalnya untuk membayar utang dalam dan luar negeri. Terlepas dari permasalahan sosial tersebut, pemerintahan elit Brazil dengan lancang telah mengirimkan 50 miliar dolar kepada negara-negara kaya setiap tahun. Karenanya sedikit sekali anggaran yang ditujukan bagi pendidikan, kesehatan, transportasi umum, perumahan rakyat dan penempatan kerja. Situasi lebih buruk masih terjadi di pertanian. Pemerintahan Cardoso ingin ‘memodernisasi’ daerah pedesaan dengan merangsang perkebunan berorientasi ekspor dalam skala besar;mengalihkan kontrol atas pasar pertanian ke tangan perusahaan-perusahaan multinasional; dan mengijinkan agro industri untuk mengontrol penimbunan produk-produk makanan.” (MST 2000)
Pemukim kembali diingatkan bahwa sekalipun akses terhadap tanah disahkan oleh pemerintah, namun itu semua diperoleh lewat perjuangan. Seperti yang dikatakan seorang pemukim di Flora: ‘Orang yang memberikan saya tanah adalah INCRA, begitulah katanya, tapi pertama-tama kali ya hanya MST-lah, karena jika kami menunggu INCRA, maka tidak akan pernah terwujud. Sudah dua puluh tahun kami menanti INCRA. Namun kemudian MST datang dan berkemah disini dan mereka berjuang (untuk tanah)’. Penduduk lainnya di Flora setuju, meskipun tidak begitu lantang, berkata ‘kami memiliki semua ini disini dan mereka bilang ini karena pergerakan’.
Ketika Cardoso terpilih kembali menjadi Presiden Brazil di tahun 1998, MST mengingatkan pemukim bahwa mereka harus meningkatkan upaya-upaya organisasional mereka untuk melindungi apa yang telah mereka peroleh. Seperti yang dikatakan seorang pemukim tua di Vento, ‘Pemerintahan kami menentang kami. Selama empat tahun ini (di masa pemerintahan Cardoso), kami adalah satu-satunya yang akan kalah. Orang-orang besar tidak akan menderita. Kami membutuhkan uang –dan mereka selalu menahannya. Kami selalu membuktikan bahwa kami harus berjuang untuk hidup yang bermartabat … Karena jika kami tidak berjuang, (pemerintah) akan menguasai kami’.
Dengan menghadirkan negara sebagai musuh utama para penduduk, MST mampu mengambil keuntungan dari sumberdaya negara yang dibutuhkan tanpa membiarkan setiap individu anggota atau gerakan secara keseluruhan terkooptasi melalui penaklukan negara. Pemukim MST sangat bersandar pada negara untuk akses sumberdaya, termasuk pengakuan mendasar atas hak mereka akan properti.Gerakan harus membenarkan paradoks penyandaran pada negara yang ia tentang. Gerakan telah menjalani ini dengan menempatkan dirinya sebagai mediator yang efektif antara pemukim dan negara dan menekankan bahwa keberlanjutan akses terhadap sumberdaya negara menuntut partisipasi dalam komunitas terbayang gerakan sem terra. Menggambarkan negara sebagai kekuatan yang korup, jahat dan tidak kompeten adalah cara yang efektif untuk meyakinkan pemukim bahwa komunitas ini dibutuhkan untuk jangka waktu yang panjang setelah mereka menerima tanah. Bahkan ketika para pemukim menegosiasikan komunitas terbayang gerakan, menolak ataupun menerima banyak unsur, mereka diyakinkan bahwa melanjutkan keterlibatan adalah kebutuhan bagi kelangsungan hidup ekonomi mereka.

KESIMPULAN

Meskipun jumlah anggota MST relatif kecil dibandingkan dengan total jumlah penduduk Brazil dan total luas area Brazil, gerakan ini secara luas telah diperhitungkan sebagai sebuah suara yang penting untuk demokrasi nasional yang efektif (Gohn 1997; Rossiaud dan Scherer-Warren 2000). Tuntutan untuk distribusi tanah adalah tuntutan yang biasa terdengar di Brazil, dan agenda MST telah mendapatkan banyak pendukung di daerah perkotaan dan kampus-kampus.
Konsistensi MST dan keberadaan komunitas yang didambakan terlihat jelas telah mengarahkan para pendukung dan penentang untuk menilai gerakan sesuai dengan pernyataan dari para pemimpin yang mewakili MST. Keberadaan komunitas yang didambakan MST jauh berbeda dari pergulataan dan pengalaman rakyat di lapangan. Para pemimpin dan aktivis MST telah membangun komunitas yang didambakan sebagai – menggunakan kata-istilah Benford dan Snow (2000) disebut sebagai rangkaian bingkai -- yang berguna untuk penafsiran, diagnosa dan meramalan. Bingkai-bingkai ini menjelaskan posisi tertindasnya pekerja pedesaan di dalam kapitalisme Brazil dan menyediakan saluran dan cra bagi pekerja pedesaan untuk menyuarakan situasi mereka. Hadirnya kemiskinan sebagai sebuah hasil dari eksploitasi kelas menumbuhkan perlawanan sekaligus solidaritas yang memungkinkan MST untuk menetapkan siapa yang harus dilawan dan siapa yang diajak berjuang bersama. Ikatan yang kuat dalam perlawanan masa lalu, mengkontekstualisasikan partisipasi dalam pergerakan, menginvestasi masa kini dengan sebuah warisan yang megah. Para anggota pergerakan berbagi pengalaman, dan ada sebuah pengharapan atas nilai-nilai yang sama pada anggota komunitas seperti sebuah topi merah atau T-shirt yang melambangkan terpenuhinya kriteria gerakan untuk partisipasi. Kriteria ini disebarluaskan secara reguler kepada para anggota selama berlangsungnya berbagai aktivitas gerakan yang terorganisasi.

Dan rakyat seantero Brazil telah bergabung dengan MST untuk mencari sesuatu yang lebih baik, atau paling tidak sesuatu yang berbeda, dari pada apa yang mereka miliki. Unsur-unsur komunitas yang didambakan MST mendorong rakyat terlibat dalam sebuah pergerakan, yang oleh pihak lain, seperti media nasional, biasanya dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya, radikal dan subversif. Dan bingkai-bingkai itu sendiri berhasil menyajikan kritik pedas atas ‘politik seperti biasanya’. Namun demikian di pemukiman, uji coba komunitas yang didambakan MST bukan untuk mengetahui apakah komunitas yang didambakan tersebut masuk akal atau tidak, apakah komunitas imaajiner tersebut menyajikan sebuah filosofi yang dapat diterima atau tepat, tetapi apakah komunitas yang didambakan itu berpengaruh atau tidak. Terlepas dari betapa kuatnya komitmen para pemukim pada ide-ide komunitas yang didambakan MST, sejumlh pemukim akan tetap menjadi anggota MST jika ini berarti isolasi total dari negara. Kenyataannya, sebagian besar menyatakan bahwa mereka berterimakasih kepada gerakan karena memperbaiki akses mereka ke Negara. Pemimpin MST telah bekerja secara kreatif untuk memungkinkan filosofi alternatif mereka menjadi efektif di dalam sistem ekonomi, politik dan sosial yang dominan. Semua ini melibatkan keperantaraan tanpa henti antara Negara dan pemukim yang merupakan anggota MST. ***

Catatan Kaki
1. Tentang jumlah dan informasi aktivitas terkini MST, lihat situs pergerakan di www.mst.org.br. Juga lihat sebuah situs tentang MST di Amerika Serikat oleh sebuah kelompok yang disebut Friends of MST di www.mstbrazil.org/index.html.
2. Antara tahun 1500 sampai 1850, ketika perdagangan budak akhirnya dilarang, lebih dari 3,65 juta budak dikirimkan ke Brazil, lebih banyak dibandingkan dengan wilayah lainnya di Amerika (Skidmore 1999: 17). Para sejarawan memperkirakan jumlah yang beragam, dengan demikian menjadi sulit untuk menghasilkan figur yang dapat dipercaya setelah 1830 saat perdagangan budak (meskipun bukan perbudakan) telah dilarang dan orang-orang Afrika diselundupkan secara ilegal ke dalam negeri.
3. Ketika Konfederasi Nasional Pekerja Pertanian (CONTAG) dibentuk tahun 1964, menggantikan ULTAB sebagai sebuah payung gerakan mewakili pekerja pedesaan, Partai Komunis Brazil menyodorkan beberapa pemimpinnya yang paling aktif. Meskipun kemudian di tahun itu pemerintah militer melarang Partai Komunis, CONTAG terus melanjutkan pengorganisasian pekerja pedesaan, yang difokuskan terutama pada menjamin hak-hak pekerja.
4. Lihat Forman (1975) yang memiliki sebuah diskusi menarik tentang Liga Petani.
5. Proyek transmigrasi terencana sangat gagal karena mereka tidak menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan, dan pelayanan dasar seperti kesehatan dan sanitasi tidak pernah diberikan. Militer hanya berhasil menciptakan 43 pemukiman bagi 8.000 dari 100.000 orang yang ditargetkan akan dimukimkan. Eksperimen militer dengan transmigrasi ini mengundang kecaman internasional karena kondisi yang sulit dialami oleh pemukim dan dampak kerusakan lingkungan pada wilayah Amazon (Schmink dan Wood 1984).
6. Menurut Jose de Souza Martins, “lima bulan setelah kudeta dan beberapa waktu sebelum Statuta Tanah dikirimkan ke Kongres, perwakilan Amerika Utara untuk Aliansi untuk Kemajuan (Alliance for Progress), Walt Rostow, berada di Sao Paolo berbicara dengan akrab bersama para industriawan mengenai isu pasar internal. (Ia menekankan ) bahwa para industriawan seharusnya berminat untuk mentransformasi dan memodernisasi pertanian mereka” (Martins 1981: 94)
7. Wawancara # 10, Flora, Agua Preta, PE.
8. Anggota gerakan pada pertemuan pertama tahun 1984 memutuskan bahwa mereka tidak menginginkan seorang presiden karena itu berarti satu kantor dan satu orang dengan kekuasaan yang terlalu besar. Namun demikian, enam orang pimpinan MST yang paling kelihatan telah berada di posisi kekuasaan sejak gerakan tersebut pertama kali terbentuk.
9. Seperti yang dijelaskan seorang tokoh MST dalam salah satu buku saku pendidikan: ‘companheiros! Kita harus tetap bersama-sama — DI SELURUH BRAZIL, kau tahu itu! Bersatu membuat kita Kuat’.
10. Sebuah slogan terkenal MST dibaca: ‘500 tahun ketidakadilan’.
11. Interview #19, Vento, Campos Novos, SC.
12. Daftar lengkap perbuatan-perbuatan jahat ini termasuk: Personalisme, Anarki, Puas Diri, Sektarianisme, atau ‘radikalisme’, ketidaksabaran, petualanganisme dan Mementingkan Diri Sendiri.
13. Wawancara #25, Flora, Agua Preta, PE.
14. Wawancara #38, Vento, Campos Novos, SC.
15. Untuk informasi lebih banyak tentang hal ini, lihat Fernandes (1999).
16. Wawancara #27, Flora, Agua Preta, PE.
17. Wawancara #14, Flora, Agua Preta, PE.
18. Wawancara #3, Vento, Campos Novos, PE.
19. Wawancara #21, Vento, Campos Novos, SC.
20. Wawancara #2, Vento, Campos Novos, SC. Yang berbicara adalah seorang laki-laki muda di pemukiman.
21. Wawancara #12, Vento, Campos Novos, SC. Yang berbicara adalah seorang perempuan tua di pemukiman.
22. Wawancara #4, Vento Campos Novos, SC
23. Sampai tahun 2001, setiap pemukim berhak mendapatkan hampir 20.000 $R ketika mereka menerima tanah melalui INCRA (Lembaga Nasional untuk Kolonisasi dan Reformasi Agraria). Uang ini termasuk jumlah awal 340 $R, untuk dibelanjakan makanan darurat yang dibutuhkan oleh banyak keluarga ketika mereka tiba di pemukiman. Dana darurat ini diikuti dengan sebuah bantuan 740 $R untuk mulai menyediakan semacam sebuah pacul, gerobak tangan dan benih, dan begitu pembatas antara tanah garapan mendapatkan dokumen legal, setiap pemukim menerima 2000 $R untuk membangun sebuah rumah. Sisa dari 20.000 $R terdiri dari dana investasi jangka panjang dari Program untuk Kredit Reforma Agraria (PROCERA), yang dibuat tahun 1985. Sejak 2001, penduduk terintegrasi ke dalam PRONAF (Program untuk Petani Kecil), ketika mereka diperlakukan sebagai petani kecil (daripada sebagai pemukim) dan memenuhi syarat untuk menerima pendanaan.
24. Wawancara #2, Vento, Compos Novos, SC.
25. Wawancara #42, Vento, Campos Novos, SC.

26. Dimulai dengan sebuah kemerosotan ekonomi tahun 1999, pemerintah federal mulai menunda pengucuran dana untuk reforma agraria secara lebih teratur. Terdapat kemerosotan besar dalam pembentukan pemukiman dan jumlah dana yang dikucurkan sepanjang tahun 1999.
27. Wawancara #10, Vento, Campos Novos, SC.
28. Wawancara #3, Flora, Agua Preta, PE.
29. Wawancara #2, Vento, Campos Novos, SC.
30. Wawancara #36, Vento, Campos Novos, SC.
31. wawancara dengan Dr Alacir Pereira Batista, Pejabat INCRA, Florianopolis, SC. 24 Maret 1999.
32. Data dari kantor INCRA wilayah Santa Catarina. Dikuatkan oleh sebuah wawancara dengan divisi pemukiman kantor regional INCRA di Santa Catarina, 26 Maret 1999. INCRA memperkirakan di Santa Catarina kira-kira 60 persen dari seluruh pengambilalihan adalah hasil dari tekanan.
33. Wawancara #8, Flora, Agua Preta, PE.
34. Wawancara #13, Flora, Agua Preta, PE.
35. Wawancara #1, Vento, Campos Novos, Sc.

0 komentar: