Kamis, 28 Juni 2012

MASYARAKAT ADAT SUDAH MELAKUKAN PENYELAMATAN HUTAN

I. BELAJAR DARI ORANG IBAN DALAM MENYELAMATKAN HUTAN
Pada zaman orang iban masih nomaden, untuk mempertahankan dan melangsungkan kehidupannya harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain salah satu tempat yang kemudian menjadi wilayah kehidupannya berada di daerah aliran sungai embaloh. Pada masa itu daerah aliran sungai embaloh sudah ada yang mendiami yakni orang embaloh. Dari beberapa catatan yang kami temukan maupun dari informasi yang disampaikan oleh masyarakat saat kami melakukan wawancara dan diperkuat dengan peninggalan benda-benda pusaka maupun kuburan tua di wilayah tersebut. Menetapnya orang iban di daerah embalaoh setelah menjalankan kerjasama untuk mengahalau komunitas lain dalam perebutan wilayah kelolanya. Hal ini bisa dilihat dilihat dari perkampungan orang-orang Iban berada dipinggiran orang-orang embaloh. Kampung Klawik merupakan salah satu wilayah domisilinya komunitas orang iban. Kebijakan grouping desa melalui undang-undang no. 5 tahun 1979 tentang pemerintah desa memkasa orang iban kampung klawik untuk bergabung kedalam desa mensiu kecamatan embaloh hulu kabupaten kapuas hulu. Menuju ke kampung klawik bisa ditempuh dari putusibau melalui jalan lintas utara yang menghubungkan negara indonesia dengan negara malaysia dengan motor selama 4 jam. Hingga saat ini pemukiman masyarakat kampung klawik berada di rumah panjang, yakni sistem pemukiman asli masyarakat dayak. Sistem pemukiman demikian terkonsetrasi dalam satu atap rumah panjang, kemudian ada bilik-bilik yang memisahkan satu keluarga dengan keluarga yang lain serta ada ruang publik yang multiguna untuk interaksi sosial sesama anggota masyarakat maupun dengan tamu serta dapat digunakan sebagai tempat untuk pesta adat dan kegiatan sosial lainnya. Orang iban kampung klawik hidupnya terikat dalam satu wilayah kehidupan, mereka menguasai satu wilayah kelola yang sudah di akui secara turun temurun oleh komunitas-komunitas sekitarnya. Pun, mereka mengakui otonomi penguasaan terhadap komunitas lain yang berbatasan secara langsung baik satu garis sub suku iban maupun sub suku dayak lainnya seperti dengan orang taman mbaloh. Batas wilayah kelola masyarakat adat dengan masyarakat adat yang lain dibatasi dengan batas alam. Batas-batas tersebut dipahami secara virtual saja, sehingga manuver untuk pemenuhan kebutuhan sosial dan ekonomi serta pertahanan masih dapat dijalankan dengan kerjasama antar komunitas masyarakat adat baik sesama orang iban maupun dengan orang embaloh bahkan dengan suku bangsa lain secara adil. Wilayah kelola yang menjadi satu kesatuan kehidupan masyarakat adat dalam peruntukannya dibagi menurut fungsi dan peruntukannya. Walaupun wilayah kelola orang iban kampung klawik sangat luas namun untuk pemukiman dan infrastruktur kampung tidak lebih dari 2 Ha. Pemukiman orang iban kampung kelawik terkonsentrasi di rumah panjang, didalam rumah panjang kampung kelawik terdapat 21 bilik yang ditinggali oleh 55 keluarga, dengan 500-an jiwa, serta didepannya terdapat rumah-rumah kecil yang digunakan sebagai lumbung untuk menyimpan beras, menyimpan benda peninggalan leluhur dan peralatan rumah tangga, rumah genset untuk listrik dan kandang hewan piaraan. Di komplek rumah panjang kampung kelawik juga terdapat 2 perumahan yang tidak berada dalam satu rumah betang yakni untuk perumahan guru dan perumahan tenaga kesehatan desa serta bangunan balai desa. Di komplek perumahan rumah panjang kampung kelawik juga terdapat petak-petak yang dibuat untuk tanaman rumah seperti tanaman cabe, bayam, kacang-kacangan dan umbi-umbian. Selanjutnya, kawasan budidaya yakni lokasi pertanian yang dijalankan oleh orang iban kampung kelawik. Kawasan budidaya orang kampung kelawik terdekat ditempuh 30 menit dan terjauh sampai 3 jam ditempuh dengan jalan kaki melewati lembah dan bukit. Kawasan budidaya dipilih di daerah lembah-lembah sehingga tingkatan kesuburannya lebih baik. Kawasan budidaya dibagi menjadi areal perladangan dalam bahasa orang iban disebut umai (ladang) dan areal perkebunan. Penguasaan kawasan budidaya dikuasai oleh masing-masing keluarga. Sistem perladangan orang iban juga seperti suku dayak lainnya dilakukan dengan sistem gilir balik. Karena penghormatan yang tinggi terhadap alam maka dalam melakukan aktivitas perladangan orang iban kampung kelawik dilakukan secara arif dan bijaksana. Bentuk dari penghormatan yang tinggi terhadap alam setiap tahap dalam berladang didahului dengan ritual adat. Secara lebih rinci kearifan orang iban dalam berladang berdasar penuturan masyarakat tahapannya sebagai berikut; 1)Manggul Jalai, aktivitas untuk menentukan lokasi ladang yang baik dengan meminta ijin kepada kepada penguasa alam semesta melalui ritual adat. Setelah itu baik buruknya lokasi tersebut akan ada tanda yang diperoleh baik lewat mimpi, suara burung maupun tanda alam lainnya. Manggul jalai bertujuan agar lokasi yang ditanam dapat menghasilkan panen yang melimpah dan dalam menjalankan kerja tidak ada rintangan serta selalu diberi kesehatan dan kebehagian selama musim ladang. 2)Nengah Ambok, dari pertanda baik tidaknya maupun boleh tidaknya lokasi tersebut untuk berladang kemudian lokasi yang baik tanahnya dibagi-bagi untuk dikerjakan menjadi ladang. 3)Manggul Umai, kegiatan ini dilakukan untuk penggemburan tanah dan mengusir hama padi. 4)Nebas Umai, kegiatan ini dilakukan untuk menebas ladang dengan menebang pohon kayu. 5)Nebang Umai, kegiatan ini dilakukan memotang dahan-dahan kayu yang telah ditebang agar pada tahap pembakaran nantinya dapat hangus secara merata dan apinya tidak menjalar kemana-mana. 6)Nunu Umai, merupakan kegiatan membakar ladang agar api tidak menjalar maka terlebih dahulu membuat batas (ladek bahasa Iban). Jika api sampai menjalar ke lokasi lain maka yang membuat ladang tersebut akan di kenakan sanksi adat atas dasar kesepakatan bersama. 7)Nanam Laok, merupakan kegiatan yang dilakukan menanam sayuran seperti seperti ensabi (sawi), rampok (mentimun), kundur (labu putih), genuk (labu), bayam, lingkau (jagung) dan lain-lain. 8)Nugal Padi, merupakan kegiatan penanaman padi, dalam kegiatan penanam terlebih dahulu dilakukan ritual pedarak lima, yang bertujuan supaya padi yang akan ditanam kelak subur, tidak terserang hama, memperoleh hasil lebih dari tahun sebelumnya dan yang penting pula agar orang yang mengerjakan ladang terhindar dari mara bahaya seperti sakit. Serta dalam kepercayaan orang iban padi memiliki induk maka terlebih dahulu induk tersebut ditanam melalui ngelaboh pon yakni suatu upacara penanaman induk padi. 9)Basok Arang, merupakan kegiatan ritual setelah menugal selesai, semua orang yang ikut dalam kerja berkumpul dan bedarak. Kegiatan ini dilakukan untuk membuang pantang. Karena pantangan yang harus ditaati didalam menugal tidak boleh menarik rotan, tidak boleh menetak/memotong kayu disekitar ladang, sebab jika pantangan dilanggar menurut kepercayaan orang ibann ladangnya akan terserang hama. 10)Mali Umai, merupakan ritual yang dilakukan agar ladangnya tidak terserang hama, karena dengan upacara ini hama padi tidak dapat melihat padi diladang. 11)Mantun, merupakan kegiatan membersihkan gulma-gulma rumput yang mengganggu pertumbuhan padi. Kegiatan matun ini dilakukan secara bersama-sama bedurok (bergotong-royong). 12)Nunu Lilin, merupakan ritual adat yang dilakukan pada saat padi sudah mulai keluar malai (bunga padi). Kegiatan ini dilakukan dengan dibuat rancak pakai bambu yang dilapisi daun pisang dengan bahan 3 pinang, 3 sirih, 3 sedeh, tembakau, rendai, 3 tumpik, dan 1 telur dan lilin, setelah itu bahan tersebut dimasukan dalam rancak dan lilin dinyalakan dan alat tersebut digantung di tengah-tengah ladang. 13)Ngancau Penyedai/Matah Tangkai, merupakan ritual pertanda musim panen telah tiba dengan cara 3 tangkai padi yang telah masak dalam satu rumpun, kemudian disimpan di langkao (pondok ladang). Kegiatan ini dilakukan agar dalam masa panen alam semesta memberkati sehingga panen yang dilakukan pemilik ladang diberi kesehatan dan hasil dari ladangnya melimpah. 14)Ngetau Padi, menrupakan kegiatan panen padi (ngetau). Panen akan dilakukan sampai benar-benar tanaman padi ladangnya habis, disela-sela masa panen tidak boleh berhenti. Selama proses panen masih dilakukan padi yang sudah dipetik akan disimpan dalam langkao (pondok ladang). 15)Ngambek Padi Ari Langkao, merupakan aktivitas membawa padi hasil panen kerumah panjang dari tempat penyimpanan sementara di langkao. 16)Nungkok, merupakan ritual adat yang bertujuan untuk mempermudah pekerjaan tungkuk (pemisahan biji padi dengan tangkainya) serta hasil panennya tidak cepat habis sehingga dapat mencukupi kebutuhan keluarga. 17)Ngerekai, merupakan kegiatan pengeringan padi dengan dijemur diterik matahari, sehingga padi benar-benar kering sehingga kuwalitasnya baik dan tahan untuk disimpan dalam waktu yang lama. 18)Muput, merupakan kegiatan untuk memisahkan padi yang benar-benar berisi (bernas) dengan yang tidak berisi (ampas padi). Alat yang digunakan dalam muput adalah capan. Muput akan dilakukan ditempat yang terbuka, kemudian padi yang bernas akan disimpan dalam tempat penyimpanan yang dibuat dari kulit kayu enteli (tibang), setelah itu diletakan di atas dapur rumah tersendiri. 19)Besimpan/Bedarak Ketibang, merupakan kegiatan ritual yang dilakukan sebelum padi disimpan dalam lumbung (tibang). Ritual ini dilakukan agar padi yang disimpan bertahan lama, tidak cepat habis dan pemiliknya terhindar dari penyakit. Setelah ladang digunakan beberapa kali putaran kemudian ladang tersebut akan dihutankan kembali dengan tanaman karet, tengkawang, berbagai jenis kayuan dan tanaman buah-buahan. Kawasan ini juga sebagai areal budidaya yang dikuasai oleh setiap keluarga anggota masyarakat adat kampung kelawik yang hasilnya dijual untuk ditukar dengan kebutuhan yang tidak bisa dihasilkan oleh masyarakat di kampung tersebut. Kemudian, bagian terpenting wilayah kelola orang iban kampung klawik adalah kawasan hutan. Secara arif oleh masyarakat adat kawasan hutan dibagi berdasarkan kondisi fisik dan fungsinya. Pertama, kawasan yang terdapat sumber mata air, kawasan perhuluan sungai, kawasan aliran sungai, kawasan jelajah dan berkembang biaknya satwa serta kawasan berhantu. Oleh orang iban kawasan ini akan dilindungi dengan tidak boleh untuk ladang dan ditebang kayunya. Kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi ini oleh orang iban disebut Kampong Taroh. Kedua, kawasan yang terdapat tanaman yang biasa digunakan untuk obat-obatan, terdapat kayu yang menjadi sarang lebah dan juga kayu yang digunakan untuk bahan baku sampan. Pemanfaatan hasil hutan dikawasan ini dilakukan secara terbatas dan tidak boleh untuk berladang dengan pengawasan yang sangat ketat. Bagi yang melanggar ketentuan dengan melakukan penebangan yang bisa menyebabkan kerusakan hutan akan mendapatkan sanksi melalui mekanisme hukum adat. Kawasan ini oleh orang iban sebagai kawasan cadangan yang disebut dengan Kampong Galao. Ketiga, kawasan yang oleh orang iban kampung kelawik namanya disebut kampong Endor Kerja, yakni kawasan hutan bisa ditebang kayunya. Walaupun kawasan yang bisa ditebang kayunya masyarakat adat dalam memanfaatkan dilakukan secara adil dan lestari. Prakteknya bisa dilihat di kawasan tersebut terdapat tanah mali dan tanah bertuah dimana dilokasi tersebut tidak boleh ditebang kayunya. Dalam menebang kayu ukuran di bawah diameter 30 cm dilarang ditebang, karena kayu dengan ukuran tersebut akan tumbuh besar sehingga dapat menggatikan kayu yang sudah ditebang. Didalam wilayah kelola masyarakat adat juga terdapat kawasan sungai. Oleh orang iban kawasan ini sebagai lokasi untuk tangkapan ikan yang hasilnya untuk sumber protein hewani. Wilayah sungai juga sebagai sarana transportasi yang menghubungkan dengan masyarakat adat diwilayah lain.

 II. BELAJAR DARI ORANG TAMAN MBALOH DALAM MELYELAMATKAN HUTAN
 Sungai embaloh merupakan tempat pemberhentian terakhir dari migrasi yang dilakukan orang-orang yang sekarang disebut dengan orang taman embaloh. Darimana asal orang embaloh tidak ada yang dapat menjelaskan secara rinci, mereka hanya ingat cerita turun temurun bahwa mereka mengarungi sungai dari daerah hilir singgah di batang bunut (bunut hilir) kemudian sebagaian rombongan yang dipimpin oleh semagat melanjutkan perjalanan hingga daerah aliran sungai embaloh. Jika kita tarik kedalam sejarah Indonesia, pada masa itu 1.500 SM – 300 M terjadi migrasi besar-besaran orang proto-melayu (melayu tua) dari wilayah hilir ke wilayah hulu karena terdesak oleh kedatangan orang deutro-melayu (melayu muda). Kemajuan kebudayaan gelombang deutro-melayu (sudah mengenal besi), membuat orang proto-melayu yang sudah lebih dahulu tinggal menyingkir ketempat yang lebih aman. Penggunaan nama tamambaloh sendiri mencerminkan keadaan wilayah tersebut dengan kondisi tanahnya subur, ikannya banyak, alamnya luas, binatang buruannya serta burung dan margasatwa lainnya yang banyak dan juga pohon serta tumbuhan yang beraneka ragam. Dalam bahasa orang tamambaloh arti dari kata tamambaloh diambil dari suku kata “maam lalo” artinya “baik adanya”. Penggunaan nama tersebut berasal dari sejarah kedatangan mereka, yang berawal dari keberhasilan mereka dalam melakukan perladangan dan mendapatkan sumber kehidupan mereka diwilayah baru tersebut. Dari hasil tersebut kepala rombongan (semagat) melakukan perundingan untuk menentukan sikap, hasilnya bahwa daerah perhuluan Sungai Tamambaloh layak untuk dihuni dengan menyebutnya sebagai banua maam (daerah baik) karena subur. Setelah bersepakat untuk menetap di kawasan sungai tamambaloh kemudian orang-orang tersebut menjadikan kawasan tersebut sebagai wilayah kehidupan mereka. Tempat pertama yang dijadikan pemukiman oleh orang embaloh adalah ulak pauk.. Karena sistem kehidupannya saat itu masih nomaden menyesuikan dengan sumber kehidupan maka orang embaloh berpindah satu tempat ke tempat yang lain mengikuti aliran sungai embaloh hingga sampai perhuluan sungai. Pola perpindahan orang embaloh untuk mendapatkan wilayah baru yang cadangan pangan pangannya masih dilakukan secara berkelompok dengan dipimpin oleh semagat. Dilokasi tersebut kemudian masyarakat membuat ladang dan pemukiman rumah panjang. Bukti mobilitas kehidupan masyarakat taman embaloh untuk menemukan wilayah yang subur dengan cadangan pangannya masih banyak bisa ditemukan di lokasi Karob, Peang, Tungun, Dajo, Tukalan, Binalik, Banyu, Banujung, Apeng, Batu Peti, Supape, Malit, Subali, Polo, Paset, Sadap, Mato, Loben, Balimbis,Sansulit, Talas, Talie, Pinjauan, Bukung, Karaam, Talie, Nanga Sunge, Paat, Ulak Pao, Pala Pintas Timbaru dan Sangkoang Kuning sampai ke mPamari’an. Peninggalan yang menjadi bukti fisik terhadap hak milik wilayah kelola masyarakat adat orang embaloh berupa bekas bangunan pemukiman rumah panjang atau bekas kampung (sao langke). Beberapa peninggalan rumah panjang yang membuktikan keberadaan orang taman embaloh sudah hidup di daerah aliran sungai embaloh berabad-abad sebagai berikut; (1). Rumah betang Banyu keberadaannya hingga saat ini bekas rumahnya (belean sao) masih ada di daerah Bayu hulu Sungai Embaloh. Samagat yang memimpin rumah betang bayu awalnya Baki Guran, Baki Bato, Baki Doa,.(2). Rumah panjang Supape, peninggalan rumah panjang ini masih bisa kita jumpai belean sao dan kulambu Piang Samarai. Samagat yang memimpin rumah betang ini antara lain Baki Tumbungdaiyan, Baki Tangkuju, Baki Bangau, Baki Baran. Serta, penguat lain berupa hikayat Batu Mataso (Batu Matahari) yang secara biasa dituturkan oleh masyarakat taman embaloh, dan; (3). Rumah betang malit, bukti dari rumah betang ini adalah sastra barangis yang menceritakan tentang Samagat Baki Sadau (anak bungsu dari Baki Rambing) dari saudara Baki Sangun, Baki Nyalai dan Piang Samarai. Adapun suang saona (warganya) antara lain: Pelai, Awanga, Jalayan, Urom, Rambing. Disamping itu keberadaan wilayah kelola orang taman embaloh sudah di akui secara turun temurun oleh komunitas-komunitas sub suku dayak lain yang wilayah kelolanya berbatasan. Pun, komunitas orang embaloh juga mengakui otonomi penguasaan terhadap wilayah kelola sub suku dayak lainnya seperti dengan wilayah kelola orang iban. Wilayah kelola orang taman embaloh berada di daerah aliran sungai embaloh sampai ke perhuluannya (uncaknya). Batas wilayah kelola masyarakat adat dengan masyarakat adat yang lain dibatasi dengan batas alam. Batas-batas tersebut dipahami secara virtual saja, sehingga manuver untuk pemenuhan kebutuhan sosial dan ekonomi serta pertahanan masih dapat dijalankan dengan kerjasama antar komunitas masyarakat adat bahkan dengan suku bangsa lain secara adil. Batas wilayah kelola yang disepakati dengan sub suku dayak lain seperti perjanjian antara orang embaloh dengan orang iban. Secara rinci batas alam wilayah kelola orang embaloh, sebagai berikut; sebelah utara berada di wilayah hulu yang berbatasan juga sebagai batas antara Negara RI Negara Serawak Malaysia mulai dari Bukit Makop, batas alamnya dari Bukit Batik sampai pada Tinting Lubang Ribut menuju sungai Menyakan dan sungai Palin; sebelah timur mulai dari kiri kanan sungai Palin di setiap Tinting Bukit disepanjang Lauk Rugun; sebelah barat mulai di Barat Laut dari Bukit Pana’ turun ke Munggu’ Prawan terus ke munggu’ Baan sampai ke Ulu sungai Pakulingan menuju Kalang Tadung sampai di Barat Daya berbatasan batang bunut, dan; sebelah selatan Lauk Rugun ke Sungai Merundop sampai batas Pala’ Pintas dengan Sankoang Kuning menuju ke Barat Daya. Kepemimpinan semagat terus berlanjut hingga pemerintah kolonial belanda melakukan perombakan untuk menyesuikan dengan penetrasi kekuasaan kolonial kepedalaman kalimantan. Sistem ketemunggungan diperkenalkan untuk melakukan konsolidasi berdasarkan sub-sub suku orang dayak. Konsolidasi orang taman mbaloh pertama dipimpin oleh Tumenggung Ulak Paok yang menjabat antara tahun 1886 – 1904, dilanjutkan Tumenggung Bukung yang menjabat antara tahun 1904 – 1919, kemudian Tumenggung Karung Tali Ma Surat yang menjabat antara tahun 1019 – 1929, dilanjutkan Tumenggung Kassoh Ma Toon yang menjabat antara tahun 1929 – 1945, kemudian Tumenggung Y. Kayan menjabat antara tahun 1945 – 1953, dilanjutkan oleh Tumenggung Rajan MA Nyia’ menjabat antara tahun 1953 – 1975, kemudian oleh Tumenggung P. Bangkong Ma Non yang menjabat antara tahun 1975 – 1984, dan kemudian antara tahun 1984 sampai sekarang wilayah embaloh dijabat oleh Tumenggung P. Onyang ST MA Apelson. Kemudian sejak berkuasanya orde baru melalui undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintah desa wilayah kelola orang taman embaloh kampung-kapungnya dipaksa digabung menjadi desa dan wilayah kelola orang taman embaloh dijadikan kecamatan bersama dengan sebagaian wilayah kelola orang iban. Wilayah kelola masyarakat taman embaloh di pecah menjadi dua yakni kecamatan embaloh hulu dan kecamatan embaloh hilir, sedangkan penggabungan desa yang berasal dari kampung-kampung orang embaloh dan orang iban di kecamtan embaloh hulu sebagai berikut Desa Temau, Desa Pulo Manak, Desa Banua Martinus, Desa Banua Ujung, Desa Saujung Giling Manik, dan Desa Ulak Pauk. Umumnya mereka tinggal di Bantaran Sungai Embaloh dan di Desa Temau. Jelas sekali kebijakan tersebut tidak menghargai keberadaan wilayah kelola masyarakat adat, karena kebijakan tersebut memecah persatuan orang embaloh dengan wilayah kelolanya serta memecah relasi sosial antar orang embaloh. Pun dengan kekuasaan politik orang embaloh melalui kepemimpinan semagat, kemudian dilanjutkan dengan kepemimpinan Tumenggung diporak-porandakan dengan kepemimpinan camat dan kepala desa. Dualisme kepemimpinan ditengah-tengah orang embaloh ini menjadikan kepemimpinan adat sebatas formalitas (sekedar ada), karena kepemimpinan sesungguhnya (de jure) berada di tangan kecamatan dan kepala desa. Jadi wilayah kelola orang embaloh yang dikuasai saat ini berasal dari warisan secara turun-temurun dan diakui oleh komunitas masyarakat adat lain. Sehingga hubungan antara orang taman embaloh dengan wilayah kelolanya terikat dalam ikatan yang sangat kuat, ikatannya berupa perjuangan hidup berabad-abad dari generasi ke generasi sehingga masih tetap eksis hingga sekarang. Perjuangan mempertahankan hidupnya tidak sebatas melawan ganasnya alam, namun juga perjuangan didalam mempertahankan wilayah kelolanya dari komunitas lain yang saat itu masih lazim perebutan wilayah kelola dilakukan dengan peperangan. Serta ikatan ekonomi yang menjadikan orang taman embaloh tetap hidup, dimana wilayah kelola menjadi sumber penghidupan satu-satunya orang taman embaloh. Dan, dengan wilayah kelola masyarakat adat terikat secara sosial, budaya dan politik yang didasari oleh kemampuan dan pengalaman bertahun-tahun bergantung hidup terhadap wilayah kelolanya. Kondisi faktual saat ini bersama dengan berkembangnya zaman wilayah kelola orang taman mbaloh juga mengalami perubahan fisik. Wilayah kelola orang taman mbaloh saat ini dibawah kepemimpinan Tumenggung Taman Mbaloh yakni Tumenggung P. Onyang ST MA Apelson. Wilayah kelola orang taman mbaloh saat ini meliputi kawasan perkampungan, kawasan perladangan, kawasan perkebunan, kawasan hutan, kawasan sungai dan infrastruktur sosial seperti jalan (jalan negara, jalan kabupaten, jalan desa dan jalan kampung serta jalan ke ladang maupun kebun), pasar, sekolahan, balai desa, kecamatan, tempat peribadatan, kuburan dan infrastruktur sosial lainnya. Lokasi wilayah kelola orang taman mbaloh berada di sepanjang aliran sungai/anak sungai labian, sepanjang sungai/anak sungai embaloh dan sepanjang sungai/anak sungai palin didapat dari perjuangan yang sangat panjang. Bukti bahwa Tumenggung yang memimpin wilayah kelola orang embaloh ketika ada permasalahan didalam masyarakat sesama orang taman mbaloh maka penyelesai adat terakhir keputusannya ada di tangan tumenggung. Dan juga berkonflik dengan pihak lain maka yang paling berada didepan adalah Tumenggung sebagai contoh konflik antara orang taman mbaloh dengan pihak TNBK yang sekarang menguasai sebagaian wilayah kelola orang taman mbaloh penyelesai akhirnya adalah tumenggung serta ketika masyarakat adat berikrar untuk mempertahankan wilayah kelolanya dari PT. Rimba Utara yang memimpin ikrarnya Tumenggung. Pemukiman orang taman mbaloh mayoritasnya berada di rumah betang, sebagaian lagi tinggal di rumah perseorangan yang bisa ditemukan di jalan nagara penghubung antara negara indonesia dan negara malaysia serta di benua martinus yang juga sebagai ibu kota kecamatan embaloh hulu. Pemukiman rumah panjang orang embaloh antara lain ulak pau, ulak paat, nanga sungai, teliai, nanga liu, ulak batu, benua ujung, benua keram, bukung, belimbis dan penjawan. Adapun wilayah kelola yang menjadi kawasan budidaya dalam pengelolaannya dilakukan secara arif. Bentuk kearifan masyarakat adat terhadap kawasan budidaya dilakukan dalam menentukan lokasi perladangan, pengelolaan ladang hingga proses panen menunjukkan sifat arif dalam memperlakukan ladangnya. Serta, penghutanan kembali (reforestasi) lokasi ladang yang dipandang sudah tidak produktif lagi dengan tanaman yang dapat menghasilkan sehingga dapat dimanfaatkan non kayunya seperti karet, tengkawang maupun buah-buahan menunjukkan kemampuan orang taman mbaloh dalam melakukan pelestarian kawasan kelolanya. Ditambah dalam setiap aktifitas pengelolaan dan pemanfaatannya sudah pasti akan diawali dengan ritual adat dan diakhiri dengan ritual adat. Karena mereka percaya bahwa alam akan membawa kebaikan jika diperlakukan dengan baik dan akan membawa petaka jika diperlakukan dengan tidak baik, sehingga jika bagi yang mengelola memperlakukan alam tidak baik sehingga membawa kerusakan maka akan mendapat hukuman adat. Pun, dalam memanfaatkan hutan dan sungai. Kayu hutan diambil yang sudah besar digunakan untuk keperluan pemukiman, alat transportasi (sampan) dan infrastruktur sosial lainnya. Pun, kayu yang dimanfaatkan hanya jenis tertentu sesuai dengan peruntukannya. Serta di lokasi mata air, perhuluan dan bantaran sungai, tempat berkembang biaknya dan daya jelajah hidup satwa, tempat yang banyak tanaman obat-obatan dan pohon untuk sarang lebah lokasi ini tidak boleh ditebang kayunya. Dengan cara yang seperti ini memberikan kesempatan pada kayu-kayu yang masih kecil untuk tumbuh menjadi besar. Sehingga proses penghutanan kembali akan terjadi secara alami. Bagi pelanggar yang dapat merusak kesimbangan alam akan mendapatkan hukuman secara adat.

 III. BELAJAR DARI ORANG KALIS DALAM MENYELAMATKAN HUTAN 
Pada awalnya orang kalis menyebut dirinya sebagai orang Ruk, namun setelah menetap di batang kalis mereka menamakan diri dengan orang kalis. Wilayah kelola orang kalis yang hari ini menjadi kekuasaan teretorialnya merupakan tempat menetap nenek moyang mereka yang berawal dari banoa pot yang sekarang lebih dikenal dengan pulau jambu. Kemudian mereka berkembang menyebar ke wilayah lain ke Segiam atau dikenal sekarang muara sungai kalis kemudian pindah lagi ke wilayah bukit sonan. Perpindahan tersebut lebih dikarenakan sumber hidup wilayah lama sudah berkurang sehingga berpindah kewilayah baru yang cadangan hidupnya masih melimpah. Pada masa itu perpindahan dari satu tempat ke tempat lain karena pertarungan perebutan wilayah kelola dengan komunitas lain. Jadi seperti wilayah kelola masyarakat adat yang lain wilayah kelola orang kalis juga diperoleh dari hasil mereka dalam mempertahankan hidup, melawan ganasnya alam dan bertarung dengan komunitas lain. Batas-batas kawasan kelola orang kalis diambil berdasarkan sejarah perpindahan mereka dari satu lokasi kelokasi lain yang ditandai dengan batas alam. Wilayah kelola orang kalis berbatasan dengan bukit sonan dan mandai sampai ke ulu mandai dengan suku suruk. Pada awalnya orang kalis tinggal di dua rumah betang yang dipimpin oleh Siding, Dekam, Bulu, Karaka dan Nanya Doan diteruskan oleh iman ponyang dan kemudian oleh inik undan. Kepemimpinan politik saat itu dijalankan secara kolektif oleh orang-orang yang memiliki kelebihan tertentu yang berguna bagi komunitas masyarakatnya. Pimpinan mereka dinamakan semagat yang memiliki kemampuan dan kewibawaan dalam mengatur masyarakat serta bijaksana dalam menyelesaikan konflik. Kemudian dibantu 2 semagat yang memiliki keahlian khusus, yakni; Pertama, Semagat Bintang yakni keahlian dalam menghitung bintang pada malam dan subuh hari. Kemampuan ini sangat berguna untuk menentukan musim yang tepat untuk berburu, berladang dan lainnya; Kedua, Semagat kijang yakni keahlian dan kekuatan untuk mendapatkan bianatang buruan seperti kijang. Kemudian setelah kekuasaan kolonial belanda semakin intensif untuk melancarkan penetrasi politiknya dilakukan perombakan kepemimpinan kolektif. Pimpinan tertinggi didalam rumah panjang adalah tengkel. Sedangkan gabungan dari beberapa rumah panjang dipimpin oleh under. Perkembangan setelah indonesia merdeka selanjutnya under dirubah menjadi tumengung. Tumenggung memiliki kekausaan mutlak terhadap komunitas orang kalis. Kemudian ditingkat kampung/dusun dipimpin oleh Toa banua serta kepala komplek. Jabatan tumenggung pertama 1948 adalah tumenggung layang kemudian diganti oleh tumenggung medang yang menjabat antara tahun 1945 sampai dengan 1985. Kemudian dilanjutkan oleh tumenggung jati yang menjabat antara tahun 1985 sampai dengan 1988 dan antar tahun 1988 sampai sekarang dijabat oleh tumenggung jugah serta tumenggung rondi. Kemudian sejak berkuasanya orde baru melalui undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintah daerah kampun-kampung orang kalis di grouping menjadi desa. Kepemimpinan adat berikut perkembangannya masih dipertahankan, namun demikian kepemimpinan baru di desa dibuat menyesuaikan dengan undang-undang tersebut. Jadi sejak saat itu terjadi dualisme kepemimpinan ditengah-tengah orang kalis. Sebagaimana disebutkan diatas hak milik komunal orang kalis dibatasi dengan batas alam seperti bukit, sungai dan pertanda alam lainnya. Sedangkan didalam wilayah kelolanya dibagi berdasarkan peruntukan dan fungsinya. Didalam kawasan budidaya penguasaannya dilakukan oleh masing-masing keluarga baik yang didapat dari membuka ladang atau kebun baru serta merupakan warisan nenek moyang yang ditandai dengan gong, tempayan dan benda pusaka lainnya. Jika ada anggota keluarga lain yang membutuhkan lahan budidaya maka diperbolehkan untuk meminjam tanah anggota masyarakat yang lain asalkan terlebih dahulu mengajukan ijin ke pemilik awal dan pengurus adat. Kawasan budidaya orang kalis dibagi dua yakni kawasan perladang dan kawasan bawas (kebun bekas ladang). Sistem berladang yang dilakukan dengan cara perladangan gilir balik. Sistem ini dilakukan mulai dari; 1)Ngabas Tanah ( melihat lokasi lahan yang akan digarap), penentuan lokasi baik dan buruknya didasarkan pada pertanda alam. Setelah pertanda alam menunjukkan bahwa lokasi tersebut baik adanya kemudian dilanjutkan dengan upacara adat mamariang (sengkelan tanah), upacara adatnya juga dengan syarat membawa Ayam, Beras padi dan pulut. Ngabas Tanah ini dilakukan pada bulan 2 menurut kalender orang suku kalis (yang dihitung lebih cepat 2 bulan dari kalender masehi atau bulan 6 (juni) menurut kalender masehi. 2)Kemudian Nebas dan Nebang dilakukan setelah 3 hari dari ngabas tanah tersebut, lamanya proses tersebut tergantung lokasinya untuk bekas ladang membutuhkan waktu 1 sampai dengan 1½ bulan sedangkan untuk lokasi baru yang masih hutan rimba membutuhkan waktu 2 sampai dengan 3 bulan. Nebas dan nebang ini dilakukan pada bulan 6 kalender orang kalis dan bulan 8 (agustus) kalender masehi. 3)Ngerangkai Reba’( mengeringkan lahan ladang), sambil menunggu masa membakar atau ngerangkai reba’ kebiasaan yang mereka lakukan, mereka menyiapkan alat seperti palau’an dan saraung (alat untuk menyimpan benih). 4)Nunu yang artinya membakar ladang, kegiatan ini dilakukan dilokasi yang sudah ditebas, cara membakarnya dengan dibuat parit-parit sehingga apinya tidak menjalar ke lokasi lain, dan jika ada api yang menjalar maka masyarakat yang melakukan mendapatkan hukuman adat. 5)Nugal (menanam benih padi) adalah masa tanam bagi suku kalis, dalam nugal ini juga ada mamariang, dimana Nugal ini dilakukan pada bulan 6 kalender orang suku kalis atau bulan 8 [ Agustus] kalender masehi. Mamariang untuk ladang dalam masa nugal ini ada 2 jenis yaitu mamariang manimbao (buang hama padi) dan mamariang manajaitase (manggil Ine’ andan). 6)Mabau (merumput), yakni kegiatan masyarakat dalam merawat padi ladang dengan membuang gulma-gulma rumput yang dapat menggangu pertumbuhan tanaman padinya. 7)Ngetam, merupakan masa panen orang kalis, didalam ngetam dilakukan upacara adat mamasak banyiak. Masa ngetam ini dilakukan pada bulan 12 kalender orang suku kalis atau bulan 2 masehi (ferbruari), masa ngetam dilakukan sampai 2 bulan. 8)Gawa’ (gawai), pesta adat setelah panen atau syukuran panen, dalam pesta upacara adat ini ada acara nyengkelan tanah. Selain berladang orang kalis sudah mengenal pertanian sawah, yang dilakukan diwilayah yang dekat dengan sumber air. Serta, lokasi bekas ladang yang sudah beberapa kali ditanami padi akan dihutankan kembali dengan tanaman kebun seperti karet dan tengkawang serta tanaman buah-buahan. Berdasarkan penuturan masyarakat tanaman karet dikenal oleh orang kalis pada tahun 1948, sedangkan tanaman tengkawang dan buah-buahan merupakan jenis tanaman endemik kalimantan. Tanaman karet disadap untuk diambil getahnya, sedangkan tengkawang diambil buahnya jaman dulu tengkawang bisa digunakan untuk membuat minyak goreng. Hasil dari tanaman komuditas tersebut dijual dipasar diganti dengan uang cash digunakan untuk keperluan yang tidak bisa dihasilkan oleh orang kalis. Dalam wilayah kelola orang kalis tidak semua lokasi dapat dikerjakan, lokasi tersebut untuk perlindungan seperti Tanah Pari’an (tanah berhantu). Lokasi tersebut hanya boleh dimanfaatkan non kayunya untuk tempat berburu, mancing, mengambil rotan dengan syarat harus memberi sesajian terlebih dahulu. Pengelolaan wilayah dalam DAS tidak perbolehkan menyedot emas apabila melanggar akan di hukum adat sesuai dengan adat yang berlaku. Dan kalau Nuba (mercun) harus ijin seluruh kampung, dan biasanya nuba ini dilakukan untuk “menyauti batang sunge” (yang artinya upacara adat untuk membalas dendam apabila salah satu seorang warga mati lemas) yang menurut orang kampung dikarenakan Hantu Air, sebelum upacara “menyauti batang sunge” yang boleh menombak/mengambil ikan pertama adalah ketua adat di kampung tersebut. Adapun syarat melakukan upacara ini yaitu Babi, Beras, Pulut, Tuak, Ayam, Kue-kue, dan perlengkapan lainnya.

0 komentar: