Selasa, 11 November 2008

Desa Kaum Miskin Melawan Negara: Geografi Protes Assembly of the Poor (AoP) Melawan Negara*)

Desa Kaum Miskin Melawan Negara:
Geografi Protes Assembly of the Poor (AoP) Melawan Negara*)


Bruce Missingham**)

Pengantar
Tanggal 25 Januari 1997, Assembly of the Poor (AoP) atau samatcha khon jon –sebuah koalisi nasional penduduk desa, kaum miskin kota, dan ornop—menggelar aksi demo massal di jalanan depan Gedung Pemerintahan, Bangkok, Thailand. Lebih dari 25.000 orang berkumpul dalam pawai, dan terus menolak pindah sampai pemerintah menanggapi petisi mereka. Para demonstran itu mengubah jalanan yang lengang menjadi sebuah desa yang hiruk pikuk tepat di jantung kota. Aksi protes itu menjadi peristiwa yang luar biasa dalam sejarah aksi politik kaum miskin kota dan pedesaan Thailand. Demontrasi ini berlangsung lebih dari tiga bulan, membuatnya menjadi aksi terlama dan terpopuler dari semua demonstrasi yang pernah terjadi di Bangkok. Aksi ini menjadi liputan harian berbagai media, kebanyakan memberikan respon positif dan mendukung. Orang-orang awam dari komunitas pinggiran bicara di TV nasional, dikutip dalam koran harian, dan ber-negosiasi langsung dengan para birokrat senior pemerintah, menteri-menteri, dan PM Chavalit Yongchaiyudh. Waktu itu, aksi mereka sepertinya menuai sukses. Ketika akhirnya para pemrotes bubar dan pulang ke rumah masing-masing pada 2 Mei 1997, mereka telah memperoleh keme¬nangan berupa komitmen pemerintah untuk mengatasi semua tuntutan mereka. Sebelum peme¬rintahan Chavalit jatuh November 1997, AoP telah berhasil meme¬nangkan konsesi atau kom¬pensasi atas 13 isu dari 122 butir petisi yang diajukan. Ini termasuk 652 juta bath kompensasi yang belum pernah diberikan sebelumnya kepada masyarakat yang dirugikan akibat proyek-proyek pembangunan berskala besar (Praphat, 1998, hal.207).
Naskah ini memakai riset etnografis untuk menganalisa strategi peng¬gunaan ruang, kons¬truksi tempat, serta konstruksi komunitas dalam dampak simbolis dan politis aksi protes tersebut. Pertama, akan saya paparkan secara garis besar isu-isu teoritis yang ada dalam geografi protes, diikuti latar belakang singkat AoP serta protes bersejarah mereka tahun 1997. Kemudian akan saya tinjau lebih dalam sebab musabab mengapa AoP memilih tempat yang khusus ini untuk mengadakan gerakan, apa makna simbolis dan politisnya. Saya mengkaji cara mereka meng-ubah jalanan depan Gedung Pemerintahan menjadi ajang protes yang spektakuler dan sarat makna, yakni ‘Desa Kaum Miskin’. Desa Kaum Miskin ini telah menciptakan sebuah pijakan bersama yang riil sekaligus simbolik. Di situ aneka macam kelompok yang menyusun gerakan bisa bergabung bersama untuk mene-gaskan kesatuan identitas politik mereka dan meng¬ajukan petisi ke negara. Seperti halnya desa ‘sungguhan’, Desa Kaum Miskin ini juga menyediakan tempat di mana para pemrotes membangun komunitas yang tertata dan kooperatif tidak hanya demi menjaga keberlangsungan aksi protes mereka, namun juga untuk menghilangkan cap ‘ge¬rombolan’ yang diterakan pada mereka di media. Lebih jauh, Desa Kaum Miskin melambangkan sebuah komunitas yang dilanda krisis, terancam kekuatan-kekuatan pembangunan ekonomi yang ditujukan demi kemakmuran kota besar.

Geografi Protes
Dalam analisis detilnya mengenai demonstrasi AoP tahun 1997, Praphat Pintotaeng (1998) biasa memakai perspektif strategi politik tentang gerakan sosial. Pendekatan ini – yang telah menjadi pendekatan dominan terhadap protes dalam literatur gerakan sosial — menganalisis gerak¬an dalam makna konteks ekonomi-politiknya, dan melihat protes dalam makna tujuan-tujuan politik dan jenis-jenis strategi yang tersedia untuk melancarkan protes dan demi mencapai tujuan tersebut (lihat Cohen 1985; della Porta dan Diani, 1999; Marx dan McAdam, 1994). Jadi, dalam uraiannya mengenai AoP, Praphat mengeksplorasi dasar-dasar sosial dan tuntutan peserta aksi guna memahami alasan mobilisasi mereka. Praphat memandang demonstrasi ini terutama dalam kaidah instrumental strategis demi menge¬jar tujuan-tujuan politik seperti yang ditentukan oleh tuntutan AoP, lalu menelaah berbagai ‘peluang sosial’ dan ‘peluang politik’ di mana aksi protes ber-langsung. Praphat menunjukkan bahwa AoP memobilisasi demonstrasi massal ini karena para anggo¬tanya telah tersingkirkan dari jalur-jalur resmi untuk turut serta atau mempengaruhi peng¬ambilan keputusan oleh negara, semisal lewat partai politik atau saluran-saluran pengaduan resmi.
Kendati memberikan pemahaman yang berguna dalam melihat cita-cita, pilihan strategi, dan motivasi rakyat dalam memobilisasi diri, pendekatan ini cenderung mengabaikan beberapa dimensi penting yang bisa memperdalam pemahaman kita atas gerakan sosial dan dampak sosial politik¬nya. Salah satunya adalah bahwa aksi protes massal –alih-alih sekadar menjadi strategi politik instrumental belaka—kerapkali berlangsung intens dan menjadi penga¬laman yang mampu menggerakan para pesertanya. Pengalaman ini bisa mempengaruhi kesadaran politik, rasa solidaritas, dan iden¬titas mereka (lihat Turner 1995). Dilihat dari ‘dalam’, demontrasi massa merupakan saat-saat menentukan dalam sejarah dan perkembangan gerakan sosial. Dimensi lain yang terabai¬kan dalam pengamatan Praphat –dan yang hingga kini banyak diabaikan dalam literatur gerakan sosial—adalah peranan ruang dan tempat dalam membangun makna politik serta ekspresi simbolis aksi protes itu sendiri. Namun, seperti ditunjukkan oleh Pile (1997), oposisi kolektif selalu tersituasikan dan terwadahkan dalam satu ruang (situated and spatialised). Dalam hal AoP, makna simbolis dan kekuatan protes utamanya berasal dari fakta bahwa para pemrotes yang kebanyakan penduduk desa ini telah meninggal¬kan daerah dan rumah mereka untuk menduduki ruang-ruang yang biasanya bukan ‘milik’ mereka.
Sebagaimana ditulis oleh Massey (1995, hal 189), dalam “banyak perjuangan politik … isu identifikasi dan karakterisasi tempat merupakan komponen penting”. Ia berpendapat bahwa geografi –termasuk konstruksi kultural atas makna dan nilai tempat tertentu—selalu bertaut dengan sejarah dan pergulatan relasi kekuasaan sepanjang waktu. Dalam literatur gerakan sosial, cara untuk pendekatan berubahnya lokasi geografi protes ditegaskan oleh karya Charles Tilly (1978, 1986) (meskipun Tilly selalu lebih menekankan struktur sosial dan sejarah daripada geografi). Gagasan Tilly perihal ‘serangkai aksi kolektif’ (‘repertoires of collective action’) merujuk pada keseluruhan ragam bentuk-bentuk protes atau gugatan yang diakui dan dilancarkan oleh kelompok-kelompok tertentu dalam kon¬teks sejarah tertentu. Ia menganalisis bagaimana serangkai aksi kolektif petani Eropa berubah seiring peralihan sejarah dalam organisasi ekonomi-politik masyarakat Eropa abad modern. Tilly menulis,
serangkai perlawanan dari pertengahan abad 17 hingga pertengahan abad 19 memiliki cakupan parokial: ditujukan pada tokoh-tokoh lokal atau perwakilan tokoh-tokoh nasional di tingkat lokal. Ia juga sangat mengandalkan patronase—mendekatkan diri pada pemegang kekuasaan yang ada saat itu untuk mengutarakan tuntutan atau menye¬lesaikan sengketa (Tilly, 1986, hal 391-392; penekanan sesuai sumber asli).
Tilly menunjukkan bagaimana sepanjang abad 19 senarai tadi berubah menjadi kekuatan eko¬nomi-po¬litik direorganisasi dan disentralisasi secara geografis. Menurut Tilly, bentuk-bentuk baru gugatan kolektif muncul untuk merespon pergeseran geografis dalam kekuasaan politik dan modal—bentuk-bentuk yang tidak lagi ditujukan pada pemegang kekuasaan lokal dan parokial, tetapi yang kian dibutuhkan untuk membidik organ-organ pemerintahan dan negara. Dengan demikian, demonstrasi politik dan pemogokan menjadi aksi yang kian lama kian lazim. Pertama untuk me¬respon kian pentingnya politik pemilu nasional, kedua untuk merespon kapitalisme industri.
Bila pendekatan ini memusatkan perhatian pada lokasi kekuasaan simbolis dan institu¬sional, serta bagaimana hal-hal tersebut membentuk geografi dan strategi aksi protes, dalam ma¬kalah ini saya juga akan menggunakan pemikiran mutakhir yang berusaha menganalisis hubungan antara tempat, identitas, dan perlawanan kolektif (lihat misalnya, Castells, 1997; Gupta dan Ferguson, 1997; Pile, 1997). Ada dua argumen penting dalam wacana ini. Pertama, sebagai¬mana pendapat Castells (1997, hal.8), rumusan dan artikulasi identitas kolektif selalu terjadi ketika orang-orang tertindas berusaha meredefinisikan posisi mereka dalam tatanan sosial. Castells (1997, hal.10) juga menjelaskan bahwa bagi banyak orang, lokalitas mereka memberi “sumber identifikasi diri dan organisasi otonom paling langsung”. Seperti yang akan saya bahas lebih lanjut, inilah tepatnya permasalahan anggota AoP. Di situ penegasan identitas kolektif berbasis lokal menjadi ajang ber-kumpul dan strategi resistensi terhadap proyek-proyek dan proses ‘pembangunan nasional’.
Selama aksi protes di kota, AoP bekerja keras membangun ‘pijakan bersama’ yang riil dan simbolis untuk mengartikulasikan dan melegitimasi identitas-identitas yang didominasi warna lokal dan pedesaan itu. Pijakan bersama yang tercipta di lokasi protes telah menghadirkan desa udik –baik secara harafiah maupun simbolis—ke jantung kota, dan mempermasalahkan hubungan pelik antara kedua ruang tersebut. Hal ini membawa saya ke argumen kedua. Ketika pihak ber¬wenang dan penguasa mencoba untuk ‘meletakkan orang-orang ini pada tempatnya’ dan me¬rumuskan ruang yang sah untuk oposisi dan protes, maka makna dan identitas yang terikat pada suatu tempat bukanlah harga mati, tetapi terus menerus direkonstruksi dan dinegosiasikan kem¬bali (Pile, 1997). Oposisi dan protes kolektif mengubah makna ruang dan tempat yang me¬reka duduki, dan dalam prosesnya bisa jadi merumuskan sebuah identitas baru .
Dalam kisah mengenai aksi AoP di bawah ini, saya berusaha menunjuk¬kan bagaimana perspektif mengenai geografi protes seperti ini dapat menjelaskan makna dan dampak politis demonstrasi tersebut. AoP menentang pusat kekuasaan di Gedung Pemerintahan yang sa¬ngat praktis sekaligus simbolis, dan terbukti efektif untuk merecoki beberapa kegiatan keseharian pemerintah pada momen-momen strategis selama negosiasi. Tetapi AoP juga men¬coba meng¬hubungkan gerakannya dengan sejarah mutakhir demonstrasi rakyat melawan peme¬rintahan militer. Hal ini dilakukan dengan mengunjungi tempat bersejarah simbolis yang terkait dengan kejadian tersebut. Terlebih lagi, aksi ini dengan serta merta melibatkan AoP dalam perjuangan untuk menegaskan dan melegitimasi identitas politiknya. Aspek penting ini terbukti menjadi cara bagi AoP untuk memberikan makna baru pada jalanan di luar Gedung Pemerintahan. Mereka cipta¬kan tempat simbolik yang mampu berperan sebagai landasan pe¬mersatu bersama bagi iden-titas kolektif sekaligus untuk menegaskan tuntutan-tuntutan gerakan terhadap negara.
Tradisi serta sejarah aksi protes rakyat melawan ketidakadilan sungguh marak di Thailand, terutama melawan kediktatoran militer. Tetapi versi populer sejarah tersebut selalu menilai tinggi aksi kelas menengah kota, sebagaimana terlihat dalam penilaian dan penekanan yang diberikan pada protes massa 14 Oktober 1973 dan arak-arakan Mei Hitam 1992. Dua demonstrasi massal tersebut dikenal sebagai titik balik progresif dalam sejarah modern Thailand, dan umumnya dipandang sebagai gerakan yang didominasi kelas menengah. Apalagi, banyak kelas menengah Thailand menyimpan prasangka umum bahwa protes-protes penduduk desa itu ditunggangi dan dibayar oleh ‘pihak ketiga’ atau kekuatan sosial balik layar. Penduduk desa dianggap tidak ter¬didik dan bodoh (yang merendahkan pentingnya suara mereka) dan dituduh telah dimanipu¬lasi dan dimobilisasi oleh pihak lain.
Aksi turun ke jalan Oktober 1973 yang menjungkal kediktatoran militer Thanom-Praphat dipimpin oleh gerakan mahasiswa yang telah berkembang kapasitas organisasional dan rasa percaya dirinya sejak 1969 (Mallet, 1978; Morell dan Chai-anan, 1981, hal.141-147). Kisah mengenai demonstrasi Mei 1992 melawan PM Jenderal Suchinda Kraprayoon juga menekankan kepemimpinan dan partisi-pasi kuat kelas menengah—dalam hal ini aktivis ornop, karyawan swasta, dan kaum profesional (Hewison, 1997; Pasuk dan Baker, 1995, hal.358). Atas berbagai alasan, peristiwa ini memberi latar belakang penting pada aksi AoP. Banyak aktivis ornop yang menjadi penasehat atau tergabung dalam AoP ikut ambil bagian sebagai maha¬siswa dalam aksi Oktober 1973 dan mengalami represi brutal dari sayap kanan pada bulan Oktober 1976. Nyaris semuanya turut dalam arak-arakan Mei 1992.
Dari pengalaman-pengalam¬an ini, banyak yang kemudian meyakini bahwa aksi demonstrasi rakyat dalam skala besar dapat mem¬bawa perubahan sosial secara demokratis, menempa bara kenangan penindasan keji di masa lampau. Lebih jauh lagi, sejarah represi kekerasan terhadap demonstrasi tahun 1973, 1976, dan Mei 1992 kelihatannya mendasari besarnya tekanan dari para pe¬mimpin dan aktivis AoP agar aksi berjalan teratur dan tanpa kekerasan. Meskipun penggunaan kekuatan bersenjata untuk menindas gejolak politik telah kehilangan legitimasinya sejak 1992, para pemimpin AoP tidak mau ambil risiko. Memang, Praphat berargumen bahwa penggunaan aksi tanpa kekerasan dan simbolis selama protes
memastikan bahwa negara tidak bisa memakai kekerasan untuk menindak protes sehingga mereka bisa berkumpul dalam jangka waktu yang demikian lama (Praphat, 1997, hal 35).
Akhirnya, kenangan historis akan protes demokratis rakyat ini terhubung dengan beberapa tempat bersejarah dan tempat-tempat lainnya di pusat kota Bangkok.
Meskipun begitu, di luar perbedaan basis sosialnya, ada juga beberapa perbedaan mencolok antara demonstrasi AoP dengan peristiwa-peristiwa terkenal sebelumnya. Protes-protes terdahulu jauh lebih besar jumlahnya tetapi hanya bertahan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Me¬nurut Morell dan Chai-anan (1981, hal 147) sebanyak 400.000 orang turut berkumpul selama de¬monstrasi 13 Oktober 1973. Sementara pada 17 Mei 1992, massa yang berkumpul di area sekitar Sanam Luang mencapai sedikitnya 200.000 orang (McCargo, 1997). Selain itu, meski mereka di¬koor¬dinasi oleh mahasiswa atau jaringan aktivis, kehadiran mereka tidak direncanakan sebelum¬nya, tapi merebak spontan guna merespon peristiwa yang bergulir. Callahan (1998) meng¬gambar¬kan bagaimana pada bulan Mei 1992, karena adanya jaringan koordinasi aktivis dan lokasi per¬lawan¬an yang terpencar-pencar, para demonstran bisa membubarkan diri di tengah tin¬dasan bersenjata dan secara spontan mengelompok kembali di lokasi-lokasi baru. AoP, dengan sekitar 20.000-25.000 pemrotes yang didominasi penduduk desa, memang ber¬hasil mem¬per¬lihatkan jumlah yang mengesankan, namun yang mereka andalkan adalah kemampuan untuk memper¬tahan¬kan aksinya dalam jangka panjang dan memenangkan dukungan dari media serta organisasi-organisasi masyarakat sipil.

The Assembly of the Poor (AoP)
AoP adalah asosiasi nasional pertama yang mewakili kepentingan kaum miskin desa yang bangkit setelah Federasi Petani Thailand selama pergolakan politik 1970an. Didirikan tahun 1995, AoP ini berupa koalisi kelompok-kelompok pedesaan, masyarakat miskin kota, dan ornop-ornop yang mengkampanyekan isu-isu lingkungan dan mata pencaharian seperti dam¬pak waduk raksasa dan hak-hak tanah komunal di lahan hutan lindung. AoP mendapat seba¬gian besar pengaruh politis dan kekuatan tawarnya dari kemampuan mereka yang mencengangkan dalam memobilisasi banyak orang untuk protes massal berjangka panjang. Tentunya, setelah terbentuk, gerakan ini dengan cepat menjadi terkenal di Thailand karena aksi-aksi demonstrasinya di jalanan Bangkok. Aksi protes, bagaimanapun juga, selalu menjadi bagian dari strategi kampanye yang lebih luas yang meliputi petisi-petisi detil tertulis, lobi dan negosiasi dengan pemerintah, serta pembuatan materi terbitan seperti selebaran, video, dan media lainnya.
Faktor kunci dalam kemampuan AoP memobilisasi sejumlah besar orang untuk melancarkan protes berpijak pada tuntutan-tuntutan dan tujuan spesifik dari setiap dan semua kelompok penduduk lokal yang menyusun keanggotaan mereka. Masalah-masalah lokal di depan mata yang timbul akibat pembangun¬an oleh negara memberi dasar bagi AoP. Setiap masalah ini dirinci dalam petisi-petisi tertulis yang diserahkan ke pemerintah untuk negosiasi (AoP, 1996, 1997a). Dengan demikian, setiap kelompok yang turut aksi protes dimotivasi ter¬utama sekali oleh manfaat nyata yang diperjuangkannya bagi para anggotanya—misalnya, kompensasi yang layak atas lapangan kerja yang hilang akibat proyek-proyek besar. Hubungan dengan komunitas lokal penting untuk bisa menggelar aksi protes massal berjangka panjang, bukan cuma dalam urusan jumlah peserta, tetapi juga untuk memobilisasi sumberdaya dan pasokan hanya untuk memberi makan dan mempertahankan orang.
Ketika AoP mengumumkan pembentukannya dan mengedarkan manifesto pertamanya, Deklarasi Sungai Mun, Desember 1995, ia juga mengirimkan petisi tertulis yang disiapkan dengan cermat kepada pemerintah. Petisi ini memuat 47 masalah spesifik dan me¬netapkan tenggat 30 hari bagi respon pemerintah (AoP, 1996). Sesudah itu, AoP memobilisasi 12.000 penduduk desa untuk melancarkan protes di depan Gedung Pemerintahan tang¬gal 31 Maret 1996. Demonstrasi itu berlangsung selama 5 minggu, berakhir pada 23 April setelah peme¬rintahan PM Banharn Silpa-archa menjanjikan tindakan atas semua soal yang diangkat da¬lam petisi. Tetapi kesepakatan AoP dengan pemerintahan Banharn gagal terlaksana, akibat peme¬rintahannya yang tumbang tanggal 27 September.
Pemilu baru pada bulan November menghasilkan pemerintahan koalisi pimpinan Partai Aspi¬rasi Baru (New Aspiration Party) dengan Jenderal Chavalit Yongchaiyudh sebagai Perdana Men¬teri. Namun demikian, baik birokrat pemerintah maupun pemerintahan baru tidak ada yang rela menghormati kesepakatan terdahulu dengan AoP. AoP merespon hal ini de¬ngan mengadakan serangkaian rapat dengan perwakilan penduduk untuk mempersiapkan aksi berikutnya. Waktu itu, jaringan mereka sudah tumbuh dan para pimpinannya telah menyusun petisi baru yang terdiri dari 121 tuntutan berikut bagian detil yang menyerukan adanya reformasi kebijakan (AoP, 1997a).
Hari Sabtu, 25 Januari 1997, AoP memulai aksi demonstrasi massal kedua di jalanan Bangkok. Ribuan penduduk desa dari utara, timur laut, dan selatan membanjiri kota. Banyak yang iuran menyewa kendaraan untuk memastikan mereka tiba dalam aksi unjuk kekuatan demi melancarkan protes. Yang lain berangkat bersama dalam kelompok-kelompok kecil dengan kere¬ta atau bis. Ratusan penduduk miskin perkampungan kumuh di Bangkok turut bergabung. Pada hari pertama, para pemrotes berkumpul beberapa kilometer jauhnya dan berarak di jalan-jalan me¬nuju Gedung Pemerintahan. Mereka terus membanjiri tempat tersebut selama beberapa hari.

Selesaikan Semua itu di Jalanan!
Mengapa AoP khusus memilih tempat ini, jalanan yang menghadap Gedung Pemerintahan, sebagai lokasi aksi mereka? Apa yang memaknai tempat ini dan bagaimana makna itu diubah lewat demonstrasi massa? Routledge (1993) dalam kajian mengenai gerakan protes lingkungan hidup di India berpendapat bahwa kita harus mempelajari tempat-tempat actual dan ‘wilayah perlawanan’ di mana gerakan sosial menggelar perjuangan dan kampanye¬nya. Serupa dengan itu, bagi AoP pemilihan tempat perjuangan sangatlah penting. Aksi protes berlangsung (lihat Pile, 1997, hal 2) tidak hanya dengan menduduki jalanan yang menghadap Gedung Pemerintahan, tetapi juga bergerak melintasi dan memenuhi deretan tempat-tempat kekuasaan dilembagakan, diprakteikan, dan dilambangkan. Tilikan cermat tentang cara aksi protes mereka merebut ruang dan mengubah tempat bisa memberikan wawasan penting mengenai daya politis dan simbolisnya.
Gedung Pemerintahan dikenal sebagai pusat kunci kekuasaan dan kewenangan negara, gedung perkantoran bagi Perdana Menteri dan anggota pemerintah. Ketika saya bertanya kepada salah seorang anggota ornop penasehat AoP mengapa mereka memilih tempat ini untuk ber¬demonstrasi, ia menjawab dalam terminologi sentralisasi dan hirarki kewenangan negara di Thailand:
Setelah bertahun-tahun protes dilangsungkan oleh aneka macam kelompok penduduk desa di lokasi konflik lokal, seperti situs pembangunan waduk, kantor-kantor distrik, kan¬tor-kantor provinsi, bahkan kantor-kantor ke¬menterian di Bangkok, para penduduk berulang kali menemui pleidoi bahwa para pejabat di situ tidak memiliki kewe¬nangan untuk menindaklanjuti tuntutan mereka. Makanya, pada tahun 1996 dan se¬kali lagi tahun 1997, AoP memutuskan untuk membawa protes kami langsung ke tempat Perdana Menteri, menteri-menteri kabinet dan pemerin¬tahan men¬jalankan tugas keseharian mereka (Catatan lapangan, Bangkok, 30 Mei 2001).
Kedua, sebagai pusat kekuasaan pemerintahan secara simbolis dan praktis, jalanan yang berbatasan dengan Gedung Pemerintahan secara teratur menjadi tempat demonstrasi damai kecil-kecilan. Nan thamniap (menghadap gedung pemerintah) telah menjadi tempat konvensional untuk aksi turun ke jalan dan protes. Sepanjang tahun 1990-an, lusinan demonstrasi kecil-kecilan digelar di situ, kebanyakan hanya berlangsung kurang lebih sehari. Contohnya, beberapa hari sebelumnya 20 orang penduduk desa berdemonstrasi selama sehari di luar Gedung Pemerintah untuk memprotes ren¬cana pembangunan industri di tanah pertanian mereka. Meskipun kecil, kelompok ini menjadi berita utama surat kabar saat mereka menemui Menteri Dalam Negeri di gerbang Gedung Pemerintahan untuk mengungkapkan masalahnya. Mereka memilih untuk mengakhiri demonstrasi dan kem¬bali ke rumah sebelum kehadiran AoP, karena mereka berupaya mem¬pertahan¬kan identitasnya sebagai kelompok kecil lokal dan tidak terkait dengan gerakan yang lebih besar. Sekitar seminggu kemudian, sekelompok karyawan pemerintah menaikkan spanduk dan berdemonstrasi menentang rencana privatisasi Otoritas Pembangkit Listrik Thailand (EGAT). Protes ini ber-langsung selama dua hari, dan keberadaan mereka sama sekali tertutupi oleh massa AoP yang banyak sekali. Demonstrasi di tempat itu telah menjadi lazim dan lumrah sampai-sampai pada tahun 1997 pemerintah mempekerjakan perwira penghubung yang tugas utamanya berkomunikasi dan menjadi jembatan kelompok-kelompok protes ter¬organisasi itu.
Terlepas dari lokasi praktis dan simbolis Gedung Pemerintahan, jalanannya sendiri punya makna simbolis yang dalam ungkapan Inggris bisa dibilang: ‘taking to the streets’ (selesaikan semua itu di jalanan!). Selama aksi, para pemrotes suka bicara pada saya tentang alasan mereka turut berdemonstrasi serta tentang metode kampanye dan protes yang tersedia buat mereka. Banyak penduduk desa yang saya ajak bicara mengatakan dengan penuh empati bahwa mereka ‘tidak punya pilihan’ selain ikut berkumpul dengan sejumlah orang untuk memaksa pemerintah mendengarkan mereka.
“Kami tidak melihat adanya cara lain. Kami pikir inilah yang terbaik, bergabung ber¬sama dalam satu aksi untuk mengajukan petisi. Kami sudah coba cara-cara lain, seperti me¬ngi¬rim delegasi untuk berunding dengan pemerintah, tetapi kami tidak mem¬per¬oleh hasil apapun. Jadi inilah kami. Anda bisa bilang ini menekan pemerintah secara tidak langsung, tapi kami gunakan metode tanpa kekerasan (santiwithi). Mak-sud saya, kami tidak membuat para penduduk desa menderita, kami hanya menekan peme¬rintah. Bila saja massa, media massa, warga Bangkok bertatap mata dengan kami, tak seorang pun yang akan mengkritik kami, dan peluang kami untuk berhasil akan besar …. Ada kelompok lain yang dirundung masalah dalam jangka waktu lama, sekitar 10 tahun atau lebih, tapi tidak berani bangkit dan melawan. Tapi ketika me¬reka melihat AoP kami menyatu, mereka pun datang dan bergabung. Sederha¬na¬nya, mereka bergantung pada kekuatan gabungan bersama sebagai satu kesatuan” (wawancara, Noi, Bangkok, 21 Februari 1997).
Siang, Ketua Organisasi Penduduk Desa Sungai Mun dan veteran banyak aksi protes, merasa bahwa strategi yang tersedia bagi kaum miskin dan yang terpinggirkan secara politis itu amatlah terbatas.
“Menurut pengalaman saya sendiri, kami hanya punya satu pilihan. Perjuangan pen¬duduk desa—jika berjuang menggunakan hukum, kami pasti kalah. Jika meng¬angkat senjata, kalah juga. Rakyat cuma punya satu jalan keluar, yaitu turun ke jalan menga¬jukan petisi (kanchumnum riakrong), memberitahu pemerintah dan masyarakat … bahwa dalam berjuang kami memegang prinsip anti kekerasan” (Siang, wawancara, Bangkok, 13 Maret 1997)
Selama sekian minggu pertama aksi, tatkala kehadiran dan keabsahan protes ini dikecam oleh beberapa seksi pemerintahan dan media, perasaan-perasaan tersebut seringkali diutarakan oleh para orator di panggung aksi dan kadangkala diucapkan lagi kepada saya dalam wawancara dan diskusi. Contohnya, ketika saya mewawancarai Kitthi mengenai protes ini, dia menegaskan: “Ka¬mi ini orang miskin. Kami tak punya uang. Tak punya kewenangan (amnat). Kami hanya punya diri kami sendiri dan waktu untuk datang dan aksi” (wawancara 29 Januari 1997). Ini men¬jadi argumen umum selama aksi berlangsung. Misalnya, Praphat mengutip kepala desa lainnya:
“Kami orang miskin. Dari mana orang miskin bisa dapat uang? Kami tak punya uang. Kami tak punya kekuasaan (amnat). Kami tak punya senjata, gengsi, atau status kelas atas. Kami tak punya posisi kewenangan. Kami tak bisa bicara dengan jelas… kami cuma punya kaki. Kami harus bergabung bersama dalam jumlah besar untuk jangka waktu yang lama sebelum mereka mau mendengarkan kami. Turun ke jalan ber¬sama adalah satu-satunya kekuatan yang dimiliki orang miskin” (Praphat, 1997, hal 27).
Jalanan mewakili tempat yang publik dan demokratis, di mana setiap orang –bahkan kaum miskin—dapat mengklaim hak untuk berkumpul dan bertempat. Banyak di antara pendudukga desa itu berkata kepada saya bahwa jalanan dan jalan setapak adalah properti publik yang semestinya bisa diakses siapa saja dalam demokrasi: “Ini hak kami” (sitthi). Misalnya saja Kan, penduduk dari Sungai Mun di timur laut, berpendapat bahwa “rakyat berhak untuk bebas bepergian sesuka kami. Mereka tidak bisa begitu saja memblokir jalan” (wawancara, Bangkok, 21 Februari 1997). Dengan kata lain, jalanan di sekitar Gedung Pemerintahan bersifat khusus dan simbolis. Makna simbolis dan metaforis dari aksi mobilisasi di jalanan dan trotoar ini berfungsi untuk menegaskan alienasi kaum miskin dari tempat-tempat kewenangan dan kekuasaan di balik tembok Gedung Pemerintahan.
Dengan sangat strategis AoP memilih menduduki jalan yang sangat mudah terlihat, tetapi tanpa banyak menyebabkan kerepotan bagi warga Bangkok, yang simpati dan dukungannya mereka cari secara aktif lewat pernyataan-pernyataan dan rilis media. Para pemrotes men¬duduki ujung akhir Jalan Rama V antara Jalan Krungkasem dan Sri Ayuthaya, sepanjang sekitar 1 kilometer, tanpa menutup arus lalu lintas utama yang mengalir sepanjang Jalan Phitsanoulok dan Sri-ayuthaya (lihat Gambar 1). Dengan cara ini, mereka sangat terlihat oleh publik yang lalu lalang sepanjang jalan utama serta oleh pejabat-pejabat pemerintah yang keluar masuk kantor mereka.
Dimensi simbolis jalanan sebagai domain politik demokratis rakyat ini dimunculkan oleh AoP pada salah satu titik balik protes, pertengahan Maret 1997. Saat itu, gerakan ornop di Thailand yang kebanyakan terdiri dari kelas menengah menunjukkan dukungan terbuka bagi AoP. Tanggal 11 Maret, delegasi ornop dan organisasi HAM menjumpai PM Chavalit un¬tuk menyerahkan sebuah petisi yang ditandatangani 206 organisasi, menyerukan agar pemerintah memberikan respon yang lebih cepat dan efisien atas tuntutan AoP (AoP, rilis media, 11 Maret 1997; Chakrit Ritmontri, 1997; catatan lapangan, Bangkok 16 Maret 1997). Guna menandai peristiwa ini, para pemimpin AoP memutuskan untuk meng¬gerakkan barisan demonstrasi besar-besaran di sepanjang jalan, dari lokasi protes ke taman umum yang terkenal, Sanam Luang, pada hari Sabtu, 16 Maret.
Pada seminar dan kuliah-kuliah umum yang terkait dengan kampanye AoP, para aktivis ornop menyebarluaskan peta seukuran poster berjudul “Jalan Menuju Demokrasi”. Diter¬bitkan dalam bahasa Thai dan Inggris oleh Institut Studi Kebijakan Publik, peta tersebut me¬nandai lokasi peristiwa-peristiwa kunci dalam aksi protes rakyat tanggal 14 Oktober 1973, 6 Oktober 1976, dan Mei 1992, tiga tanggal yang menjadi titik balik sejarah mutakhir perubahan sosial dan demo-kratisasi di Thailand. Halaman belakang peta itu memapar¬kan singkat tentang apa yang terjadi di tempat-tempat tersebut tatkala itu. “Jalan Menuju Demo¬krasi” meng¬hadirkan sejarah dan geografi perjuangan rakyat dalam sebuah peta pusat kota Bang¬kok di se¬putaran Ratchadamnoen Avenue, peta yang mudah dikenali siapa saja. Dengan begini pamflet itu membangkitkan pengertian mengenai jalan sebagai ruang nyata sekaligus imajiner bagi aksi politik rakyat; dan menegaskan bahwa jalan menuju demokrasi dilalui lewat tempat-tempat ini serta momen-momen historis yang mereka alami.
Aksi di Sanam Luang mereka maksudkan untuk memobilisasi dan menunjukan dukung¬an organisasi-organisasi sipil serta kelas menengah kota. Aksi ini juga men¬jadi peristiwa yang sangat simbolis, di mana AoP merebut dan menduduki lanskap kota serta tempat-tempat yang membangkitkan kenangan akan sejarah perjuangan demokratis rakyat Thailand. AoP berpawai sepanjang Jalan Sri Ayuthaya, menyusuri Jalan Ratchadamnoen Nok dan Jalan Ratcha-damnoen Klang, melalui Monumen Demokrasi menuju ke Taman Sanam Luang (lihat Gambar 1). Arak-arakan itu, unjuk kekuatan jumlah yang mengesankan, mem¬bentang hampir 2 kilometer.
Ratchadamnoen Avenue (harafiahnya berarti ‘parade keraja¬an’) adalah jalan yang ditapaki para aktivis prodemokrasi ketika melawan kekuasaan pemerintahan militer. Jalan itu, berikut gedung-gedung dan monumennya, mengandung sejarah dan rang¬kaian makna yang pelik. Namun sebagaimana pendapat Thongchai (1999), keterkaitan awal mereka pada sejarah fasis dan monar¬ki telah ditulis ulang. Mereka mendapat makna baru dari berbagai kejadian dan cerita masyarakat mengenai revolusi dan reformasi demokrasi semenjak 1932. Meniru bulevar-bulevar megah gaya Eropa dan dibangun selama pemerintahan Raja Chulalongkorn, Ratcha¬damnoen Avenue menghdirkan orisinalitas dirinya pada periode monarki absolut. Di ujung utara jalan berdiri patung terkenal Chulalongkorn yang sekarang menjadi fokus kultus ke¬makmuran kelas menengah. Namun patung tersebut juga menjadi simbol dari proses ke¬lembaga¬an demoktratis di Gedung Parlemen, bersama dengan Monumen Demokrasi dan pusat aksi politik rakyat di Sanam Luang (lihat McCargo, 1997). Bahkan Balai Anatasa¬makhom, yang seka¬rang menjadi balai kerajaan dan bagian dari Istana Dusit, digunakan sebagai Gedung Parlemen selama hampir 50 tahun setelah Revolusi 1932.
Mengarah ke ujung selatan Ratchadamnoen Avenue berdiri Monumen Demokrasi. Monumen ini dibangun antara tahun 1938 dan 1939 untuk mengenang revolusi tanpa kekerasan 1932 yang membawa transisi dari monarki absolut ke monarki konstitusional. Thongchai (1999) berpendapat bahwa narasi dan makna demokratis yang lekat pada monumen itu semenjak tahun 1970-an dengan sendirinya melupakan fakta bahwa Revolusi 1932 sesungguhnya telah menghadirkan hampir 40 tahun pemerintahan militer. Monumen Demokrasi sendiri sesungguhnya dibangun oleh ke¬dik¬tatoran militer pimpinan Phibun Songkhram. Thongchai (1999, hal. 10) menunjukkan bah¬wa aksi protes yang digerakan mahasiswa tahun 1973 telah mengubah “lanskap wacana-wacana demokrasi” di Thailand. Baru pada saat itulah monumen tersebut melambangkan sebuah versi demokrasi rakyat yang jauh lebih radikal, khususnya aksi protes rakyat pimpinan mahasiswa bulan Oktober 1973. Thongchai juga berpendapat bahwa baru saat itulah, konsep radikal demokrasi yang turut meli¬batkan peran serta kaum buruh dan tani untuk pertama kalinya mulai merasuki narasinya. Selama Mei 1992, monumen itu lagi-lagi menjadi titik kumpul terkemuka selama demonstrasi rakyat me¬lawan kontrol militer Perdana Menteri. Peristiwa-peristiwa tahun 1992 mengukuhkan keterkaitan monu¬men tersebut dengan politik demonstrasi dan demokrasi rakyat (dalam hal ini adalah demonstran kelas menengah, ‘gerombolan pembawa telepon seluler’, meski juga dengan banyak kelompok urban lainnya termasuk serikat-serikat buruh, LSM, dan pekerja industri jasa).
Melewati Monumen Demokrasi, Jalan Ratchadamnoen Klang mengarah ke Sanam Luang (harafiahnya ‘taman kerajaan’). Sebagai taman umum paling tersohor se-Bangkok, Sanam Luang diasosiasikan dengan demonstrasi mahasiswa bulan Oktober 1973 yang menggulingkan kedik¬tatoran militer dan mengantar ke masa singkat demokrasi liberal. Taman ini menjadi titik kumpul demonstrasi mahasiswa bulan Oktober 1976 yang ditindas keras. Baru-baru ini, Mei 1992, Sanam Luang juga menjadi ajang demonstrasi rakyat melawan PM Suchinda Khrapayoon yang terpilih tidak melalui pemilu. Sanam Luang lantas tidak lagi dipandang terkait, atau berasal, dari keraja¬an. Sanam Luang adalah ruang praktis sekaligus simbolis bagi demonstrasi politik di Bangkok.





Desa Kaum Miskin
Hal yang pertama kali dilakukan oleh AoP adalah menamai lokasi aksi dan menyatakannya lewat ritual, spanduk, dan siaran pers. Para pemrotes mencanangkan tempat itu sebagai ‘Desa Kaum Miskin’ (muban khon jon). Mereka dirikan pintu gerbang dan rambu-rambu pada jalan masuknya, lalu melaksanakan ritual untuk membuka dan memberkati desa baru tersebut. Saya amati upacara pembukaannya:
Jam 10 pagi. Tempat aksi di barikade dari jalan utama dengan pagar penghalang dari besi. Sebuah pintu gerbang di deretan penghalang itu dibangun dari batang-batang bambu yang juga berfungsi sebagai tiang spanduk bertuliskan “muban khon jon”. Di dekatnya beberapa wartawan dan fotografer tengah menunggu. Arak-arakan riuh ren¬dah yang terdiri dari beberapa ratus orang muncul dari bagian lain lokasi aksi dan terus berjalan membelah Jalan Phitsanulok. Lalu lintas terpaksa berhenti dan me¬nanti. Polisi anti huru-hara berdiri dekat-dekat situ sambil menyaksikan dengan pasif, mereka tidak mengambil langkah apapun untuk intervensi. Sekitar 20 orang pen¬duduk desa di ujung depan prosesi membawa batang-batang tebu muda. Seorang rahib memercikkan air suci ke pintu gerbang lantas memasuki lokasi, me¬nuju panggung sambil tetap memercikkan air suci kepada demonstran yang sedang duduk-duduk. Prosesi berlanjut. Penduduk mengikat batang-batang tebu pada bambu di tiap sudut panggung. Rahib berjalan perlahan melewati kerumun¬an, memercikkan lebih banyak air suci ke batang tebu, panggung, dan pen¬duduk. Upacara berakhir dengan upacara phuk siaw di area sekitar panggung (ini adalah upa¬cara di mana para peserta saling mengikatkan benang di pergelangan tangan, me¬nandai bahwa mereka telah mengukuhkan sesamanya sebagai teman sehidup semati) (catatan lapangan, Bangkok, 1 Februari 1997).
Kegiatan ritual dan penamaan Desa Kaum Miskin menegaskan sampai batas mana ruang ini sama sekali terubah dan dibubuhi makna baru oleh para pemrotes. Desa Kaum Miskin memainkan sedikitnya 3 tujuan penting bagi dampak politik aksi protes ini:
(1) Sebagai sebuah desa terbayang, ia menciptakan pijakan simbolis bersama untuk menegas¬kan kesatuan identitas politik dari beragam kelompok yang menyusun AoP.
(2) Penyebutan ‘Desa Kaum Miskin’ mengesankan adanya tatanan sosial, bukan sekadar gerombolan atau kerumunan tak teratur, dan AoP juga bekerja cepat menciptakan dan mempertahankan sebuah komunitas di dalam batas-batasnya.
(3) Desa Kaum Miskin melambangkan sebuah komunitas yang berada di tengah krisis, di bawah ancaman pembangunan yang membiayai kemakmuran kota.

Menciptakan Pijakan Bersama untuk Identitas
Sebagai tempat simbolis, Desa Kaum Miskin mewakili adanya sebuah pijakan bersama yang menyatukan kelompok-kelompok yang tergabung dalam AoP. Hal ini sangatlah penting ka¬rena AoP berusaha menyatukan sejumlah besar kelompok lokal yang beraneka ragam menjadi sebuah gerakan padu yang sanggup berkiprah di level nasional. Faktor kunci keberhasilan AoP adalah kesetiaannya pada masalah-masalah dan sasaran spesifik masing-masing kelompok pen¬duduk lokal yang menyusun keanggotaannya. Meski ke¬berpijakan AoP pada masalah-masalah riil lokal ini menghadirkan kekuatan, ia juga meng¬hadirkan kendala dalam membangun rasa se¬nasib sepenanggungan serta rasa persatuan sejumlah besar kelompok yang beragam. Ia juga menghadirkan masalah dalam membangun identitas politik kolektif di lingkup publik dan dalam proses negosiasinya dengan negara.
Para kepala desa dan aktivis ornop menjawab isu ini dengan mengajukan se-buah identitas ideologis dan budaya solidaritas (lihat Fantasia, 1988). Sekaligus, iden¬titas ideo¬logis dan budaya solidaritas ini dimaksudkan untuk mengintegrasikan dan memberikan kesahihan bagi identitas lokal berbagai macam kelompok tersebut. Mereka nyatakan identitas poli¬tiknya sebagai sebuah gerakan nasional ‘kaum miskin’ (khon jon) yang menjadi ‘korban pemba¬ngunan’. Mereka men¬junjung solidaritas dengan mendorong para ang¬gotanya menyadari “konteks perjuangan bersama” (lihat Mohanty, 1991, hal 7), yakni: kerugian yang timbul akibat proyek-proyek pembangunan negara skala besar, serta sasaran politik bersama yang paling baik diupayakan lewat gerakan massa. Penonjolan identitas kolektif dalam istilah ideologis dan simbolis ini ditujukan baik kepada pihak luar (seperti negara) maupun pada anggota AoP, dengan berusaha membuat mereka menyadari kepentingan dan proyek politik bersama mereka.
Aksi jalanan itu sendiri menjadi titik kunci bagi artikulasi dan negosiasi antar wacana soli¬daritas dan identitas politik ini. Selama aksi protes kolektif inilah keberadaan AoP hadir paling nyata dalam pengalaman langsung para anggotanya. Transformasi ritual dan simbolis dari jalanan kota yang panas dan berdebu menjadi Desa Kaum Miskin bisa dilihat sebagai suatu elemen dari proses ini. Justru karena Desa itu merupakan ruang simbolis dan bukan rumah bagi suatu kelompok tertentu, ia jadi bisa menyatukan semua kelompok yang ber¬aneka macam ini sekaligus mengesahkan identitas lokal yang khusus mereka miliki.
Desa Kaum Miskin menyediakan pijakan bersama secara riil dan simbolis untuk me¬numbuh¬kan budaya solidaritas dan identifikasi pada gerakan yang lebih luas. Cara-cara yang dilaku¬kan¬nya untuk itu bisa terlihat selama aksi berlangsung. Banyak penduduk yang tak henti-hentinya mondar mandir di sepanjang lokasi, mengobrol dengan anggota kelompok lain yang beda daerah mengenai masalah dan tujuan-tujuan mereka. Kepala-kepala desa dan para aktivis memformalkan proses ini. Setiap malam, setelah pengumuman harian mengenai pengorganisasian aksi dan per¬kembangan negosiasi dengan pemerintah, para demonstran menuturkan kisah-kisah mereka sen¬diri dari atas panggung, perihal pertarungan komunitas lokal mereka dengan negara dan sebab musabab kelom¬pok mereka bergabung dalam AoP. Beberapa mengisahkan se¬jarah mereka dalam musik dan lagu, dengan mengambil tradisi budaya masing-masing, seperti musik mo lam dari timurlaut Thailand. Selama per¬tunjukan dan cerita berlangsung, para anggota AoP terus bicara satu sama lain, menggalang solidaritas yang dibutuhkan untuk tetap memper¬tahankan aksi, serta mencari bahasa dan simbolisme untuk mengekspresikan perjuangan mereka dalam lingkup publik dan ber¬negosiasi dengan pemerintah.
Cara lain yang digunakan untuk menjunjung dan memupuk rasa kebersamaan dalam Desa Kaum Miskin adalah pelembagaan pucuk pimpinan organisasi dan pembagian kerja selama aksi. Selain mengambil struktur masyarakat desa, diciptakan juga bentuk-bentuk baru peng¬ambilan ke¬putusan secara demokratis. Dengan kata lain, para demonstran bekerja untuk mem¬bentuk suatu komunitas.

Menciptakan dan Mempertahankan Kelangsungan Komunitas
Para demonstran bekerja keras menciptakan suatu komunitas yang damai, tertata, dan sehat. Mereka sangat sadar dirinya sedang menjadi sorotan media dan khalayak umum. Dengan sengaja mereka berusaha menghadirkan ‘citra’ yang bagus (phap-phot). Saya mulai melihat banyaknya tugas yang ada serta perhatian pada detil dalam menciptakan ruang publik untuk aksi protes. Hal ini sungguh krusial bagi kesanggupan AoP mempertahankan aksinya dalam jangka panjang. Selain itu, hal ini juga berguna untuk menepis gambaran umum di media tentang para pemrotes tersebut sebagai sebuah ‘gerombolan’, mob khon jon.
Suatu hari di awal aksi, saya duduk berbincang-bincang dengan Pla, perempuan desa yang berasal dari daerah timurlaut. Saya tanya apa yang dia kerjakan tiap-tiap hari semasa protes ber¬langsung. “Bo dai het nyang!” (Aku tidak mengerjakan apapun!), jawabnya sinis dalam bahasa Lao. Tetapi kemudian ia menjelaskan. “Kadang aku bantu mereka menjual barang-barang di toko kesejahtera¬an (hang sawathikan)”, ujarnya sambil menunjuk lapak di dekat situ. “Aku hadiri rapat-rapat pagi dan sore hari, lalu menyampaikan pembahasan rapat pada kelompok di sini, karena aku pengurus (kaen nam) kelompok penduduk desa ini. Kadang mereka undang aku untuk bicara di atas pang¬gung. Para penasehat [ornop] sering mengirim wartawan untuk mewawan¬carai¬ku” (Catatan la¬pangan, 28 Januari 1997).
Saya bertanya tentang toko kesejahteraan.
Masing-masing kelompok penduduk yang berasal dari distrik yang sama punya satu toko. Bila tidak ada apapun buat dimakan, Anda bisa membeli sesuatu dari toko kesejahteraan, karena toko tersebut dijalankan oleh penduduk kami sendiri. Kami semua menaruh uang di situ sebagai dana bergulir. Anda bisa beli, atau bila tidak punya uang Anda masih bisa makan. Salah satu bagiannya adalah beras kesejahteraan (khao sawathikan). Siapa saja yang tidak punya beras, bisa berutang dulu pada kami sehingga tiap kelompok penduduk bisa membeli beras. (wawancara Pla, Bangkok, 28 Januari 1997).
Penduduk desa dan aktivis ornop menerangkan pada saya tentang organisasi dan pembagian kerja yang rumit dan canggih selama aksi protes. Mereka juga mengundang saya ikut dalam ber¬bagai kegiatan dan pertemuan untuk mengamati praktiknya. Desa ini sangat berbeda dari sekadar ‘gerombolan’ morat marit seperti kata beberapa media (lihat misalnya Thairat, 27 Januari 1997, hal 1, Daily News, 29 Januari 1997, hal 1).
Kepala desa mengorganisasi relawan untuk menjaga keamanan, kesehatan dan keindahan, kebersihan dan kondisi MCK (Mandi, Cuci, dan Kakus), serta untuk menyeleksi anggota delegasi yang bernegosiasi dengan pemerintah. Mereka mengandalkan suatu sistem kepemimpinan kolektif lewat rapat-rapat per¬wakilan warga terpilih yang disebut pho khrua yai (harafiahnya berarti ‘kepala koki’) serta jaring¬an koordinasi dan komunikasi lewat pengurus setingkat desa (kaen nam). Para penasehat dari ornop turut dalam rapat-rapat mereka dan memberikan dukungan teknis, material, dan ke¬sekre¬tariatan, juga melakukan koordinasi dengan organisasi-organisasi lain yang sepaham serta media.
Lebih dari 1.000 orang laki-laki secara sukarela bertindak sebagai ‘satpam’ aksi, men¬jaga keamanan dan ketertiban, memastikan bahwa peraturan-peraturan (kotrabiap) dipatuhi dan ber¬jaga-jaga terhadap penghasut dari luar. Kepemimpinan kolektif AoP tidak saja mengu¬kuhkan beberapa aturan dasar yang dirancang untuk membantu mempertahankan per¬damaian dan rasa ke¬bersamaan suatu komunitas, tetapi juga menciptakan citra yang baik di mata media dan publik. Aturan ini mencakup larangan mabuk-mabukan atau konsumsi alkohol dan obat-obat ter¬larang di lokasi aksi. Kelompok sukarelawan lainnya, yang disebut or sor mo (sebuah akronim yang di¬adaptasi dari praktek pembangunan desa dan berarti ‘relawan kesehatan desa’) dan kebanyakan terdiri dari kaum perempuan, bekerja secara bergiliran menyapu, membersih¬kan kamar mandi dan toilet di tempat protes dan di lapangan dekat sana. Para relawan perawat (phayaban) mengobati penyakit ringan dan merujukan demonstran yang sakit kepada perawat profe¬sional dan dokter di klinik kesehatan. Demonstran lainnya mengecat spanduk dan karya seni, menyebarkan selebaran-selebaran AoP tidak hanya bagi penduduk tapi juga di seluruh kota dan membantu mengatur dua panggung ataupun memainkan musik untuk menghibur para pemrotes.
Kaen nam, atau pengurus tingkat desa, memegang peran kunci dalam memobilisasi anggota di desa untuk bergabung dalam aksi. Seperti dikisahkan Pla tadi, mereka juga memainkan peran penting koordinasi dan komunikasi selama aksi. Ia jelaskan pada saya:
Aku ikut rapat-rapat pembahasan kaen nam setiap pagi dan aku juga meng¬hadiri pertemuan negosiasi [dengan pemerintah]. Kami bergantung pada diri sendiri yang hanya memiliki sedikit pengetahuan ini untuk menjelaskan kepada penduduk lainnya mengenai kemajuan aksi kami … Saban hari kami gelar pertemuan untuk membahas segalanya bersama. Pada tahap ini kami diskusikan kelompok mana sedang ber¬masalah, apa saja masalahnya, dan mendiskusikan bagaimana kami bisa membantu mereka (wawancara Pla, Bangkok, 28 Januari 1997)
Selama demonstrasi, pho khrua yai bertemu sedikitnya sekali sehari di ruang-ruang publik dekat lokasi aksi, biasanya di Wat Bannjamabophit atau di pintu masuk Racecourse dekat situ. Mereka mem¬bicarakan kemajuan negosiasi, semangat serta suasana hati kelompok demons¬tran, merenca¬nakan aksi publisitas bagi media, dan meninjau kembali organisasi serta keadaan di lokasi. Pho khrua yai juga bertindak sebagai tim negosiasi bagi komunitas lokalnya. Mereka -persiapkan dan sampaikan petisi komunitasnya dalam perundingan dengan pemerintah.
Lain orang lain pula kadar komitmen dan partisipasinya dalam deretan peran serta tanggung jawab ini. Beberapa orang memang nyata-nyata tidak melakukan apapun selain menghadiri aksi untuk menambah jumlah dan mencatatkan nama keluarga mereka dalam urutan daftar nama para penandatangan petisi. Yang lain mengemban peran dan tanggung jawab ganda dalam kegiatan protes, khususnya penduduk desa yang bertindak sebagai kaen nam dan pho khrua yai.
Desa Kaum Miskin menggabungkan secara mencolok aktivitas domestik penduduk desa dengan tanda dan lambang-lambang protes publik. Setiap hari, bahkan kegiatan intim seperti menyiapkan dan menyantap makanan, mandi dan tidur dilakukan dengan latar belakang spanduk, panggung, pemberitaan siaran, papan pengumuman, poster-poster yang terpajang, pagar pembatas serta polisi anti huru-hara di sekitar sana. Di ruang publik seperti itu, aktivitas-aktivitas domestik yang terlihat remeh ini menjadi bermakna simbolis, menanda¬i keteguhan dan resistensi para demonstran terhadap dampak-dampak destruktif pembangunan, serta menandai niat mereka untuk bertahan di sana hingga negara memberikan tanggapan. Ini juga menandai bahwa mereka adalah sebuah komunitas damai.
Walaupun komunitas yang kooperatif dan terorganisasi turut membantu menjaga kelangsungan aksi selama 3 bulan, ada aspek lainnya yang barangkali sama pentingnya untuk mempertahankan aksi ini meski kurang terlihat, yakni: arus mudik dan arus balik demonstran ke kampung halaman mereka. Pertengahan Februari, sekitar tiga minggu setelah aksi mulai, saya mengunjungi desa di sebelah bawah Sungai Mun, berusaha mencari tahu apa yang terjadi dulu di beberapa komunitas kampung halaman para demonstran. Di Ban Hua Haew, yang seisi desanya direlokasi gara-gara Waduk Pak Mun, setiap keluarga mengirim wakilnya untuk ikut berdemonstrasi. Penduduk berkata bahwa ada rus orng bulak-balik terus menerus antara desa dengan tempat protes. Beberapa penduduk yang lebih kaya membawa truk-truk pikap membantu mengangkut kelompok-kelompok penduduk dan perbekalan ke ibukota provinsi Ubon. Dari sana mereka kemudian melanjutkan perjalanan dengan kereta api ke Bangkok. Sebuah keluarga menjelaskan:
Orang-orang datang dan pergi. Waktu mereka lelah, mereka pulang ke rumah. Me¬reka atur agar ada orang lain dari keluarganya bisa menggantikan yang pulang, atau mereka kembali lagi setelah beberapa hari istirahat. Kemarin ada beberapa kelompok yang pulang ke desa. Mereka mempersiapkan perbekalan dan wakil baru untuk pergi aksi. Bila kami tidak pergi, nama kami akan tercoret dari daftar [petisi untuk kompensasi keberadaan waduk] (catatan lapangan, Ban Hua Haew, 16 Februari 1997).
Di desa-desa sekitarnya seperti Ban Tung Lung, cerita mereka mirip. Waktu aksi dimulai, tiap keluarga mengirimkan wakilnya, tapi tiga keluarga pulang, mengeluhkan bahwa mereka “tidak tahan tinggal dalam kondisi seperti itu”.
Saya bertemu dengan banyak penduduk yang pulang ke rumah untuk mengaso atau menyiap¬kan perbekalan baru. Misalnya saja ketika saya mengunjungi Mae Pla di rumahnnya beberapa kilometer di utara kotamadya Phibun. Dia baru saja pulang beberapa hari sebelumnya dengan ibunya dan penduduk desa lainnya, Kitthi, yang sama-sama sakit kena flu. Pla sibuk menyiapkan nasi dan bekal lainnya untuk dibawa kembali ke Bangkok sore nanti dengan kereta api. Pla adalah seorang kaen nam di desanya. Dia berusaha mengajak seorang temannya yang tinggal di dekat rumahnya, namun tidak berhasil. Menurut Pla, hanya 6 dari 60 keluarga yang mengirim orang untuk bergabung dalam aksi. Pla meninggalkan suami dan putranya untuk jaga rumah dan me¬rawat kerbau-kerbau mereka. Kithhi juga seorang kaen nam dari desa dekat situ. Dia ber¬istirahat di rumah dengan isteri selama beberapa hari dan segera setelah sembuh ia bawa sejumlah uang, beras, dan makanan kembali ke Bangkok. Isterinya yang masih muda tinggal di rumah untuk menjaga dua anak mereka yang masih kecil-kecil (catatan lapangan, Desa Huay Say, Distrik Phibun Mangsahan, 17 Februari 1997; wawancara, Kitthi, Bangkok, 29 Januari 1997). Di desa-desa lainnya saya bertemu orang-orang yang menyatakan keinginannya untuk bergabung dalam aksi protes tapi tidak sanggup membiayai. Mereka tidak bisa meninggalkan rumahnya untuk jangka waktu lama dan tidak punya uang untuk membayar tiket bis atau kereta api dari dan ke Bangkok.
Arus orang dan sumberdaya ini tidak hanya menghubungkan aksi dengan kampung-kampung pedesaan, tetapi juga dengan komunitas pekerja migran di Bangkok. Masalah mendasar dalam mengorganisasi penduduk desa adalah terjadinya disintegrasi komunitas seiring dengan laju industrialisasi dan penyusutan sektor pertanian, yang telah memaksa kian banyaknya penduduk desa bermigrasi ke kota untuk mencari kerja jangka pendek maupun jangka panjang. Selama aksi protes, sektor pekerja migran yang jumlahnya sangat banyak ini merupakan sumber dukungan lainnya bagi AoP. Sebagian besar pemrotes yang pernah saya ajak bicara punya sanak keluarga yang bekerja di Bangkok. Sesekali mereka datang menjenguk dan membantu memberi makanan dan uang. Seorang pemrotes menyatakannya begini:
Anda lihat sendiri, orang-orang yang lebih tua di sini telah datang untuk berjuang—di sore hari anak-anak mereka datang berkunjung karena anak-anak mereka bekerja di Bangkok sini. Bekerja seperti itu [buruh migran] adalah cara hidup yang memecah-belah ikatan keluarga…Kadang mereka bawa uang untuk orang tuanya. Mereka tahu orang tua mereka kelaparan dan tersiksa di sini sehingga mereka membelikan ma¬kanan dan barang-barang. Sungguh, merekalah sumber kekuatan lainnya bagi kami… Mereka tidak bisa bergabung bersama kami di sini karena harus bekerja, jadi mereka bawakan uang buat mendukung kami (wawancara Tawi, Bangkok, 21 Februari 1997).

Melambangkan Komunitas di Tengah krisis
Secara simbolis Desa Kaum Miskin menghadirkan ‘udik pedesaan’ ke tengah kota. Dalam me¬lakukannya, para pemrotes meruntuhkan gambaran umum dan stereotip akan ‘desa’ sebagai sumber kebudayaan dan identitas bangsa Thai yang tak lekang (lihat Hirsch, 1991). Desa Kaum Miskin telah membuat penduduk kota berhadap-hadapan dengan kemiskinan, menggugat stereo¬tip romantik tentang kehidupan udik pedesaan. Desa ini mewakili sebuah komunitas yang tengah dilanda krisis, terancam oleh pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang sama yang dilam¬bangkan oleh dan menjadi andalan hidup kota besar.
Beberapa karya seni dan selebaran yang dibuat selama aksi dengan kuat menangkap gagasan ini. Sebuah baliho lebar menggambarkan kota sebagai monster berkepala dua, pabrik-pabrik menonjol dari pucuk kepalanya, dengan dua mulut menganga lebar melahap daerah pedesaan. Mulut yang satu menelan padang-padang hijau, sementara mulut yang lain terbuka me¬nyingkapkan dinding waduk yang melalap sungai. Selama aksi ke Sanam Luang tanggal 16 Maret, para demonstran membawa replika waduk yang memberi energi listrik ke kota lewat sambungan-sambungan kabel. Kota sendiri direpresentasikan lewat sekelompok gedung perkan¬toran tingkat tinggi. Di balik dinding waduk, air pasang menenggelamkan pedesaan berikut orang-orangnya.
Kepekaan akan krisis ini juga terungkap dalam cara penduduk desa dan selebaran-selebaran AoP menggambarkan kondisi aksi. Cerita awal saya tadi mengenai kondisi aksi ini bukan bermaksud mengesankan bahwa kehidupan di sini nyaman dan gampang. Penduduk terus menerus memberitahu saya bahwa mereka datang karena “tidak ada pilihan lain”, bukan karena mereka memang ingin melakukannya. Selebaran AoP menggambarkan aksi ini ibarat berada dalam “terik membara dan kabut asap racun di tengah-tengah kota Bangkok” (AoP, 1997b). “Hidup di sini susah”, penduduk menegaskan pada saya. “Di rumah hidup juga susah, tapi lebih mendingan ketimbang di sini. Di sini tidak nyaman. Kami tiduran terbakar ma¬tahari, didera cuaca, segala sesuatu seperti itu, banyak nyamuk juga.” Lamkhang, seorang perempuan muda menceritakan kepada saya tentang kesehariannya dalam aksi:
Susah sekali. Aku tidak tidur. Nyamuknya banyak. Sulit istirahat waktu siang. Mau mencuci harus antri dan kami mesti berjalan ke lapangan [kamar mandi]. Pemerintah belum menyetujui tuntutan-tuntutan kami—jika mereka tetap tidak setuju kami tidak akan pulang. Masalah terberat adalah pergi ke WC! Jika benar-benar mendesak mereka akan membiarkan Anda menerobos antrian, tapi bila tidak Anda harus antri menunggu (wawancara Lamkhang, 1 Februari 1997).
Hawa panas hanya berkurang saat malam, tapi bahkan pada waktu malam pun penduduk desa merasa susah tidur. Mereka tidur beralas tikar jerami di tanah keras. Mereka mengeluhkan serbuan nyamuk dari sungai yang mengganggu mereka waktu malam. Sejak bulan Maret, badai musiman menerpa seluruh kota, membasahi jalanan. Para pemrotes melewati malam dengan berdiri, sambil memeluk erat harta bendanya di atas air yang mengalir di bawah kakinya. Kondisi seperti ini memperburuk kesehatan pemrotes. Pilek dan flu menyebar cepat dalam kelompok. Sepanjang hari mereka menyerbu ‘klinik kesehatan’, minta obat dan pereda sakit. Ketika sakit me¬nyerang, banyak pemrotes pulang ke desa dan rumahnya untuk beristirahat dan memulih¬kan diri sebelum kembali lagi aksi. Delapan pemrotes meninggal selama aksi, dua di antaranya bunuh diri. Tiga orang bayi dilahirkan di sana (AoP, 1997c).

Kesimpulan
Ketika aksi maraton di tengah terik dan debu kota Bangkok berakhir, kelihatannya AoP ber¬hasil mencapai banyak hal buat para anggotanya. Pemerintahan Chavalit berjanji dengan syarat-syarat yang paling tegas untuk mempertimbangkan dan memperhatikan semua tuntutan yang tercantum dalam petisi AoP. Beberapa proyek negara dibatalkan. Jaminan kompensasi bagi penduduk lokal yang terkena dampak waduk dan proyek-proyek pemba¬ngunan besar diberikan. Komite-komite yang berisi perwakilan pemerintah, jajaran birokrasi, dan AoP dibentuk untuk menindaklanjuti perjanjian-perjanjian yang dicapai selama protes. Tetapi ketika koalisi Chavalit jatuh pada November 1997, semua komite dibubarkan dan proses pe¬menuhan kesepakatan ter¬henti sekali lagi.
Bagaimanapun juga, aksi protes tersebut merupakan peristiwa luar biasa dalam sejarah aksi politik kolektif yang dilakukan oleh kaum miskin kota dan pedesaan Thailand. AoP menerap¬kan rangkaian luas strategi dan taktik dalam menentang pemerintah dan aktor-aktor tertentu negara. Meskipun aksi protes harus dilihat dalam konteks deretan luas aksi-aksi tersebut, ia tetap menjadi metode pokok untuk memberikan kekuatan pada klaim-klaim mereka. Demonstrasi ini menjadi salah satu aksi protes massal yang paling lama dan terorganisasi di Bangkok. Ia memperoleh liputan dan dukungan yang patut diperhitungkan dari media massa, mediator penting dalam konflik. Secara umum media massa memberi legitimasi kepada AoP sebagai aktor politik dan menyebarluaskan petisinya dalam ranah publik. Pemerintah dan jajaran pegawai negeri eselon atas dipaksa mengakui tuntutan-tuntutan AoP dan bernegosiasi dengan sebagian dari kaum termiskin dan yang paling terpinggirkan dalam masyarakat Thailand.
Kekuatan protes yang memaksa pemerintah hadir di meja perundingan dan menjawab petisi AoP tak diragukan lagi berasal dari sejumlah faktor, termasuk jumlah demonstran dan dukung¬an publik yang kuat dari organisasi-organisasi masyarakat sipil dan beberapa kalangan media. Tetapi seperti saya jelaskan di sini, geografi protes juga krusial bagi dampak politik dan makna-makna simbolisnya. Lokasi kekuasaan di pusat kota Bangkok membentuk ruang-ruang pilihan demonstrasi AoP, sebagaimana ditegaskan dalam karya Charles Tilly. Apalagi, sebagaimana pendapat Massey, tempat dirasuki kepentingan dan nilai kultural lewat riwayat konflik dan perjuangan sosial. Dengan menduduki tempat-tempat tertentu dan mengun¬jungi tempat-tempat bersejarah yang sangat signifikan, AoP dengan sengaja meng¬kaitkan dirinya dengan sejarah modern perjuangan demokratis di Thailand.
Lebih jauh lagi, sebagaimana telah ditunjukkan oleh para ahli ilmu bumi yang tertarik pada hubungan antara tempat, identitas dan perlawanan kolektif, makna dan identitas yang terkait pada suatu tempat bukanlah harga mati, melainkan terus menerus diperjuangkan dan dinegosiasikan ulang. Aksi protes AoP menciptakan makna baru pada jalanan di depan Gedung Peme¬rintahan. Jalanan itu kini tercakup dalam perjuangan untuk menegaskan dan melegitimasi iden¬titas politik mereka. Para pemrotes menemukan pijakan untuk berjuang di kota, pindah dari suasana lokal dan tempat-tempat pinggiran yang menjadi sumber utama tuntutan dan identitas mereka. Dalam melakukannya, para pemrotes mengubah lanskap pusat kota yang mereka duduki, menciptakan sebuah Desa Kaum Miskin yang riil dan simbolis sebagai suatu ruang untuk me¬negaskan identitas kolektif mereka dan melancarkan tuntutan kepada negara. Membangun Desa Kaum Miskin di jantung kota menciptakan suatu pijakan bersama secara sim¬bolis di mana be¬ragam kelompok yang menyusun keanggotaan AoP bisa melegitimasi sebuah identitas politik kolektif. Desa Kaum Miskin juga secara eksplisit menegaskan hubungan destruktif antara kota dan desa, melambangkan sebuah udik pedesaan yang dilanda krisis, terancam oleh pem¬bangunan industrial dan eksploitasi lingkungan yang menjadi gantungan kemakmuran ekonomi kota besar. Hal ini menantang gambaran umum mengenai udik pedesaan yang harmonis sebagai sumber identitas nasional masyarakat Thai.

Daftar Pustaka

CALLAHAN, W. A. (1998) Imagining Democracy: Reading “The Events of May” in Thailand. Singapore: ISAS.
CASTELLS, M. (1997) The Power of Identity. Malden, MA: Blackwell.
CHAKRIT, R. (1997) Chavalit acts on demands of protesters, Bangkok Post, 12 Maret.
COHEN, J. L. (1985) Strategy or identity: new theoretical paradigms and contemporary social movements, Social Research, 52, hal. 663–716.
FANTASIA, R. (1988) Cultures of Solidarity: Consciousness, Action, and Contemporary American Workers. Berkeley, CA: University of California Press.
GUPTA, A. dan FERGUSON, J. (1997) Culture, power, place: ethnography at the end of an era, dalam: A. GUPTA dan J. FERGUSON (ed.) Culture, Power, Place: Explorations in Critical Anthropology, hal. 1–29. Durham, NC: Duke University Press.
HEWISON, K. (1997) Introduction: power, oppositions and democratisation, dalam: K. HEWISON (ed.) Political Change in Thailand: Democracy and Participation, hal. 1– 20. London: Routledge.
HIRSCH, P. (1991) What is the Thai village?, in: C.J. REYNOLDS (Ed.) National Identity and Its Defenders, hal. 323–340. Melbourne: Centre for Southeast Asian Studies.
AoP (1995) Khamprakat lumnammun [Deklarasi Sungai Mun].
AoP (1996) Kho riak rong saneo to ratthaban [Petisi buat Pemerintah]. Bangkok: AoP.
AoP (1997a) Sarup kho riak rong prakoobkaanjerajaa kaekhaipanhaa samatchaakhonjon [Ringkasan petisi negosiasi]. Bangkok: AoP.
AoP (1997b) Samatcha khon jon ekkasan phoei phrae chabap thi 1 [Selebaran AoP No.1]. Bangkok: AoP.
AoP (1997c) Siang prachachon [Voice of the People, majalah AoP], 1(1).
MALLET, M. (1978) Causes and consequences of the October ’76 coup, dalam: A. TURTON, J. FAST dan M. CALDWELL (Eds) Thailand: Roots of Conflict, hal. 80–103. Nottingham: Spokesman.
MARX, G. T. dan MCADAM, D. (1994) Collective Behavior and Social Movements: Process and Structure. New Jersey: Prentice Hall.
MASSEY, D. (1995) Places and their pasts, History Workshop Journal, 39, hal. 182–192.
MCCARGO, D. (1997) Chamlong Srimuang and the New Thai Politics. New York: St Martin’s Press.
MOHANTY, C. T. (1991) Introduction: cartographies of struggle, Third World Women and the
politics of feminism, dalam: C. T. MOHANTY, A. RUSSO dan L. TORRES (ed.) Third World THE VILLAGE OF THE POOR 1663 Women and the Politics of Feminism, hal. 1– 47. Bloomington, IN: Indiana University Press.
MORELL, D. dan CHAI-ANAN SAMUDAVANIJA (1981) Political Conflict in Thailand: Reform, Reaction, Revolution. Cambridge, MA: Oelgeschlager, Gunn & Hain.
PASUK PHONGPAICHIT dan BAKER, C. (1995) Thailand: Economy and Politics. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
PILE, S. (1997) Introduction: opposition, political identities and spaces of resistance, dalam: S. PILE dan M. KEITH (ed.) Geographies of Resistance, hal. 1–32. London: Routledge.
PORTA, D. DELLA dan DIANI, M. (1999) Social Movements: An Introduction. Oxford: Blackwell.
PRAPHAT PINTOPTAENG (1997) Kanmueang khong khabuankan chaoban dan singwaetlom: karani samatcha khon jon. Makalah yang disajikan pada seminar meja bundar tentang “AoP dan Reformasi Demokratis”, 3 September, Chulalongkorn University.
PRAPHAT PINTOPTAENG (1998) Kanmeuang bonthongthanon: 99 wan samatcha khon jon. Bangkok: Krirk University.
ROUTLEDGE, P. (1993) Terrains of Resistance: Nonviolent Social Movements and the Contestation of Place in India. Westport, CT: Praeger.
THONGCHAI WINICHAKUL (1999) Thai Democracy in public memory: monuments and their narratives. Makalah yang disajikan pada 7th International Conference on Thai Studies, Amsterdam.
TILLY, C. (1978) From Mobilization to Revolution. Reading, MA: Addison-Wesley.
TILLY, C. (1986) The Contentious French. Cambridge, MA: Cambridge University Press.
TURNER, C. L. (1995) Japanese Workers in Protest: An Ethnography of Consciousness and Experience. Berkeley, CA: University of California Press.

0 komentar: