Selasa, 11 November 2008

Gerakan Pendudukan Tanah dan Demokratisasi di Zimbabwe: Kontradiksi Neoliberalisme*)

Gerakan Pendudukan Tanah dan Demokratisasi
di Zimbabwe: Kontradiksi Neoliberalisme*)

Sam Moyo**)

Pendudukan tanah di Zimbabwe sejak 1998 dan seterusnya yang banyak mendapat sorotan media massa di dunia merupakan bagian saja dari sebuah fenomena yang jauh lebih luas di sepanjang negara-negara Selatan. Di Amerika Latin dan Asia, sebagaimana di negara-negara lain di Afrika, telah bangkit gerakan pendudukan tanah secara besar-besaran. Meski bisa diamati adanya perbedaan-per¬bedaan lokal dan nasional, gerakan-gerakan ini berbagi keprihatinan yang sama akibat persoalan-persoalan agraria yang tidak diselesaikan secra tuntas; mereka juga berbagi tempat yang sama dalam analisis pem¬bangunan yakni sebagai bgian dari masalah ‘kaum miskin pedesaan’ dan sebagai bagian yang bergantung pada program-program ‘pembangunan desa’ ala negara kesejahteraan. Mereka juga sama-sama mengalami keterkucilan efektif dari sebuah ‘masyarakat sipil’ yang tunduk pada prosedur ‘kepatutan’ dan ide-ide politik ‘oposisi’ sesuai dengan langgam liberal. Langgam liberal ini men¬junjung tinggi organisasi sipil ‘independen’ (ketika ‘independen’ berarti kungkungan dari negara, bukan donor-donor swasta); menjunjung tinggi ‘demokrasi multipartai’ (pada suatu masa ketika partai-partai politik tidak lagi berbeda dalam politik substantif [neoliberal]-nya); menghargai ‘penegakan hukum’ (yang dirumuskan oleh kepemilikan pribadi), pengadilan ‘independen’ (yang berarti borjuis), serta pers ‘bebas’ (yang berarti swasta). Langgam ini secara mendunia telah meraih keyakinan dari kaum borjuis nasional dan telah mengkooptasi politik kelas pekerja yang ter¬organi¬sasi. Tak heran bila seiring dengan kian parahnya kemiskinan dan kian meruyak¬nya kekerasan di pedesaan selama dua dekade terakhir ini, telah bermunculan pula gerakan-gerakan pedesaan baik yang ter¬organisasi maupun spontan – di luar kerangka ‘masyarakat sipil’ – yang men¬coba meng¬ubah rezim kepemilikan turun temurun beserta proses-proses pembuatan kebijakan nasional.
Debat ‘demokratisasi’ di lingkaran akademis juga turut andil dalam meminggirkan gerakan pedesaan. Guna membenarkan penerapan sewenang-wenang liberalisasi ekono¬mi, arus utama pemikiran liberal pada tahun 1980an sibuk mengungkap watak ‘urban bias’, ‘ter¬tutup’, dan ‘korup’ di negara pascakolonial yang terbelit utang. Politik pedesaan, dan ter¬utama politik pertanahan, dengan demikian dianaktirikan. Pada tahun 1990an, arus utama pemikiran liberal mereposisi dirinya pada realitas-realitas ‘dasawarsa yang hilang’. Mereka mencoba meng¬akomodasi bangkitnya protes rakyat dengan mematut-matutkan yang terakhir ini ke dalam cetakan kemasyarakatan liberal demokrat. Kendati demikian, politik pedesaan terus disisihkan, karena teori baru ‘demokratisasi’ jadi sinonim dengan ‘transisi rezim’, yang dirumuskan sebagai penggantian sistem satu partai dengan pemilu multipartai yang kompetitif.
Tentunya, sepanjang perempat abad, cuma sedikit buah pena kaum liberal ditorehkan me¬ngenai keanekaragaman politik pedesaan, baik yang terorganisir maupun tidak terorganisir, yang banyak disorot maupun yang sedikit, yang bersenjata maupun tidak bersenjata. Manakala per¬soalan gerakan pertanahan ikut diangkat, pembahasannya melulu berkisar pada tipe ‘masyarakat sipil’ atau cenderung mendukung fungsi-fungsi ekonomis/kesejahteraan dari organisasi-organi¬sasi yang tampil menggantikan surutnya negara.
Sementara itu, teori gerakan sosial berkembang. Tapi di bawah panji ‘politik identitas’, ia ber¬hasil menyingkirkan gerakan-gerakan berbasis kelas, terutama kelas pedesaan, dari percaturan politik nasional dan global, paling banter memperlakukan mereka sebagai manifestasi budaya lokal yang tidak berada di bawah ‘teori besar’ manapun, tidak berkaitan secara analitis, dan tidak nyambung secara politis. Karena itulah James Scott, dalam salah satu sumbang¬an terpenting pada kajian politik pedesaan, mengisyaratkan bahwa gerakan-gerakan pedesaan ditakdirkan untuk terus bersifat lokal dan terpecah-pecah, menonjolkan ‘bentuk-bentuk pembang-kangan awam kesehari¬an’ dan menghindari konfrontasi terbuka dengan negara atau kelas-kelas yang lebih kaya.
Teori-teori gerakan sosial pada taraf ‘global’ tidak berfungsi lebih baik. Sekalipun berhasil men¬teori¬tisasi politik kelas pekerja, sejauh ini ia telah melupa¬kan makna politis dari gerakan-gerakan pedesaan. Sedikit perkecualian yang layak dicatat umumnya datang dari para pengkaji hubungan agraria yang terlibat dalam isu-isu global. Oleh sebab itu, penting kiranya untuk memulihkan arti penting masalah tanah dan menjelaskan kebangkitan ‘mendadak’ politik pedesa¬an serta makna ekstra legalnya, seperti yang diwakili oleh gerakan-gerakan pen¬dudukan tanah. Naskah ini akan membahasnya dengan merujuk kasus Zimbabwe.

* * *

Sejak dekolonisasi Zimbabwe tahun 1980, debat seputar masalah tanah negeri ini dan upaya-upaya untuk memecahkannya lewat perangkat instrumen pasar telah gagal untuk meluruskan warisan kolonial kepemilikan tanah yang sungguh tidak adil. Terlepas dari konsensus luas antara pemerintah Zimbabwe dengan komunitas internasional bahwa ada permasalahan tanah yang besar di negeri ini, resolusi atas masalah tersebut tetap tidak jelas. Penjelasan utamanya adalah bahwa masya¬rakat sipil yang didominasi kaum perkotaan, termasuk gerakan ornop, tidak pernah memprioritas¬kan agenda land reform, sementara masyarakat sipil pedesaan secara formal telah disisihkan dari debat pertanahan akibat mengalami kemiskinan berbasis kelas. Kemiskinan ini telah memasung gerakan-gerakan sosial pedesaan menjadi gerakan politik informal belaka dan mem-beri preseden bagi tampilnya organisasi yng berorientsi kebijakan serta kelompok-kelompok sipil kelas menengah yang lebih ter¬organisasi. Mereka ini biasanya mengadvokasikan metode-metode land reform yng ditur pasar serta isu-isu HAM liberal. Derasnya penyesuaian struktural, juga ‘demokratisasi’ multipartai, telah memperkukuh substansi liberal dari debat ini, karena gerakan-gerakan ‘oposisi’ telah mengamini kaidah-kaidah neoliberal. Dalam proses transisi menuju perekonomian liberal, politik pedesaan informal –dan pendudukan tanah khusus¬nya—tetap menjadi sumber utama bagi advokasi land reform radikal. Tentunya mereka berhasil mem¬pertahankan agar land reform tetap masuk dalam agenda.
Secara historis, Zimbabwe belum pernah punya masyarakat sipil terorganisasi yang mengemban tuntutan radikal atas land reform atau redistribusi tanah. Di bawah kekuasaan kolonial, perjuangan menuntut tanah dipimpin oleh gerakan pembebasan, dan pada tahun 1970-an diupayakan lewat perjuangan bersenjata. Semasa periode pasca kolonial, kelas menengah mendominasi kelompok-kelompok masya¬rakat sipil yang telah terbentuk, dan mereka ini memiliki hubungan kuat dengan bantuan internasional yang menghalang-halangi terjadinya land reform radikal. Sementara itu, organisasi formal akar rumput cenderung menjadi embel-embel dari organisasi masyarakat sipil yang disetir oleh kelas menengah. Tata kerja masyarakat sipil di pedesaan dalam sebuah kerangka kerja neoliberal dicirikan oleh tuntutan-tuntutan akan dana untuk ‘pemba-ngunan’ proyek kecil ditujukan pada segelintir penerima manfaat yang sudah terpilih. Kondisi ini nampak jelas sepanjang pedesaan Afrika. Dan di Zimbabwe khususnya, kondisi ini telah menyisakan kevakuman sosial politik dalam kepemimpinan agenda land ¬reform.
Dalam kevakum¬an strategis inilah, kelompok elit dari partai berkuasa, Front Patriotik Uni Nasional Afrika Zimbabwe (ZANU-PF), telah berinteraksi dengan gerakan-gerakan pendudukan tanah sejak 1980. Secara historis, pemerintah¬lah yang mengatur pendu¬duk¬an-pendudukan spontan dengan bersikukuh bahwa aksi ini menjawab masalah tanah demi ke-pentingan rakyat. Toh baru pada tahun 1997-lah, ketika pergantian kekuasaan terjadi dalam partai berkuasa dan para veteran perang menguasai panggung utama, inisiatif redistribusi tanah kembali mencuat menjadi pokok debat pembangunan, kini tertuang dalam wacana-wacana nasio¬nalisme dan pembebasan yang lebih populis, dengan memakai model-model redistribusi sentralistik.
Namun demikian, meski tuntutan elit-elit ini akan land reform baik di dalam partai berkuasa maupun partai oposisi menghindari isu-isu fundamental seperti restrukturisasi ekonomi dan pemerataan sumber daya, stagnasi ekonomi telah memungkinkan ZANU-PF untuk tetap memelihara isu ketim¬pangan historis redistribusi tanah. Lewat isu ini mereka bisa tetap mendominasi perolehan suara di pedesaan. Pada tahun 1997, penerapan pengambilalihan tanah secara paksa dengan metode sentralistik dalam skala masif dihem¬buskan oleh kelompok veteran perang. Meski sedikit dalam jumlah, kelompok ini berhasil me¬mobilisasi dukungan luas di pedesaan. Karenanya, gerakan pendudukan tanah boleh jadi dipicu dari pusat, namun menjadi berbeda-beda akibat banyaknya dorongan yang menyetir¬nya, termasuk aneka macam kepentingan lokal para veteran perang itu, para tetua tradisional dan pemimpin-pemimpin lainnya, serta kelompok-kelompok komu¬nitas informal.
Dalam konteks ini, pendudukan tanah telah menjadi fenomena sosial yang terus berlanjut di perkotaan maupun pedesaan Zimbabwe pra dan pasca kemerdekaan. Aksi ini memberi tekanan sosial bawah tanah atau tak resmi agar redistribusi tanah ditanggapi serius. Pendudukan tahun 2000-2001 menandai klimaksnya perjuangan demi tanah yang telah ber¬langsung lama, terpencar-pencar, dan kurang dikenal umum, di bawah himpitan kondisi-kondisi ekonomi yang diperburuk oleh serbuan perekonomian liberal dan reformasi politik.

Menilik Pengalaman Neoliberal Zimbabwe
Prospek akan demokratisasi dan land reform egaliter di Zimbabwe pupus akibat perubahan arah ke¬bijakan dari sosialisme ke neoliberalisme. Pemaksaan program-program penyesuaian struk¬tural di seantero Afrika pada tahun 1980-an dirasionalisasi dengan penjelasan tentang adanya ‘krisis’ ekonomi politik di Afrika. Beragam asumsi ilmu ekonomi neoklasik dan ilmu politik liberal dipakai untuk menjustifikasi kebijakan-kebijakan ini. Terlebih lagi, perubahan kebijakan ini diadopsi tanpa konsultasi dengan mayoritas rakyat, terutama kaum buruh, tani miskin, dan usaha kecil. Namun demikian, bisnis-bisnis besar, kelompok kulit putih pemilik ladang-ladang pertanian besar, dan borjuis kulit hitam yang mulai terbentuk, diwakili oleh Pusat Pengembangan Bisnis Pribumi (IBDC), mendukung kebijakan-kebijakan yang dihasilkan dengan konsultasi aktif Bank Dunia ini. Bila IBDC mengupayakan aksi afirmatif bagi para anggotanya, peme-rintah hanya menawarkan sedikit ke arah program redistribusi tanah yang sulit digapai itu. Reformasi ekonomi neo¬liberal ini karenanya mensyaratkan penye¬imbangan dari berbagai kepentingan kapitalis: kapitalis asing, kapitalis kulit putih lokal, dan kapitalis pribumi.
Dalam konteks penyesuaian struktural reformasi makro ekonomi, pergulatan kekuasan antara faksi pemilik modal kulit hitam dan kulit putih lokal yang masing-msing mem¬pengaruhi kebijakan publik yang terjadi selama ini, mem¬bayangi isu-isu redistribusi dan intervensi negara dalam pasar tanah. Namun demikian, faksi pemilik modal kulit hitam mencari posisinya dalam sistem bisnis yang sebelumnya didominasi elit kulit putih, pun dalam pertanian komersial, yng menjadi arah dari proyek ‘pempribumian’. Lobi pribumi menyerukan de-rasialisasi basis kepemilikan tanah pertanian komersial. Tentunya, korban pertama dari peralihan ke kebijakan liberal ini adalah masalah land reform itu sendiri.
Inter¬vensi pemodal kulit hitam menuju land reform komersial ini sesungguhnya disokong oleh organi¬sasi-organisasi tani besar kulit putih, kaum teknokrat, dan banyak ornop. Secara bersamaan mereka mengubah kriteria per¬syaratan akses terhadap tanah dari ‘tak bertanah’ menjadi ‘kapa-bilitas’ dan ‘produktivi¬tas’ sesuai dengan paradigma pembangunan global neoliberal. Sementara itu, reformasi ekono¬mi terutama hanya menguntungkan pemilik tanah skala besar kulit putih yang ada sekarang, karena kebijakan pemerintah cuma menawarkan sedikit investasi baru bagi pemo¬dal kecil kulit hitam dan tidak berbuat apa-apa untuk meredistribusi tanah, air, dan infrastruktur.
Bangkitnya kembali land reform dalam agenda negara-negara berkembang pada pertengahan tahun 1990an dan peluncuran ulang program relokasi pemukiman di Zimbabwe menandai fase mutakhir hubungan dialektis antara petani miskin, pemerintah, dan institusi-institusi global. Setelah program penyesuaian struktural gagal mewujudkan janji-janji pembangunan desanya, masalah tanah kembali mencuat sebagai masalah yang sah dalam agenda pengurangan kemiskinan Bank Dunia. Sementara pada level nasional, kegagalan yang sama membuahkan tuntutan agar partai berkuasa memenuhi janji-janji pembebasannya.
Sepanjang tahun 1990an, Zimbabwe menyaksikan krisis ekonomi politik yang mem¬buahkan konflik antara masyarakat sipil dengan pemerintah. Menyusul terjadinya pelarian modal dan pe¬nangguhan dana asing, ditambah dengan ongkos intervensi dalam konflik Kongo, pemerintah pusat menarik diri dari arah kebijakan neoliberalnya pada tahun 1998-1999.
Akibat warisan kolonial Zimbabwe, konflik mendarah daging atas masalah tanah diterjemah¬kan menjadi kompetisi politik yang intens dalam pemilu, yang pada gilirannya ditandai oleh polarisasi antara strategi radikalisme land reform dengan strategi pengalihan tanah secara konservatif. Sebelum pemilu parlemen bulan Juni 2000, para pemimpin ZANU-PF menyerukan percepatan pengambilan tanah dari ‘kulit putih’, sambil menghasut sekaligus menyokong timbulnya gerakan pendudukan. Sementara itu, para pemimpin oposisi Gerakan bagi Perubahan Demokratis (MDC) menyerukan proses pasar yang trans¬paran dalam peralihan tanah, tapi tidak mendefinisikan secara kongkrit proses pasar dimaksud. Kampanye tahun 2000 menjadi kampanye yang paling penuh sengketa dan kekerasan sepanjang sejarah pemilu Zimbabwe.
Partai berkuasa ZANU-PF berkampanye dengan slogan ‘Tanah Itu Ekonomi, Ekonomi Itu Tanah’. MDC berfokus pada manajemen ekonomi dan reformasi tata pemerintahan. Partai petani-petani kulit putih dan kelompok bisnis, serta dari organisasi-organisasi masyarakat sipil yang terhubung dengan dana donor. MDC menuduh partai berkuasa membagi-bagi tanah untuk kroninya, dan membuat isu tanah sebagai monopoli ZANU-PF padahal mereka dianggap gagal mengatasi masalah ini selama 20 tahun.
Aliansi MDC dan motif-motif mereka sehubungan dengan kampanye untuk ‘per¬ubahan’ (‘chinja’) membutuhkan analisis yang cermat. Gerakan-gerakan oposisi yang tumbuh sejak akhir tahun 1980an di Zimbabwe punya kepentingan politik yang sangat sempit. Mereka semua menca¬nangkan bebe¬rapa tuntutan yang sahih bagi demokratisasi, dalam kerangka pemilu liberal dan HAM, tapi tanpa tuntutan yang lebih luas akan redistribusi sumberdaya atau restrukturisasi eko¬nomi. Hanya Front Patriotik-Serikat Rakyat Afrika Zimbabwe (PF-ZAPU) pada tahun 1980an –yang bersama-sama ZANU-PF menjadi pe¬main dalam perjuang¬an pembebasan—yang memiliki agenda bawah tanah yaitu land reform radikal. Anjloknya per-ekonomian yang mengakibatkan munculnya oposisi terhadap ZANU-PF belum mem¬buahkan gerakan sosial demokrat sejati yang menuntut redistribusi hak-hak sosial politik berdasarkan pemahaman yang lebih kompleks atas gerakan-gerakan sosial. Yang timbul malah gerakan protes yang terpusat pada kawasan-kawasan perkotaan, yang berupaya menggulingkan Presi¬den dan menun¬tut pengurangan korupsi serta perbaikan masalah-masalah ekonomi jangka pendek, seperti tinggi¬nya harga kebutuhan pokok. Dengan begini ZANU-PF mampu terus me¬nguasai suara di pedesaan dengan memelihara penekanan pada pembenahan ketimpangan kolonial.
Debat msalah land reform sendiri berkembang pesat dalam periode pascakolonial. Tahun 1980an, tekanannya diberikan untuk menyelesikan ketidakpunyan tanh kibat proses di masa lalu dengan men¬dorong akses yang setara bagi sebagian besar penduduk pribumi. Harapannya, stabilitas politik bisa tercipta. Pada saat yang sama, land reform juga ditujukan untuk mencapai pertum¬buhan ekonomi dengan mem¬perluas produksi lewat kaum tak bertanah, mantan pengungsi, veteran perang, kaum miskin, dan mantan buruh tani komersial , serta mendorong ketahanan pangan nasional dan produktivitas optimal tanah.
Sesudah percepatan awal proses land reform pada tahun 1980an, ketika 3 juta dari target 8 juta hektar diredistribusikan kepada hampir 70.000 keluarga, lajunya pun melambat, target-target¬nya tidak tercapai dan masalah-masalah keadilan serta bias rasial (racial bias) dalam pasar ke-pemilikan modal dan sumberdaya sekali lagi menjadi amat mencolok mata. Tahun 1997, baru sekitar 800 petani kulit hitam yang menguasai sekitar 10% tanah pertanian komersial skala besar berbanding 4.000 orang kulit putih yang menguasai sekitar 10 juta hektar. Pemerintah berharap meredistribusi 50% tanah yang dikontrol kulit putih itu, tapi 5 juta hektar darinya masih menunggu dipindahtangankan. Selama 20 tahun terakhir, menjadi jelaslah bahwa land reform bukan sebuah peristiwa, melainkan sebuah proses yang bergantung pada kerangka kebijakan politik yang dipakai.
Apalagi, janji Inggris untuk membiayai peralihan tanah tidak seperti yang diharapkan. Tahun 1997, pemerintahan Partai Buruh Inggris yang baru dipilih mengajukan kebijakan bantuan baru berorientasi kemiskinan yang akan digunakan sebagai panduan dukungan bagi land reform Zim-babwe. Pemerintah Inggris menyangkal bahwa Inggris memikul tanggungjawab historis atas pengambilalihan tanah. Alasannya, mereka bukanlah ‘keturunan pemilik tanah’. Pemerintah Zimbabwe di bawah tekanan sayap radikal meresponnya dengan perolehn tanah paksa secara massal. Dalam negosiasi tahun 1996 antara kedua pemerintahan, timbul selisih pendapat antara pendanaan pengalihan tanah dan resep pengurangan kemiskinan yang didiktekan vis-à-vis pen¬dekatan ‘penerima manfaat potensial’. Perselisihan pendapat ini turut ber¬peran dalam mem-per¬keras strategi land reform. Tekanan internal oleh serikat-serikat tani, kaum teknokrat, bahkan akademisi senan¬tiasa meneguhkan sikap konservatif, sampai tuntutan para veteran perang tahun 1997 akan adanya akuisisi paksa atas 1.471 tanah pertanian menciptakan momentum baru bagi land reform radikal.
Penangguhan sementara dari tuntutan radikal untuk pengalihan tanah secara massal, yang muncul dari Kon¬ferensi Negara Donor tahun 1998 dan menyerukan pendekatan bertahap berjudul ‘Rancangan Kerangka Kerja Tahap Awal’, lemah karena tanpa jaminan. Gerakan oposisi tidak mendukung agenda land reform radikal tapi malah menggema¬kan seruan pendonor akan adanya transparansi, pengurangan kemiskinan, penegakan hukum, serta stabilisasi ekonomi makro¬. Hal ini berdampak dengan kian radikalnya ZANU-PF serta peme¬rintah Zim¬babwe, yang berbuntut dengan aksi langsung pendudukan tanah-tanah pertanian oleh beberapa komu¬nitas desa pada tahun 1998.

Politik Formal dan Perkembangan Gerakan Pendudukan Tanah
Penolakan RUU Februari 2000 merupakan cikal bakal pendu¬dukan tanah yang terjadi sekarang di Zimbabwe. Klausul-klausul yang diajukan pemerintah dalam RUU itu menegas¬kan hak akuisisi paksa dan mengkualifikasikan kriteria pasar yang sudah ada untuk ganti rugi tanah, mem¬bolehkan ganti rugi membayar hanya untuk perbaikan. Dewan Konstitusi Nasional, MDC, serta Serikat Tani Komersial (CFU) mati-matian berkampanye me¬nen¬tang RUU ini, yang mengakibatkan kekalahan¬ RUU ini dalam referendum. Sebentar sesu¬dah¬nya, 12 orang veteran perang menduduki tanah-tanah pertanian di Masvingo sambil menuduh bahwa para petani kaya kulit putih telah ber¬komplot untuk mengalahkan RUU ini dalam referen¬dum. Asosiasi Veteran Perang Pembe¬basan Nasional Zimbabwe menyokong pendudukan tersebut dan menyerukan adanya aksi susulan sebagai sebuah cara untuk menunjukan betapa tanah begitu dibutuhkan. Tatkala pemimpin asosiasi veteran perang dan partai ber¬kuasa menyadari pada akhir bulan Maret bahwa petani-petani kulit putih secara aktif berkam¬panye untuk MDC, dan men¬dorong para buruh tani mereka berbuat hal yang sama, pendudukan tanah jadi mengganas, dan saling berkelindan dengan kampanye politik untuk pemilu parlemen bulan Juni.
Sebelum menganalisis pendudukan ini dengan lebih rinci, penting kiranya untuk mengulas politik formal pedesaan, karena tak ada apapun yang secara hakiki bersifat ‘informal’ dalam politik kaum tani. Dalam formulasi kebijakan pertanahan, keterwakilan petani gurem, kaum miskin pedesaan, dan kaum tak bertanah dianggap terorganisasi lewat jalur politik konstituen, yang dido¬minasi oleh partai berkuasa dan Serikat Tani Zimbabwe (ZFU). ZFU mengklaim mewakili semua petani kulit hitam yang secara historis didiskriminasi oleh negara dan terus menderita akibat bias kebijakan serta distorsi pasar yang marak dalam struktur agraria bimodal di Zimbabwe. Nyatanya, keanggotan mereka sangat beragam dan kebi¬jakannya diputuskan oleh sekelompok elit petani ‘mampu’ yang menuntut bebas seluasnya memakai tanah demi tujuan-tujuan produktif. Tuntutan ini jauh dari mewakili tuntutan mayoritas petani kulit hitam, yang kelihatannya lebih realistis tercermin dalam pendudukan ‘informal’.
Pada saat yang sama, sebagian besar ornop tumbuh dengan tradisi “kesejahteraan sosial” dan “penanganan situasi darurat” dan karenanya tidak menangani isu-isu struktural. Mereka dipimpin oleh kelas menengah dan minoritas rasial, dan memfokuskan diri pada hak-hak politik dan sipil, bukan pada hak-hak sosial ekonomi serta keadilan sosial yang dilandasi redistribusi. Apalagi, ada mitos di kalangan kelas menengah bahwa kaum miskin merusak tanah sementara sektor-sektor komersial skala besar menggunakannya secara efisien. Fokus ber¬lebihan mereka pada skema-skema ‘perlindungan’ tanah ditujukan untuk mendidik kaum tani mengenai pemanfaatan tanah secara berke¬lanjutan, bukan mengenai redistribusi tanah. Secara umum, ornop-ornop berbasis pedesaan serta struktur masyarakat yang lebih luas telah dan tetap menjadi kekuatan reaksioner ketimbang kekuatan pemantapan agenda.
Sampai sekian tahun lalu, sebelum munculnya Koalisi Perempuan dan Kelompok Lobi Perempuan untuk Tanah (WLLG), tak ada ornop lokal –selain ZERO—yang mengkampanyekan land reform di Zimbabwe. Beberapa ornop berpendapat bahwa terlibat dalam land reform itu rumit karena melibatkan kepentingan negara di dalamnya dan dalam perpolitikannya. Namun mereka, ornop-ornop, bisa dengan gampangnya turut memo¬bilisasi sumberdaya bagi para pemukim di tanah-tanah pertanian yang diakuisisi peme¬rintah atau bahkan menegosiasikan pengalihan tanah dengan pemilik tanah dengan harga wajar (bila me¬reka memilih garis konservatif); atau memobilisasi pengambilalihan tanah, pengembalian (restitusi) tanah dan pampasan tanah untuk kaum miskin pedesaan (bila mereka radikal).
Namun demikian, pada tataran ideologis, banyak ornop lokal sepertinya menentang land reform. Segelintir proposal ornop Zimbabwe yang benar-benar meng¬ulas land reform hanya berupaya melatih orang-orang yang dimukimkan kembali tapi nyaris tidak men¬coba menga¬jukan tuntutan akan pengalihan tanah yang lebih besar. Baru belakangan ini, ornop-ornop seperti Inyika Trust dan National Development Assembly meng¬agitasikan redistribusi tanah. Keter¬libatan terbaru apapun dari kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam land reform harus bertujuan memperluas akses dan hak akan tanah untuk kaum tak bertanah dan sektor-sektor yang tersisihkan dalam masyarakat, seperti perempuan dan buruh tani.

Gerakan Pendudukan Tanah
Pendudukan tanah di Zimbabwe telah dikonseptualkan dalam beberapa cara. ‘Invasi tanah’ adalah istilah umum yang dipakai untuk memberi pandangan miring atas ‘aksi penyerobotan’ tanah pertanian yang diorganisasi oleh para veteran perang. Invasi mencakup kunjungan semen-tara yang ber¬langsung hanya sekian hari, serta kunjungan sporadis yang berulang-ulang dan tidak diikuti aksi menetap berkepanjangan. Kadang istilah ‘pendudukan tanah’ atau ‘pendudukan ilegal’ dipakai pihak-pihak yang bersikap lunak terhadap aksi ini. Zaman dulu, pendudukan tanah dirujuk dalam jargon hukum Zimbabwe sebagai ‘pemukim liar’. Istilah ‘penyerobotan’ lazim dipakai, terutama di media, untuk mencakup berbagai jenis fenomena termasuk pengambil¬alihan tanah secara langsung lewat perjuangan pembebasan bersenjata dan penaklukkan. Istilah-istilah ‘nasionalisasi tanah’ atau ‘penggusuran tanpa kompensasi’ tidak lajim dipakai dalam debat-debat nasional, kecuali sesekali dalam laporan media internasional dengan merujuk peralihan tanah dengan paksa, bukan pendudukan.
Sedangkan penyerobotan tanah atau bahkan ‘perampasan’ tanah cenderung digunakan ter¬utama oleh media independen untuk menegaskan aksi politik negatif ZANU-PF dan para veteran perang. Sebaliknya, praktek ‘demonstrasi tanah’ digunakan oleh pemerintah dan/atau ZANU-PF untuk menegaskan aspek simbolis pelanggaran ini dan untuk menggarisbawahi bahwa cuma pe¬merintah lah yang punya hak hukum untuk mengperalihan tanah. Ada juga ‘pendudukan oportu¬nistik’, yang tidak diterima secara formal. Istilah ini kadang dipakai untuk merujuk kasus-kasus pendudukan oleh kelas menengah dan pemukim perkotaan serta para kriminal yang meng¬hendaki akses pribadi atas tanah dengan dalih ‘revolusi’. Dilaporkan juga bahwa beberapa politisi, pe¬bisnis, dan intelektual lokal kemungkinan mengambil keuntungan dari pendudukan ini, bahkan memperoleh akses tanah yang ditargetkan bagi kaum yang lebih miskin.
Konseptualisasi-konseptualisasi pendudukan tanah yang demikian ini mencerminkan bentuk-bentuk partisipasi yang kian meluas. Pada taraf tertentu, tumbuh ikatan politis antara negara dengan berbagai macam kekuatan sosial tingkat nasional dan lokal yang membentang menembus batas-batas kelas. Ikatan ini melawan tekanan-tekanan inter¬nasional yang menentang redistribusi dan membela kepentingan-kepentingan rasial picik atas tanah. Pendudukan tanah intensif yang dialami Zimbabwe hari ini tidak serta merta baru karena aksi ini secara konsisten telah mengiringi atau mempengaruhi upaya-upaya pemerintah dalam mengperalihan tanah di masa lalu, entah lewat prosedur paksaan atau prosedur pasar.
Amendemen UUD dan UU Peralihan tanah mencerminkan upaya formal besar dalam melawan aturan-aturan paksaan tentang hak kepemilikan tanah kolonial. Amandemen yang dimak¬sudkan untuk merespon tekanan-tekanan organik maupun populer yang ditimbulkan oleh aksi pen¬dudukan telah memicu perdebatan. Selama 20 tahun terakhir pendudukan tanah telah melintasi berbagai macam kategori kepemilikan: milik kulit putih, milik negara, dan tanah komunal. Pendudukan tanah juga menghebat pada akhir tahun 1980an di zona-zona perbatasan lembah Zambezi. Selama ber¬tahun-tahun, tanah negara menjadi sasaran empuk pendudukan, terutama di Matebeleland dan Manicaland tempat hutan dan taman-taman berlimpah ruah. Karenannya, meski pendudukan tanah masih masuk dalam agenda pembangunan nasional dan HAM, organisasi-organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta tidak begitu menggubrisnya.
Sepanjang tahun-tahun itu, watak pendudukannnya sedikit berubah tapi esensinya tetap sama. Fase pertama pendudukan tanah bisa diistilahkan ‘intensitas tinggi, sorotan rendah’ (‘low profile, high intensity’). Proses ini berlangsung di se¬penjuru negeri sejak tahun 1980 sampai 1985, sementara proses paralel per¬cepatan pemukiman kembali tanah –dibiayai terutama oleh dana Inggris—diperkenalkan untuk mem¬formal¬kan sebagian aksi pen-dudukan ini, serta meredakan tekanan-tekanan soal tanah yang berlangsung serempak. Penduduk¬an tanah tahap awal ini dikepalai oleh komunitas-komunitas tak bertanah pimpinan para veteran perang, ZANU-PF, ‘buronan’ (terutama di Matebelelan), serta tetua-tetua tradi¬sional lainnya seperti dukun. Dengan diam-diam mereka didu¬kung oleh struktur ZANU-PF dan PF-ZAPU, sekalipun basis politik mobilisasi ini tidak menyulut kehebohan publik.
Periode antara 1985 sampai 1996 menyaksikan apa yang bisa kita sebut dengan istilah relatif ‘pendudukan berintensitas rendah normal’ (‘normal low intensity occupations’). Periode ini berlangsung dalam konteks liberalisasi eko¬nomi dan susutnya sumber daya bagi kelanjutan pemukiman kembali, yang berbuntut dengan banyak¬nya warga kehilangan lapangan kerja di wilayah-wilayah kota dan pertambangan. Sepanjang tahun 1990an, komunitas-komunitas tak bertanah meningkatkan pendudukan ‘ilegal’ dan memburu sumberdaya alam di tanah milik swasta, negara, ‘komunal’, serta wilayah-wilayah perkotaan. Dengan menduduki tanah tidur terbengkalai, yang kebanyakan terletak di zona perbatasan perang pembebasan Dataran Tinggi Timur, ko¬munitas-komunitas ‘pemukim liar’ lokal menjadikan diri mereka sebagai kelompok penerima manfaat. Pendekatan pendudukan ‘terpimpin oleh komunitas’ ini mem¬buahkan proses identifikasi tanah informal. Pemerintah pusat membeli tanah yang diduduki dengan harga pasar, dan karenanya memformalkan pendudukan yang dikenal sebagai ‘land reform normal yang berlangsung intensif’ (‘normal intensive land reform’).
Oleh sebab itu, pendudukan ini tidak bisa diklaim berlangsung spontan. Debat di Zimbabwe terlampau menyederhanakan masalah antara spontanitas pendudukan tanah vis-à-vis penyero¬botan yang dimobilisasi secara politik. Jarang sekali dalam 20 tahun terakhir ini pendu¬dukan berlangsung spontan, karena sebagian besarnya dirancang lewat gerakan pembebasan, polisi-polisi militer lokal, atau fungsionaris-fungsionaris parpol. Meski intensitas dukungan politik bagi para pelaku pendudukan berbeda-beda dalam bentuknya, substansinya serupa. Bah¬kan ketika negara memberlakukan pengusiran besar-besaran terhadap ‘pemukim liar’ selama periode 1985-1993, pihak berwenang masih masa bodoh terhadap banyak kasus ini.
Namun demikian, pemerintah memakai pengusiran paksa untuk menghambat pendu¬dukan tanah, terutama selama transisi menuju kerangka kerja kebijakan ekonomi liberal. Brutalitas pengusiran ini, baik yang digelar oleh polisi maupun petani kaya, mengingatkan orang akan zaman kolonial. Kondisi ini disertai dengan meningkatnya serangan kekerasan dari para pemilik tanah terhadap pelaku-pelaku pen¬dudukan ilegal. Serangan kekerasan dilakukan terutama oleh petani-petani kulit putih yang kerap beraksi dengan kongkalikong negara secara diam-diam atau terang-terangan. Perjuangan rakyat demi tanah atau tanah yang ‘diperoleh sendiri’ telah dikekang oleh pemerintah lewat ‘kebijakan pemukim liar’-nya, yang disusul dengan janji-janji basi redistribusi tanah dan skema-skema bantuan agraria lainnya yang ditujukan untuk meningkatkan intensitas penggunaan tanah area komunal dan mengembalikan keadaan ke situasi normal. Namun sebagai konsep, ‘pemukiman liar’ tergolong problematis dan gampang dimanipulasi karena istilah tersebut memperoleh maknanya dalam kerangka moral tertentu yang dikodifikasi sebagai ‘hukum’ oleh negara. Shiku menunjuk¬kan bahwa UU Rhodesia mendefinisikan pemukim liar sebagai ‘seorang Afrika yang rumahnya kebetulan bertempat di kawasan yang dicanangkan sebagai kawasan orang Eropa atau dipisahkan dengan alasan-alasan lainnya’.
Bagaimanapun, kebijakan pemukim liar telah gagal mengurangi aksi pendudukan tanah, terutama akibat problem legitimasi di tingkat lokal. Malah selama tahun 1990an tuntutan redistribusi tanah berkembang di kaum miskin akibat meningkatnya kemiskinan dan pengurangan pekerja, begitu juga di kalangan kaya yang berupaya menimbun modal dengan mengeksploitasi tanah dan sumberdaya alam guna berekspansi dalam pasar baru yang kian bertumbuh.
Fase terakhir pendudukan tanah –intensitas tinggi dan banyak disorot—dimulai tahun 1997, meski banyak cendekiawan, analis politik, dan beberapa media dengan enak saja melupakannya karena terfokus pada peristiwa-peristiwa yang terjadi seusai referendum konstitusi. Bulan Sep¬tember 1997, gerakan pendudukan tanah oleh komunitas marak kembali, dan kali ini lebih banyak disorot. Pendudukan lain pun mulai bermunculan secara terpencar-pencar, dengan tujuan gam¬blang membagi-bagi tanah dari petani kulit putih kepada penduduk desa tak bertanah serta veteran perang. Pendudukan ini memperkuat pendudukan-pendudukan tanah lainnya di seluruh negeri yang sudah berlangsung namun kurang mendapat sorotan. Pendudukan-pendudukan ini terjadi bergelombang, dimulai dengan hanya sekitar 30 kasus pada tahun 1997, kebanyakan pada tanah pertanian yang sudah masuk identifikasi akuisisi paksa. Pemukim-pemukim liar ini kemudian ‘setuju menunggu’ pemukiman kembali secara teratur. Dalam beberapa kasus mereka diusir oleh pemerintah pada tahun 1998. Namun demi¬kian, skala dan bentuk pendudukan tanah di Zimbabwe telah menjadi topik perang pro¬paganda di media dan internet. Asal muasal pendudukan ini, begitu pula kontrol terhadap¬nya, sibuk dipertikaikan.
Ronde terbaru pendudukan tanah bisa dianalisis dalam berbagai macam dimensi efek-efek yang ditujunya, yang berusaha dicapai secara individual atau berkombinasinya dengan yang lain. Niat yang beragam ini juga mencerminkan perspektif dan tujuan ‘sayap-sayap’ yang berbeda dalam partai berkuasa. Kaum ekstremis mengupayakan ‘pengambilalihan’ tanah secara langsung lewat penyerobotan fisik, sementara para pemimpin jalan tengah yang lebih ‘liberal’ hanya mencoba menunjukkan hak rakyat Zimbabwe untuk melakukan peroleh tanah secara. Namun demikian, dimensi-dimensi dasar ini menunjukkan kompleksitas prosesnya. Awalnya proses ini memiliki kerangka dan tujuan politik (partisan dan non-partisan, berorientasi pemilu atau tidak), lantas ia membumi secara sosial dengan menyulut sentimen-sentimen untuk mengambilalih tanah yang didasari kegeraman atas ketidakadilan sejarah.
Pada taraf lain, pendudukan tanah bisa dipandang sebagai proses mobilisasi konstituensi sosial yang meluas dari pelaku pendudukan. Karenanya, aksi ini menciptakan legitimasi politik bagi pem¬berlakuan peralihan tanah dengan paksa secara sah dan masif. Memang, watak yang murni politis dari gerakan pendudukan tanah ini hanya bersifat sementara. Setelah pemilu pemerintah dan veteran perang mengganti basis tanah-tanah pertanian dengan menyertakan tanah garapan pro¬duktif, tunduk di bawah kriteria kebijakan lainnya mengenai kepemilikan tanah berganda, kepemilikan asing, dan kaitannya dengan area komunal.
Dalam beberapa kasus, tanah-tanah pertanian yang dimiliki oleh politisi atau tokoh-tokoh kelas atas kulit hitam bertentangan dengan perspektif pempribumian dari kelompok radikal ZANU-PF. Beberapa aliansi kelas entah yang mendukung atau menentang pen¬dudukan juga bermunculan. Dalam kasus-kasus tertentu, veteran perang bersekutu dengan petani dan buruh tani. Namun dalam sebagian kasus lainnya, kaum tani menolak dibujuk untuk ikut dalam pendudukan. Ter¬gantung pada ‘kelakuan’ pemilik tanah pertanian, beberapa buruh tani dan veteran perang bergabung bersama untuk menyingkirkan para pemilik itu. Anggota-anggota borjuis kecil per¬kotaan juga bergabung dalam pendudukan. Mayoritas kaum urban ini lebih menentang anarki di tanah pertanian ketimbang aksi pendudukannya itu sendiri.
Pertanyaan siapa gerangan yang terlibat pendudukan sekarang ini telah menjadi topik debat kusir yang tujuan utamanya adalah mengecilkan pentingnya kepemimpinan para veteran perang dan tingkat kapasitas mereka untuk mengadakan aksi pendudukan yang menyebar luas. Maka dari itu, di satu sisi tentara dan pemerintah dicap sebagai pemimpin, sementara anak-anak, kaum muda, dan kaum perempuan katanya dibujuk, dibayar, atau malah dipaksa untuk turut serta dalam pendudukan. Alhasil, pendudukan ini dianggap buat-buatan atau palsu atau sekedar mobilissi untuk pemilu. Namun demikian, fakta bahwa buruh-buruh tani dan rakyat dari wilayah tanah komunal –ter¬masuk mereka yang masuk dalam daftar tunggu pemukiman kembali—telah bergabung dalam aksi pendudukan ini guna memperluas peluang mereka untuk pemukiman kembali, belumlah cukup dianalisis secara layak. Karenanya, tekanan-tekanan lokal yang hidup berurat berakar untuk land reform, bahkan amarah akibat ketidakadilan dan perampasan di masa lampau, dipandang remeh dalam kritik ini.
Salah satu pokok pertikaian utama dalam debat pendudukan tanah Zimbabwe ini adalah sam¬pai tahap mana aksi ini dipimpin oleh struktur komando homogen di bawah kepemimpinan tunggal ZANU-PF yang terkait dengan pemimpin-pemimpin militer dan kepala negara. Peng¬amatan empiris menunjukkan bahwa seiring dengan pendudukan-pendudukan tahun 2000 yang digerakkan secara terpusat, berlangsung pula banyak pendudukan yang timbul dari formasi-formasi organisasional dan kepentingan-kepentingan yang jauh lebih beraneka ragam. Kepen¬tingan-kepentingan ini mencakup kepentingan para gubernur propinsi yang dipandang lebih militan dalam urusan land reform, cabang independen tertentu dari ZNLWA, polisi-polisi militer secara individual, serta pinisepuh-pinisepuh tradisional lainnya. Dalam banyak kasus terlihat bahwa ZNLWA datang untuk menghegemonisasi inisiatif-inisiatif lokal.
Ada pula pendudukan yang digerakkan secara lokal dan terpencar. Di sini para veteran pe¬rang memainkan peran utama, meski keterlibatan mereka bisa dipandang bertentangan dengan komando pusat dalam soal tanah yang mana dan bagaimana yang harus diduduki. Hal ini mem¬buahkan terbentuknya banyak serikat-serikat tani semiotonom yang terdiri dari para veteran perang, anggota-anggota komunitas, dan kaum urban yang berasal dari kawasan itu. Terdapat juga berbagai macam pendudukan tanah lokal yang disulut oleh komunitas dan baru ‘diformal¬kan’ atau ‘dilegitimasi’ nantinya oleh upaya para veteran perang untuk seakan-akan memimpin pendudukan ini. Berbagai jenis pendudukan ini mencakup pendudukan yang diketuai pinisepuh-pinisepuh tradisional atau orang-orang terkemuka serta mereka yang terdorong oleh hasrat me¬nuntut ganti rugi atas tanah yang memiliki nilai spiritual atau didasarkan pada klaim-klaim spesifik lainnya.
Varian lainnya meliputi pendudukan yang dipimpin oleh komunitas-komunitas yang me¬men¬dam masalah dengan petani-petani kaya. Kasus-kasus demikian melibatkan para tuan tanah yang memiliki riwayat menentang gerakan pembebasan atau pernah memperlakukan kasar buruh-buruhnya. Sejumlah petani kaya diidentifikasi terkait dengan oposisi selama pemilu 2000. Sejumlah pendudukan tanah oleh komunitas ini berlangsung di propinsi-propinsi dan distrik-distrik yang didominasi oleh pemilih MDC, seperti Matebeleland. Menurut dugaan, di sana telah terbentuk aliansi antara kepentingan-kepentingan kelompok oposisi dengan para veteran perang guna mengamankan tanah. Selain itu, ada juga pendudukan yang dipimpin oleh kelompok-kelompok urban yang memobilisasi beberapa unsur komunitas mereka, termasuk veteran-veteran perang dan birokrat-birokrat lokal guna mensahkan pendudukan itu. Manakala veteran lokal ini berhadapan dengan mereka yang diorganisasi secara terpusat, bisa kita temui adanya kontradiksi-kontradiksi penting, perselisihan, dan negosiasi dalam proses dan gerakan pendudukan.
Di beberapa lokasi, kita saksikan pendudukan tanah yang ditimbulkan oleh rencana kelompok-kelompok tertentu mengenai penggunaan tanah, alokasi, kontrol hasil tanam, dan penerima keuntungan, yang berbeda dengan apa yang disajikan oleh pemerintah daerah. Dalam banyak kasus, kita lihat ikut masuknya buruh-buruh tani ke dalam proses land reform. Terlepas dari persepsi tentang angkatan kerja pertanian yang sebagian besarnya bukan warga Zimbabwe, 80%-nya ternyata orang Zim¬babwe dan telah berulang kali turut serta dalam gerakan pendudukan, bertentangan dengan pendapat bahwa me¬reka tidak terlibat dan selalu bertikai dengan veteran perang dan dimarjinal¬kan oleh negara. Namun demikian, penting untuk mengakui kecemasan Serikat Buruh Tani dan Perkebunan Umum Zimbabwe (GAPWUZ) bahwa banyak buruh tani dibuat menganggur dan menjadi gelandangan oleh aksi-aksi pen¬dudukan. Masalahnya adalah: sebagian besar perdebatan ini terkait pada ekspektasi jumlah lapangan kerja yang hilang akibat peralihan tanah secara paksa, yang sejauh ini belum rampung. Datanya lebih cenderung spekulatif ketimbang aktual.
Perlu kita tambahkan dalam evolusi kompleks gerakan pendudukan ini rembesan aspek-aspek kriminal dan aji mumpungnya, ketika ada orang-orang yang mengaku-aku sebagai veteran perang atau anggota partai berkuasa memanfaatkan gerakan ini untuk meng¬ancam petani dan menguras uangnya, memburu satwa liar dan kayu bakar atau menuntut hak bagi-hasil atas panenan petani kaya atau bahkan menggunakan petak-petak tanah itu untuk aktivitas bercocok tanam mereka sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa ‘gerakan’ ini tidak gampang dikelola oleh partai-partai politik. Dalam konteks ini, unsur-unsur ‘radikal’ dalam ZANU-PF, yang secara proaktif mendukung pen¬dudukan tanah, menjadi terbebani dalam membenarkan gerakan ini gara-gara aspek pelanggaran hukum serta kekerasannya yang liar dan sporadis.
Dalam konteks ini kita lihat bahwa baik ZANU-PF maupun negara telah mengekor gerakan sosial dan mencoba mengkooptasi serta memasukannya dalam kerangka program peralihan tanah yang sedang berjalan. Tentunya, tindakan mendaftar lebih dari 3.000 tanah pertanian untuk akuisisi paksa mencerminkan bukan hanya respon antisipatif atas agresi petani, tapi juga yang lebih pen¬ting lagi, sebuah upaya penciptaan ruang fisik untuk mengakomodasi gerakan pendudukan yang menjamur, sembari menegosiasikan dukungan komunitas internasional untuk land ¬reform Zimbabwe.

Implikasi bagi Demokratisasi
Hikmah yang bisa dipetik dari pengalaman Zimbabwe mengenai pentingnya gerakan sosial yang berbeda adalah, meskipun peran dan aksi mereka boleh jadi bertentangan, mereka juga bisa menyediakan dasar bagi isu-isu semacam demokratisasi dan land reform untuk gerakan progresif. Namun demikian, mereka juga bisa menghasilkan dampak negatif dalam bentuk kekerasan dan penghapusan hak-hak sipil. Di Zimbabwe, bisa diharapkan bahwa efek-efek demikian relatif ber¬jangka pendek, dibanding dengan manfaat jangka panjang mengakhiri luka sejarah dan menjawab sebuah masalah yang telah diingkari selama 20 tahun oleh model rekonsiliasi yang tidak men¬cakup keadilan atau perbaikan.
Ada satu pelajaran umum tentang bagaimana sebuah kebijakan formal bisa berubah dan di¬asah dalam waktu yang begitu singkat, setelah statis dalam jangka lama. Terjadi per¬alihan besar dalam kebijakan pertanahan Zimbabwe lima tahun belakangan, terutama dua tahun terakhir ini, yang telah menyaksikan debat politik bergerak menuju opsi-opsi yang lebih radikal akibat gagal¬nya negosiasi. Implikasi utamanya adalah sebagian besar pemain terdorong untuk mengupayakan pengalihan tanah dalam kerangka hukum peralihan tanah secara paksa, bahkan sekalipun ini dilakukan di bawah ancaman aksi yang keras nan spontan. Pengalihan macam ini kini sedang didiskusikan dengan kadar skala yang jauh lebih besar dan laju yang jauh lebih cepat.
Ada sejumlah implikasi positif bagi pendudukan tanah yang berlangsung saat ini. Pertama, pembagian tanah akan meningkatkan kemungkinan partisipasi dalam perekonomian bagi sego¬longan luas kaum miskin pedesaan dan perkotaan serta kelas menengah. Manfaat-manfaat ekonomis akan membentuk dasar bagi terciptanya kebijakan pedesaan dan agraria yang lebih positif dan parti¬sipatif. Kedua, pengalihan tanah akan memperlemah hegemoni dan segregasi mino¬ritas kulit putih yang diuntungkan saat ini. Proses ini akan menggugat kondisi kerja dan peng-hidupan yang tak layak dari buruh tani serta hak-hak mereka yang timpang, mempertanyakan ke¬tidak¬adilan yang ditimpakan pada mereka oleh pemilik tanah, dan mengangkat isu hak mereka sendiri atas tanah. Pengakuan atas kebutuhan untuk menangani apa yang menimpa buruh-buruh tani akan menyingkap pembelaan palsu atas hak buruh oleh petani-petani komersial dan beberapa ornop yang lebih menyukai status quo dan mengungkapkan pemasungan politik (yang dilakukan beberapa petani komersial dan ornop). Ketiga, pengalihan tanah akan membuat sektor pertanian kian efisien dengan melibatkan lebih banyak orang dalam proses produksi.
Diterapkan berbarengan dengan de-konsentrasi atau penyusutan penguasaan tanah, peralihan tanah dan pemukiman kembali akan memperbanyak jumlah petani komersial dari 4.500 yang ada sekarang dan melibatkan lebih banyak pribumi kulit hitam dalam pertanian-pertanian komersial berskala lebih kecil. Bila semua petani komersial ini mengadopsi metode-metode yang lebih efisien, mereka bisa berproduksi lebih ba¬nyak pada tanah yang tersedia buat mereka dibandingkan dulu.
Keempat, pendudukan juga telah mengkonfrontasi kelamnya hubungan antar ras di masa lampau dan masa sekarang dengan memaksa adanya interaksi dan diskusi intensif antara kulit putih dan kulit hitam dalam peran yang berbeda. Gerakan ini juga mengangkat isu tentang berbedanya nilai nyawa kulit hitam dan nyawa kulit putih, sebagaimana yang tercermin dalam liputan media internasional, dan menantang gagasan rekonsialisi tanpa kebenaran, keadilan, dan perbaikan.
Kelima, muncul seruan luas menuntut ganti rugi oleh tetua-tetua adat, dukun, dan lain-lainnya, yang mulai mengklaim kembali hak historis mereka atas tanah dan sumberdayanya dengan dasar nilai kesucian atau budaya di samping potensi produktifnya. Umpamanya di Distrik Mazowe, tiga dari limabelas pendudukan tanah dilakukan untuk memulihkan tempat-tempat keramat.
Akhirnya, tuntutan akan tanah oleh rakyat Zimbabwe telah menjadi perhatian komunitas internasional, termasuk ornop-ornop neoliberal. Media telah menjadi penerima dan sumber informasi demikian, meski minat mereka sekarang ini cenderung menguatkan kesan bahwa situasi ini baru berlangsung sekarang. Konfrontasi ini telah menyoroti andil Inggris dalam masalah ini dan mengubah persepsi akan land reform dari isu pembangunan menjadi isu ganti rugi dan keadilan.
Dalam pengertian itu, pengalaman Zimbabwe menggemakan pengalaman Chiapas di Ameri¬ka Latin, yang melalui jenis-jenis baru gerakan informal berhasil merebut dan memper¬tahankan ruang untuk mereka, ruang tempat mereka diakui dan bisa menjalankan negosiasi langsung dengan petani-petani kaya dan negara. Di Zimbabwe, perserikatan-perserikatan macam ini, termasuk Serikat tetua-tetua adat tradisional Nharira serta Serikat Nyabire, boleh jadi dimobilisasi oleh veteran perang, tapi mereka kini telah mengambil bentuknya sendiri dan sulit bagi peme¬rintah untuk mengabaikan mereka. Mereka melibatkan kelompok-kelompok perkotaan dan pe¬desaan, termasuk kaum miskin, elit, dan tetua-tetua tradisional dari distrik-distrik yang tanahnya telah direncanakan masuk dalam akuisisi paksa dan/atau malah sudah diduduki. Mereka menyusun aturan-aturan seperti memfokuskan aktivitasnya pada tanah tidur, bukan mencuri properti kaum tani kaya dan mengendalikan kekerasan.
Namun demikian, ideologi mereka umumnya antikolonial, menentang rasisme kulit putih dan didasarkan pada campuran antara kemandirian dengan surplus produksi dan penjualan. Secara bertahap mereka terlihat mempersempit gerak otoritas-otoritas tradisional seraya para veteran dan buruh perkotaan menduduki posisi-posisi kunci dalam perserikatan-perserikatan macam ini.
Semua hasil positif yang dipaparkan di atas merupakan kondisi yang perlu bagi demokrati¬sasi. Namun demikian mereka belum memadai dan beberapa aspek negatif juga timbul. Kajian-kajian terdahulu semuanya telah meramalkan bahwa pembagian tanah yang tidak merata akan menyulut pertikaian-pertikaian ganas di masa depan. Para pengambil kebijakan dan kaum tani kaya tidak menanggapi serius ramalan ini seraya melanjutkan sikap laissez faire mereka terhadap land reform. Terlepas dari pengamatan ini, merebaknya kekerasan telah berdampak ne¬gatif, ter¬masuk pada pemilu parlemen tahun 2000, yang mengakibatkan hilangnya keamanan fisik dan ancaman pada partisipasi politik.
Penggunaan kekerasan memang terjadi, meski skalanya dilebih-lebihkan dan secara keliru dijadikan titik perhatian dari seluruh isu land reform. Sesungguhnya, dibandingkan dengan tingkat ke¬kerasan di pedesaan dan perkotaan Afrika Selatan, Irlandia, atau Brazil, yang terjadi di Zim-babwe tergolong rendah. Kekerasan meningkat sebagai imbas anjloknya perekonomian dan ke¬miskin¬an, sehingga pendudukan tanah tidak bisa dipandang sebagai pemicu utama atau satu-satu¬nya. Perlu pengamatan yang lebih teliti mengeni skala yang pasti dan hubungan sebab-akibatnya. Salah satu sebab utamanya adalah sikap aji mumpung untuk berbuat kriminal seperti pencurian ternak, penjarahan produk pertanian, dan mogok kerja. Kini hal ini diakui oleh para veteran, pemerintah, dan petani, tapi pihak berwenang tidak sanggup mengontrolnya. Fakta bahwa dalam beberapa kasus gerakan pendudukan tanah ini berlangsung ganas perlu dipahami dalam makna dendam kesumat antara pelakunya dengan unsur-unsur pemerintah yang dipandang tidak serius mengenai land ¬reform. Ini dendam endemik yang telah terpendam lama. Tak pelak lagi bahwa pendudukan tanah telah membangkitkan, di wilayah-wilayah tertentu, ketidakmauan untuk ikut serta dalam pemilu. Ada juga bukti-bukti bahwa petani kaya, buruh-buruhnya, beserta anak-anak muda kelompok oposisi telah menjadi biang kekerasan pemilu di wilayah-wilayah pedesaan. Di sana pertempuran di¬lancarkan secara teratur.
Gerakan pendudukan juga harus dilihat dalam konteks adanya perpecahan mendalam dalam tubuh ZANU-PF mengenai strategi peralihan tanah. Kian banyak segmen yang menolak bukan saja peralihan tanah berbasiskan pasar, namun juga perolehan paksa secara hukum, akibat riwayat ke¬gagalan implementasinya. Segmen ini menghendaki pendudukan dan penyerobotan seba¬gai strateginya. Pada jalur ini kita saksikan gerakan lain ketika unsur-unsur tertentu dalam partai berkuasa berupaya menunda pendudukan, memilih untuk memusatkan perhatian pada me¬tode-metode perolehan tanah paksa seiring dengan negosiasi pengalihan tanah yang dilandasi dialog dengan para pemilik tanah. Perbedaan sudut pandang dan perpecahan dalam struktur komando inilah yang menjelaskan, pada tataran luas, sebagian dari kejahatan dan aspek-aspek pelanggaran hukum dari pendudukan ini yang –sebagaimana ditunjukkan oleh bukti-bukti—berlangsung di separuh propinsi termasuk Mashonaland Pusat, Mashonaland Timur, dan Matebeleland Utara.
Beberapa analis dan pemimpin oposisi menggambarkan bahwa tindak kekerasan yang terkait dengan gerakan pendudukan ini, menjelang pemilu tahun 2000, memungkinkan partai berkuasa mempertahankan dominasi suara di pedesaan. Dominasi ini senantiasa ada di beberapa wilayah pedesaan, namun mobilisasi untuk land reform cenderung mementahkan mobilisasi apapun oleh kelompok oposisi. Sebagian berpendapat struktur partai oposisi sedang digerogoti, tapi sampai taraf mana hal ini sungguh-sungguh terjadi di luar kota-kota kecil masih perlu dibuktikan. Malah beberapa kajian yang ada cenderung mengecilkan kekuatan ZANU-PF di sebagian besar wilayah desa dan secara teleologis mengekor analisis kemenangan pasca referendum, yang ter¬lampau me¬lebih-lebih¬kan pertumbuhan struktur MDC di wilayah-wilayah komunal dan tanah-tanah pertanian pedesaan.Namun demikian,penjelasan di atas ini memerlukan riset yang lebih teliti.
Sejauh ini pendudukan tanah telah gagal membenahi ketimpangan warisan dalam sistem hukum dan UU kepemilikan secara tertata. De¬ngan mendorong para pelaku pendudukan, alih-alih mengusir, pelaku pendudukan dan dengan melakukan pemukiman kembali rakyat secara prematur di tanah-tanah yang proses hukum akuisisi paksanya belum rampung, pemerintah bukannya mengoreksi sistem hukum, malah mengesampingkannya. Bagaimanapun, pendudukan tanah dan pemukiman kembali ‘jalur cepat’ –termasuk litigasi yang berlangsung dalam Mahka¬mah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan pengadilan administratif—telah mengangkat perdebatan tentang relevansi hak kepemilikan yang ada sekarang.
Fatwa Mahkamah Agung pada bulan Desember 2000 yang memberi pemerintah waktu enam bulan untuk mengatasi isu pertanahan menyiratkan pengakuan akan kebutuhan untuk perubahan serta pengakuan akan ketidakadilan dari situasi yang ada sekarang. Perubahan UU peralihan tanah bisa dipandang sebagai pertanda adanya upaya untuk mencari perangkat hukum atas land reform, meski sulit bagi sistem peradilan neoliberal untuk menangani masalah-masalah kepentingan umum yang demikian besar. Penca¬nangan UU Pendudukan Desa baru tahun 2001 juga menampakkan upaya pemerintah untuk melegalisasi proses pendudukan, seraya proses hukum pengalihan tanah terus berlanjut. Per¬gantian dewan legislatif yang terburu-buru, yang tampak lancar secara demokratis, telah me¬ngedepankan pentingnya masalah yurisprudensi historis atas hak kepemilikan yang membutuhkan gerakan pembelaan hukum khusus agar bisa tertangani.

Kesimpulan
Di negara-negara seperti Zimbabwe, yang proporsi terbesar penduduknya tinggal di desa dan ber¬gantung pada pertanian untuk kehidupan serta mata pencaharian mereka, adalah penting kiranya untuk mengakui bahwa menjawab permasalahan tanah dalam kaidah kesetaraan dan keadilan sosial merupakan salah satu parameter pokok bagi reformasi politik yang lebih luas serta pada tempat mana persoalan demokratisasi harus diletakkan. Akan terlihat nyaris mustahil untuk berfokus pada hak-hak politik liberal dalam gerakan-gerakan demokratis kontemporer tanpa memahami dendam sosial politik yang telah berurat berakar serta kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam masalah tanah. Organi¬sasi-organisasi politik yang paling formal, entah itu di kalangan partai berkuasa atau kaum opo¬sisi, cenderung mengabaikan tuntutan mendalam akan land reform dan berpretensi bah¬wa pendu¬dukan tanah yang sedang bergejolak memaksa isu land reform masuk ke dalam agenda politik dengan tiada guna.
Terbukti dengan sendirinya bahwa model pembangunan masyarakat sipil ala neoliberal, yang didominasi baik secara keuangan maupun teknis oleh ornop, tak sanggup menjawab himpitan per¬soalan land reform. Penyebabnya: mereka terputus dari gerakan-gerakan sosial informal pedesaan dan per¬kotaan yang selama bertahun-tahun telah melancarkan pendudukan tanah, perburuan sumberdaya alam, serta segala jenis strategi bawah-tanah untuk menggapai akses akan sumberdaya alam dan menegakan hak-hak ekonomi dan sosial, bukannya politik.
Alhasil, gerakan pendudukan tanah dihegemonisasi dan dikontrol oleh para veteran perang dan partai berkuasa. Mereka ini juga yang telah melemahkan gerakan pendudukn akibat perse¬kutuannya dengan kepentingan-kepentingan kelas menengah dalam negara, partai-partai oposisi dan ornop; hanya untuk mengkooptasinya saat masalah ini mengemuka kembali selama krisis ekonomi-politik pasca kemerdekaan yang memuncak pada tahun 1996 dan 1997.
Mentah dan salah kaprah untuk menyederhanakan demokratisasi sebagai proses ubah-mengubah pemerintahan, dengan meletakkannya di atas dan melebihi isi perubahan itu sendiri. Gagasan untuk merestrukturisasi tanah dan hubungan kepemilikan merupakan suatu contoh ketika proses sejarah yang bergulir sepertinya memaksakan perubahan dalam cara yang terlihat otoriter, namun boleh jadi mem-buahkan kerangka bagi demokratisasi masa depan. Apalagi, terlampau sederhana untuk me¬masrahkan persoalan mencapai demokratisasi di Zimbabwe semata pada taktik-taktik gerakan pendudukan tanah dan pemilu 2000. Jelas bahwa tiadanya infrastruktur sosial dan kelembagaan yang perlu untuk menyokong demokratisasi sejati merupakan kendala utamanya, yang makin mempersulit lemahnya strategi masyarakat sipil dan gerakan-gerakan oposisi. Ketimpangan akses secara rasial dalam hal informasi, pendidikan, sumber daya fisik, dan pengalaman politik dalam me¬nangani kontradiksi-kontradiksi demokrasi sosial masih perlu dibenahi.
Oleh karena itu, sebagian besar sisa-sisa negatif gerakan pendudukan, termasuk pemanfaat¬annya demi keuntungan politik jangka pendek, harus ditimbang dengan lebih cermat mengingat per¬olehan jangka panjang bagi proses demokratisasi yang lebih luas: terciptanya ruang kesadaran dan partisipasi dalam pergulatan sosial mendasar yang sampai saat ini masih di-dominasi oleh struktur formal kenegaraan dan organisasi-organisasi sipil perkotaan. Tentunya, salah satu hikmah dan pengalaman pentingnya adalah: kerangka kebijakan land reform neoliberal itu sungguh bisa dilawan.

Catatan Kaki:
1. Lihat James Petras, ‘Latin America: The Resurgence of the Left’, New Left Review 1, no. 223 (1997): 17-47; Satumino M. Borras, ‘The Bibingka Strategy to Land Reform and Implementation: Autonomous Peasant Mobilizations and State Reformists in the Philippines’, kertas kerja no. 274 (The Hague: Institute of Social Studies, 1998); serta Sam Moyo, Prosper Matondi, dan Paris Yeros, ed., Land Occupations in Southern Africa (Harare: SAPES Books, akan terbit).
2. Lihat Christóbal Kay, ‘Conflict and Violence in Rural Latin America’, kertas kerja no. 312 (The Hague: Institute of Social Studies, 2000) serta Mats Berdal dan David Keen, ‘Violence and Economic Agendas in Civil Wars: Policy Implications’, Millennium: Journal of International Studies 26, no. 3 (1997): 795-818.
3. Lihat Robert Bates, Markets and States in Tropical Africa (Berkeley, CA: University of California Press, 1981); Deepak Lal, The Poverty of ‘Development Economics’ (London: The Institute of Economic Affairs, 1997); serta Larry Diamond, ‘Class Formation in the Swollen African State’, Journal of Modern African Studies 25, no. 4 (1987): 567-96.
4. Sam Moyo, The Land Question in Zimbabwe (Harare: SAPES Books, 1995) dan Paris Yeros, ‘Peasant Struggles for Land and Security: A Global Moral Economy at the Close of the 20th Century’, Monograph Series (Harare: SAPES Trust, akan terbit).
5. Michael Bratton dan Nicolas van de Walle, Democratic Experiments in Africa: Regime Transitions in Comparative Perspective (Cambridge: Cambridge University Press, 1997).
6. Michael Bratton, ‘Micro-Democracy? The Merger of Farmer Unions in Zimbabwe’, African Studies Review 37, no. 1 (1994): 9-37.
7. Sam Moyo, ‘Policy Dialogue, Improved Governance, and New Partnerships: Experiences from Southern Africa’, dalam New Partnerships for African Development: Issues and Parameters, eds. Henock Kilfe, Adebayo Olukoshi, dan Lenmark Wohlgemuth (Uppsala: Nordiska Africainstitutet, 1999).
8. James C. Scott, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance (New Haven, CT: Yale University Press, 1985). Untuk pembahasan kritis mengenai teori gerakan sosial pedesaan, lihat Tom Brass, ‘Moral Economists, Subalterns, New Social Movements, and the Re-emergence of a (Post)Modernised (Middle) Peasant’, Journal of Peasant Studies 18, no. 2 (1991): 173-205.
9. Mark E. Rupert, ‘(Re)Politicizing the Global Economy: Liberal Common Sense and Ideological Struggle in the US—NAFTA Debate’, Review of International Political Economy 2, no. 4 (1995): 658-92; Robert Cox, ‘Civil Society at the Turn of the Millennium: Prospects for an Alternative World Order’, Review of International Studies 25, no. 1 (1999): 3-28; Ronaldo Munck dan Peter Wateman, Labour Worldwide in the Era of Globalization: Alternative Union Models in the New World Order (Basingstoke: Macmillan Press, 1999); serta Robert O’Brien, Anne Marie Goetz, Jan Aart Scholte, dan Marc Williams, Contesting Global Governance: Multilateral Economic Institutions and Global Social Movements (Cambridge: Cambridge University Press, 2000).
10. Henry Bernstein, ‘“The Peasantry” in Global Capitalism: Who, Where and Why?’, dalam Socialis Register 2001: Working Classes, Global Realities, ed. Leo Panitch dan Colin Leys (London: The Merlin Press, 2000), 25-51; serta Philip McMichael, ‘Rethinking Globalization: The Agrarian Question Revisited’, Review of International Political Economy 4, no. 4 (1997): 630-62.
11. Knox T. Chitiyo, ‘Land Violence and Compensation: Reconceptualising Zimbabwe’s Land and War Veterans Debate’, Track Two 9, no. 1 (2000): 1-14.
12. Sam Moyo, ‘Conceptualising Land Tenure in Southern Africa: The Case of Zimbabwe’, Southern Africa Political Economy Magazine 7, no. 8 (1994): 39.
13. Sam Moyo dan Y Katerere, NGOs and Development: NGOs in Transition: An Assessment of Regional NGOs in the Development Process (Harare: ZERO, 1991).
14. Lihat Sam Moyo, ‘Peasant Organisations and Rural Civil Society in Africa: An Introduction’, dalam Peasant Organisations and the Democratisation Process in Africa, ed. Sam Moyo dan Ben Rhomadhane (Dakar: CODESRIA, akan terbit).
15. Para veteran perang menuntut dibayar pensiun langsung Z$ 50.000,00 dan lima juta hektar yang ditargetkan oleh pemerintah didapatkan seketika.
16. Thandika Mkandawire, ‘Home Grown Austerity Measures in Zimbabwe’, dalam Between Liberalisation and Oppression, ed. Thandika Mkandawire dan Adebayo Olukoshi (Zimbabwe Institute of Development Studies, 1984).
17. Andrew Vincent Ashworth, ‘Agricultural Technology and the Communal Farm Sector’, Background Paper to the World Bank Zimbabwe Agricultural Sector Memorandum (Harare: The World Bank, 1990); Bank Dunia, Zimbabwe Agricultural Sector Memorandum (Washington, DC: The World Bank, 1995); serta Mandivamba Rukuni dan Carl K. Eicher, eds., Zimbabwe’s Agricultural Revolution (Harare: University of Zimbabwe Publications, 1994).
18. Sam Moyo, ‘Land Reform under Structural Adjustment’, dalam Zimbabwe: Land Use Changes in the Mashonaland Provinces (Uppsala: Nordiska Africainstitutet, 2000).
19. Pemerintah Zimbabwe, Land Reform and Resettlement Programme: Phase 2, Dokumen Proyek, 1998.
20. Aksi ini dipimpin oleh Kongres Serikat Buruh Zimbabwe (ZCTU), tapi juga secara independen, oleh para pekerja kelas menengah, terutama dokter dan perawat. Yang terakhir ini cukup berbeda dari segenap pertikaian perburuhan lainnya, karena bermakna perpecahan dalam kontrak sosial antara kaum pekerja kelas menengah dengan partai berkuasa. Paris Yeros, ‘Labour Struggles for Alternative Economics in Zimbabwe: Trade Union Nationalism and Internationalism’, Monograph Series (Harare: SAPES, akan terbit).
21. Masalah tanah dianggap hanya dipakai oleh ZANU-PF sebagai strategi kampanye semata dalam setiap pemilu sejak 1980. Bisa dibilang bahwa isu tanah di Zimbabwe akan senantiasa menjadi isu pemilu, sampai ia dituntaskan secara layak, dan partai-partai oposisi harus terus mempertahankan landreform dalam agenda nasional.
22. Serangkaian gerakan kelas menengah serta elit kulit hitam, berikut partai-partai oposisi termasuk ZUM, ZUD dan Partai Forum Demokratis di tahun 1990-an, telah gagal mengisi kekosongan tuntutan sosial demokratis akan redistribusi sumber daya, terutama selama periode ketika agenda landreform menyurut (1986-96), bahkan selama periode krisis sejak 1997.
23. Sam Moyo, ‘The Land Question’, in Zimbabwe: The Political Economy of Transition, 1980-1986, ed. Ibbo Mandaza (Dakar: CODESRIA, 1987) dan Bill H. Kinsey, ‘Emerging Policy Issues in Zimbabwe’s Land Resettlement Programmes’, Development Policy Review 1, no. 2 (1983): 163-96.
24. Ibid.
25. Komisi Kepemilikan Tanah, Report of Enquiry into Agricultural and Land Tenure Systems in Zimbabwe (Harare: Terbitan Pemerintah, 1994).
26. Pemerintah Zimbabwe, The Inception Phase Framework Plan of the Second Phase of Land Reform and Resettlement Programme (Harare: Kementerian Tanah dan Pertanian, 1999).
27. Cuma di Mashonaland Pusat partai berkuasa didukung secara meluas dalam referendum, dengan sapu bersih dalam pilihan ‘YA’. Mantan gubernur juga mendukung penuh aksi-aksi para veteran.
28. Sam Moyo, Land and Democracy in Zimbabwe, Monograph Series (Harare: SAPES, 1999).
29. Sam Moyo, The Land Question in Zimbabwe (Harare: SAPES, 1994).
30. Ben Cousins melihat bahwa kartu persoalan tanah dengan tujuan politik yang sempit sedang dimainkan, alih-alih kebutuhan yang lebih luas untuk menantang rejim hak kepemilikan. Lihat tulisannya, ‘Why Land Invasions Will Happen Here Too…’ (London: Oxfam, 2001). Toh baru-baru ini Komite Tanah Nasional Afrika Selatan berkoalisi dengan ‘Gerakan Rakyat Tak Bertanah’ yang baru dibentuk, Jaringan Layanan Pembangunan Pedesaan, serta koalisi LSM Afrika Selatan telah meluncurkan kampanye yang pada awalnya ditujukan untuk Konferensi Dunia Menentang Rasisme di Durban, dan mengancam akan mendorong upaya-upaya pendudukan tanah bila langkah redistribusi tanah secara ekstensif tidak dilakukan. Komite Tanah Nasional Afrika Selatan, The Landless = Racism Campaign, siaran pers, 15 Agustus 2001.
31. Ibid.
32. Organisasi-organisasi ini punya kaitan erat dengan kelompok-kelompok pimpinan ZANU (PF).
33. Knox T. Chitiyo, ‘Land Violence’
34. Cara pandang ini lazim diulang-ulang dalam beberapa suratkabar, dan telah dinyatakan secara formal oleh wakil presiden Msika dalam pelbagai macam pernyataan pers. Lihat, Tim Teknis ZJRI, ‘Review of the Zimbabwe Joint Resettlement Initiative’, disajikan kepada Wakil Presiden Msika, Harare, Juli 2001.
35. ‘Orang-orang oportunis’ ini, bagaimanapun, harus dibedakan dari orang-orang kota yang mengajukan permohonan tanah di bawah Skema Penyelesaian Tanah Pertanian Komersial yang kini diperluas. Skema ini bertujuan membentuk elit kulit hitam pemilik tanah pertanian komersial.
36. Moyo, Land Reform under Structural.
37. James Murombedzi, ‘The Dynamics of Conflict in Environmental Management Policy in the Context of Communal Areas Management Programme for Indigenous Resources Empowerment’, kertas kerja (Harrare: Centre for Applied and Social Sciences, 1994).
38. Lihat Moyo dll., Land Occupations in Southern Africa
39. Lihat Paris Yeros, ‘The Moral Economy of Squatting and Squatter Control in Shamva District’, dalam Land Occupations in Southern Africa.
40. Emmanuel Shiku, ‘The Problem of Squatting in Zimbabwe: A Police Perspective’, Mimeo (Harare: Southern Africa Regional Institute for Policy Studies, 2001).
41. Sam Moyo, The Land Acquisition Process in Zimbabwe (Harare: UNDP, 1998)
42. Lihat www.dailynews.co.zw (27 September 2001) dan www.samara.co.zw/cfu/ (27 September 2001).
43. Ungkapan ini hasil wawancara pribadi dengan anggota Serikat Tani Komersial dan partai-partai politik. Wawancara digelar dari bulan Maret 2000 hingga Agustus 2000.
44. Pengamatan ini didasarkan pada wawancara pribadi dengan para veteran perang dan sebagian pimpinan mereka selama kerja lapangan di Mazowe dan Harare tahun 2001 serta kerja lapangan oleh asisten riset Nelson Marongwe, ‘A Case Study of Land Occupations in Zimbabwe’, Mimeo (Harare: ZERO, 2000).
45. Bukti dari Wedza, Mazowe serta dari studi-studi kasus lainnya menunjukkan banyak kesamaan tren. Lihat khususnya Marongwe, A Case Study of Land Occupations.
46. Lihat Sarah Musungwa, Beneficiary Selection in the Context of the Land Reform Programme, (draft diss., Harare SARIPS, 2001) serta Prisca Mandimika The Indigenisation of the Large Scale Commercial Farming Sector: the Case of Coburn (draf disertasi, Harare SARIPS, 2001). Magaramombe menyiratkan bahwa delapan persen dari pemukim adalah buruh tani. Bisa jadi hal ini mencerminkan akomodasi yang kian luas dari buruh tani, membidik persuasi politik mereka demi keuntungan ZANU-PF. Godfrey Magaramombe, Rural Poverty: Commercial Farm Workers and Land Reform in Zimbabwe (London: Oxfam, 2001).
47. Hal ini dilaporkan dalam wawancara pribadi dengan petugas-petugas kepolisian Harare bulan Maret 2001. Juga dikonfirmasi oleh bukti-bukti lapangan di Mazowe dan Wedza.
48. Pemerintah Zimbabwe, Fast Track Policy Paper (Harare: Pemerintah Zimbabwe, 2001)
49. Sam Moyo, Blair Rutherford, dan Dede Amonr-Wilks, ‘Farmworkers, Land Reform and Changing Social Relations for Farm Workers’, Review of African Political Economy 27, no. 84 (2000): 181-202 serta Dede Amonor-Wilks, In Search of Hope: Zimbabwe’s Farm Workers (Harare: Dateline Southern Africa, 1995).
50. Produktivitas pertanian kecil telah ditunjukkan dalam banyak kajian, Sam Moyo, The Land Question; Mike Roth, Analysis of Agrarian Structure and Land Use Patterns in Zimbabwe, Background Paper (Wisconsin, MAD: Land Tenure Centre, 1992); Memorandum sektor Pertanian Bank Dunia, no. 9429 (Washington: World Bank, 1991); Daniel Weiner, Sam Moyo, Barry Manslow, dan Phil O’Keefe, ‘Land Use and Agricultural Productivity in Zimbabwe’, Journal of Modern African Studies 23, no. 2 (1985): 251-84; serta Peter Von Blackenburg, Large Commercial Farmers and Land Reform in Africa, (London: Ashgate, 1994).
51. Marongwe, A Case Study of Land Occupations.
52. Lihat Petras, ‘Latin America’ dan Neil Harvey, The Chiapas Rebellion (Durham, NC: Duke University Press, 1998).
53. Jeffry Herbst, State and Politics in Zimbabwe (Harare: University of Zimbabwe Press, 1990) dan Jocelyn Alexander, ‘The Unsettled Land: The Politics of Land Distribution in Matabeleland: 1980-1990’, Journal of Southern African Studies 17, no. 4 (1991): 581-610.
54. Di Afrika Selatan, pendudukan tanah di pinggiran area urban telah melibatkan 3 juta orang selama 10 tahun terakhir, di mana lebih dari 200 orang petani terbunuh.
55. Petani-petani kaya pernah dituduh melatih milisi-milisi pertahanan. Negara menyikapi hal ini dengan menyebarkan unsur-unsur militer dan paramiliter sebagai langkah pengamanan terhadap dugaan adanya pembangkangan bersenjata atas ‘pendudukan tanah’ oleh kaum tani berpunya yang berkolaborasi dengan partai-partai oposisi. Para petani kaya dan buruh-buruh mereka mempersenjatai diri untuk menghadapi para veteran perang dan kaum tani miskin. Lihat Chitiyo, ‘Land Violence’.
56. Misalnya, upaya keras diambil oleh Departemen Dalam Negeri pada bulan April, Wakil Presiden Joseph Msika pada bulan Mei 2000, serta Departemen Pemerintah Daerah dan Perumahan Nasional untuk memindahkan para penyerobot dari tanah yang didudukinya. Hal ini dibantah oleh Presiden dan ditentang oleh para jubirnya. The Herald, Mei 2000.
57. Pemerintah Zimbabwe, ‘Rural Land Occupiers (Protection from Eviction) Act’, Cap 20:26, No. 13/2001

0 komentar: